sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Peluang bonus demografi terancam gara-gara pandemi

BPS mencatat puncak bonus demografi datang lebih cepat yakni jatuh di tengah kondisi pandemi.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Selasa, 16 Mar 2021 07:02 WIB
Peluang bonus demografi terancam gara-gara pandemi

Indonesia sedang menikmati bonus demografi, yang menurut pemerintah, puncaknya akan terjadi pada 2030 mendatang. Namun demikian, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020 (SP2020) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2020 dan 2021 justru menjadi periode terbaik bonus demografi. 

Sayangnya, justru di tahun 2020 dan 2021 inilah Indonesia sebagaimana negara lain di dunia tengah teruji pandemi Covid-19. BPS mencatat, saat ini rasio ketergantungan penduduk (dependency ratio) mencapai angka 41. Artinya, dari 100 penduduk usia produktif hanya akan menanggung 41 penduduk usia non produktif.

Hasil SP2020 juga mencatat, penduduk Indonesia pada September 2020 sebesar 270.203.917 jiwa. Artinya, dalam satu dasawarsa telah terjadi penambahan jumlah penduduk sebesar 32.562.591 jiwa atau rata-rata 3,26 juta jiwa per tahun. 

Adapun laju pertumbuhan penduduk Indonesia selama kurun waktu 2010-2020 sebesar 1,25% per tahun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 0,24% jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada periode 2000–2010 yang sebesar 1,49% per tahun.

Sebaliknya, peningkatan justru terjadi pada kategori penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang  mencapai 70,72% dan 29,28% sisanya adalah penduduk usia nonproduktif.

Lalu, apakah Indonesia masih tetap bisa memanfaatkan bonus demografi dengan baik, hingga dapat melangkah lebih jauh menjadi negara maju?

Menjawab pertanyaan tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Candra Fajri Ananda optimistis Indonesia akan tetap bisa memanfaatkan peluang bonus demografi dan menyandang predikat negara maju pada 2045 nanti. Dia menghitung pendapatan perkapita Tanah Air saat periode Indonesia Emas dapat mencapai US$23 ribu. 

Namun, untuk mencapai target itu, setidaknya pertumbuhan ekonomi harus di atas 6%. Ia pun mengakui prosesnya akan ‘sedikit’ terhambat dengan adanya pagebluk Corona yang sampai saat ini masih menghantui Indonesia. 

Sponsored

“Pandemi ini memang tidak hanya mendisrupsi dari sisi produksi. Kenapa produksi itu bermasalah? Karena memang banyak bahan baku yang harus kita impor. Akibatnya produksi nasional kita menurun,”  ungkapnya kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Selasa (9/3).

Tenaga kerja mengerjakan proyek konstruksi jalan tol Balikpapan-Samarinda di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Hal serupa terjadi pula pada permintaan (demand) barang dari luar negeri. Pasalnya, banyak negara mengunci diri mereka dari negara-negara lain untuk menghindari penyebaran virus Sars-CoV-2. Sementara dari dalam negeri, permintaan juga mengalami tekanan, yang ditandai oleh anjloknya konsumsi rumah tangga (RT).  

Bahkan, konsumsi rumah tangga di sepanjang tahun 2020 ada pada level negatif 2,63% yoy (year on year). Angka itu jelas lebih rendah, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang dapat mencapai 5,04% yoy.

“Ini berarti rumah tangga itu daya belinya menurun atau menahan diri untuk berkonsumsi, enggak mau belanja. Semua kondisi itu yang menyebabkan dari produksi sulit meng-hire orang,” jelas dia.

Akibatnya, angka pengangguran pun ikut meningkat selama pandemi, menjadi 9,77 juta orang. Tercatat 7,07% diantaranya merupakan pengangguran terbuka yang berasal dari kategori usia produktif. Padahal, pada 2019, total pengangguran terbuka hanya sebanyak 5,23% dari total pengangguran.

Berdasarkan data BPS, pengangguran terbuka jika dilihat dari kelompok umur, penduduk kelompok usia muda dari 12-24 tahun merupakan yang paling tinggi yaitu mencapai 20,46%. Pengangguran terbuka dari kelompok usia tua yaitu 60 tahun ke atas merupakan yang paling rendah yaitu 1,70%. Sedangkan pengangguran terbuka dari kelompok usia 25-59 tahun meningkat 5,04%.

Padahal, untuk bisa memanfaatkan bonus demografi dengan baik harus didukung oleh produktivitas tinggi dari  seluruh tenaga kerja Indonesia. “Orang produktif ini kalau enggak ada keahlian kan percuma aja. Di sisi lain, punya keahlian tapi enggak ada lapangan kerja juga percuma,” imbuh dia.

Dengan berbagai kondisi tersebut, menurut Candra, pemerintah baru bisa mulai start dan ‘ngebut’ untuk dapat benar-benar menangkap peluang bonus demografi pada 2025. Sebab, hingga 2023 pemerintah masih harus berusaha memulihkan perekonomian nasional yang terpuruk karena pagebluk. 

Seiring dengan itu, pemerintah juga harus berupaya mempertahankan pertumbuhan di level 5% dan mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di angka 3%. 

“Kalau kita pulih di 2024 atau 2025, kita membaik, berarti kita bisa memanfaatkan itu. Di 2035 itu kita akan sudah kelihatan banget hasilnya, di mana ekonominya bisa melonjak drastis,” tegasnya.

Kontribusi risiko stunting

Tidak hanya itu, masih ada lagi halangan yang dapat menghambat pemanfaatan bonus demografi, yakni risiko stunting. Kepada Alinea.id, Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardani mengungkapkan, pihaknya khawatir angka stunting akan kembali melonjak karena pandemi. 

Prevelensi Data Stunting memang turun 3,1% dibanding tahun sebelumnya. Dani, begitu ia akrab disapa, menyebut angka stunting nasional telah mencapai 27,67% pada 2019. Dia bilang, selama pandemi, penduduk Indonesia, utamanya yang berasal dari golongan menengah ke bawah cenderung mengetatkan ikat pinggangnya untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. 

Pengurangan upah, hingga kehilangan pekerjaan membuat masyarakat ekonomi bawah, tak lagi mementingkan gizi makanan dan serba asal. “Asal makan dan asal kenyang,”begitu kata Dani.

Seorang pelajar menjalani pengukuran suhu badan. Dokumentasi.

Takutnya, kata dia, hal itu diterapkan kepada seluruh anggota keluarga, baik orang tua, maupun anak mereka yang masih bayi atau balita. Padahal, kualitas dari sumber daya manusia (SDM) di masa depan, sangat ditentukan oleh pemenuhan gizinya di 1.000 hari pertama. 

“Kalau dari awal sudah tidak berkualitas, nanti terancam. Kecerdasannya kurang, kesehatannya juga kurang optimal. Kalau pendidikannya kurang, tidak bisa bersaing, kurang sehat, dan peluang ekonominya terhambat, itu justru enggak bisa memanfaatkan,” jelasnya.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) yang berada di bawah Sekretariat Wakil Presiden, Iing Mursali mengakui memang ada prediksi angka stunting akan meningkat selepas pandemi. Namun, belum dapat diketahui seberapa besar lonjakan itu akan terjadi. 

Sebab, untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh pagebluk Corona terhadap angka stunting nasional tidak dapat dilihat hanya dalam waktu beberapa bulan saja.

“Dampaknya tergantung pada lama pandemi,” katanya, melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Minggu (14/3).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah berpesan kepada Kepala BKKBN Hasto Wardoyo untuk menurunkan angka stunting ke 14% pada 2024.

Ekonomi porak-poranda

Sementara itu, Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Muhammad Cholifihani mengatakan, untuk memanfaatkan bonus demografi dengan baik dan mencapai Indonesia Emas pada 2045 nanti, Indonesia masih dihadapkan pada tantangan besar; wabah Covid-19. 

Virus asal Wuhan, Cina itu terbukti membuat perekonomian nasional porak-poranda. Bahkan dia mengakui, untuk mencapai pertumbuhan 5% yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2021 butuh usaha besar.

Karenanya, agar pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali on-track, pemerintah tengah berusaha keras untuk menciptakan kekebalan komunal atau herd immunity melalui program vaksinasi. Program ini menjadi salah satu prasyarat agar pertumbuhan ekonomi nasional bisa berada di kisaran 5% hingga akhir tahun nanti.

“Kalau itu sudah dilakukan, masyarakat jadi yakin, jadi nyaman. Kalau begitu, harapannya nanti pelan-pelan ekonomi baik,” ujarnya yang akrab disapa Lifi saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (9/3).

Sebanyak 15 juta dosis vaksin Sinovac bentuk curah tiba di Tanah Air. Dokumentasi.

Setelah perekonomian membaik, Lifi yakin, perlahan-lahan sektor riil, baik industri pengolahan, manufaktur, hingga UMKM juga akan ikut bergerak kembali. Dus, pada akhirnya dapat menyerap tenaga kerja lagi.

Prasyarat selanjutnya, yang utama adalah dengan mendorong ketersediaan SDM berkualitas dan berdaya saing. Di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, pemerintah selalu menyebutkan penguatan pendidikan vokasi sebagai program prioritas untuk memanfaatkan peluang bonus demografi.

Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga bekerjasama dengan berbagai perusahaan untuk menyiapkan lapangan pekerjaan. Begitu juga kurikulum vokasi yang sebelumnya telah disesuaikan keinginan calon pekerja dan industri-industri yang ada.

“Enggak hanya informasi, tapi link and match-nya itu dengan pasar kerja, termasuk dengan perusahaannya, industrinya,” katanya.

Kualitas usia produktif

Di sisi lain, Guru Besar sekaligus Peneliti Senior Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Omas Bulan Samosir menjelaskan, manfaat bonus demografi bisa didapatkan Indonesia apabila penduduk usia produktif dapat memenuhi beberapa syarat, yakni sehat, terdidik, produktif, bekerja di sektor-sektor yang dibayar, dan berinvestasi. Penduduk usia produktif yang dimaksud di sini adalah mereka yang sekarang ini disebut sebagai generasi Z dan generasi milenial.

Jika berbagai syarat tersebut telah terpenuhi, secara otomatis investasi SDM dan investasi modal akan meningkat. “Dan ini efeknya adalah kontribusinya ke ekonomi sangat besar. Tapi itu tadi, ada syaratnya. Manfaat bonus demografi tidak bisa didapatkan secara otomatis,” katanya, melalui sambungan telepon kepada Alinea.id, Senin (8/3). 

Omas bilang, untuk dapat melaksanakan berbagai syarat tersebut, sebelumnya pemerintah harus menuntaskan masalah pandemi terlebih dulu. Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan lebih banyak lapangan kerja formal dan informal untuk generasi muda Indonesia.

“Selain itu, pemerintah juga harus mengubah kebijakannya menjadi serba digital. Karena kan saat ini kita tidak boleh bertemu fisik, jadi semua harus bisa dilakukan dengan digital,” tutup mantan Kepala Lembaga Demografi FEB UI itu.
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.

Baca juga artikel "Bonus demografi hanya sekali, jangan sampai gagal!".

Berita Lainnya
×
tekid