Pemerintah disarankan melakukan pengawasan di tingkat stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) guna memastikan penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tepat sasaran. Langkah ini dinilai lebih efektif daripada pembatasan di tingkat konsumen.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, menyampaikan, pemerintah dapat memberikan sanksi tegas kepada SPBU yang melayani pembelian BBM bersubsidi oleh kendaraan mewah. Namun, sebelumnya sudah ada kebijakan pelarangan kendaraan mewah membeli Pertalite atau solar.
"Jika ada SPBU yang menjual Pertalite kepada mobil mewah, cabut saja izinnya. Dengan begitu, maka subsidi BBM akan lebih tepat sasaran karena lebih mudah mengontrol SPBU daripada pemilik kendaraan mewah," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (26/8).
Puskepi menyarankan demikian lantaran sebagian besar penerima BBM subsidi adalah kelompok mampu. Ini seperti hasil survei sosial ekonomi nasional (susenas), di mana 80% dari total rumah tangga penerima Pertalite merupakan kelompok mampu.
Sebagai informasi, pemerintah menganggarkan kompensasi Pertalite pada APBN 2022 sebesar Rp93,5%. Sebanyak 86% (Rp80,4 triliun) di antaranya dinikmati rumah tangga dan 14% (Rp13,1 triliun) sisanya oleh dunia usaha.
Sementara itu, pemerintah mengucurkan Rp143,4 triliun untuk subsidi dan kompensasi solar. Sebesar Rp15 triliun (11%) dinikmati rumah tangga dan dunia usaha Rp127,6% (89%).
"Kategori rumah tangga yang menikmati itu pun 95% adalah rumah tangga mampu. Hanya 5% rumah tangga tidak mampu yang menikmati solar subsidi," jelasnya.
Di sisi lain, Puskepi mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi, terutama Pertalite. Alasannya, langkah tersebut rasional sekalipun belum tentu menutup harga keekonomiannya.
Meskipun demikian, Sofyano mengakui, penyesuaian harga Pertalite bak buah simalakama. Kenaikan akan berdampak terdahadap daya beli masyarakat sekaligus mengurangi beban anggaran.