sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pertanian: Sektor 'menua' yang sanggup angkat ekonomi nasional 

Perlu ada keberpihakan anggaran untuk sektor pertanian agar mampu menyokong pertumbuhan ekonomi nasional.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Kamis, 27 Agst 2020 17:20 WIB
Pertanian: Sektor 'menua' yang sanggup angkat ekonomi nasional 

“History repeats itself. First as a tragedy. Second as a farce.” – Karl Marx

Sejarah berulang. Pertama, sebagai tragedi. Kedua, sebagai lelucon. Karl Marx, pencetus paham marxisme, mengatakan hal ini puluhan tahun silam. Seorang pemikir kiri yang hasil buah pikirnya banyak ditentang tapi juga banyak diadopsi oleh bapak bangsa kita. Tan Malaka dan Soekarno adalah dua bapak bangsa yang dalam beberapa hal sepakat dengan pemikiran Marx.

Sekarang, kata-kata Karl Marx itu perlu diresapi lebih dalam oleh petinggi bangsa ini. Lagi dan lagi, sejarah yang sama berulang di negeri ini. Ketika perekonomian anjlok kuartal II lalu, satu lelucon yang lucu tapi tidak layak ditertawakan terulang.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Agustus 2020 menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi atau minus 5,32% secara tahunan. Hampir semua sektor pengungkit ekonomi turut anjlok. Sebut saja sektor perdagangan yang minus 7,57%, pengolahan -6,19%, konstruksi -5,39%, transportasi -30,84%, dan akomodasi makan dan minum -22.02%.

Dari semua sektor utama pengungkit ekonomi, hanya satu sektor yang tumbuh positif: pertanian. Pada kuartal II-2020, sektor pertanian masih menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, yakni 2,19% secara tahunan atau 16,24% dalam satu triwulan. 

Situasi serupa pernah terjadi juga ketika Indonesia diterpa krisis moneter 1997-1998. Saat itu ekonomi nasional terjun bebas -13,01%, tetapi sektor pertanian tetap tumbuh 0,26%. Pun demikian kala krisis 2007-2008. Ketika ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2008 terkontraksi -3,6%, sektor pertanian justru tumbuh 4,9% secara tahunan.

Meski sektor pertanian punya kekuatan menangkal krisis besar, seperti pandemi Covid-19 saat ini, anggaran belanja Kementerian Pertanian (Kementan) justru terus menerus dipangkas. Sejak 2015-2020, anggaran Kementan terus menurun, dari Rp32,72 triliun dan kini hanya Rp21,71 triliun.

Angka Rp21,71 triliun itu kemudian dipotong lagi ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Pemotongan dilakukan atas dalih refocusing anggaran sebesar Rp7 triliun, sehingga kini anggaran Kementan tersisa hanya Rp14 triliun.

Sponsored

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir amat menyayangkan pemotongan anggaran tersebut. Menurut Winarno, penurunan anggaran Kementan bisa berimplikasi negatif pada sektor pertanian di Indonesia.

Pasalnya, hasil produksi pertanian merupakan kebutuhan dasar bagi warga. Jika anggarannya dikurangi, pasti berdampak pada produktivitas petani di Tanah Air. Dus, kalau hal itu sampai terjadi, maka Indonesia pun bisa-bisa harus menghadapi tiga krisis sekaligus: krisis kesehatan, krisis ekonomi, dan krisis pangan.

“Ini yang harus kita jaga semuanya bagaimana agar tiga krisis ini tidak terjadi di Indonesia,” tutur Winarno dalam Alinea Forum bertajuk 'Memperkuat Pertanian Kala Pandemi', Selasa (25/8).

Bukan apa-apa. Masalah pertanian di Indonesia cukup banyak. Misalnya, penurunan luas lahan pertanian yang berkurang sekitar 100 hektare per tahun. Sementara jumlah penduduk Indonesia terus bertambah 1,35% setiap tahun.

Dihadapkan pada pengurangan anggaran, sudah barang tentu Indonesia berpeluang kekurangan produksi pangan. Sebab, sebelum ada pemotongan anggaran pun, sektor pertanian di Indonesia sudah diterpa sejumlah problem yang tidak mudah.

Boleh ditengok data alokasi pupuk bersubsidi sejak 2018-2020. Alokasi pupuk bersubsidi yang seyogyanya bisa diberikan jor-joran justru terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada 2018 jumlah pupuk bersubsidi masih di angka 9,5 juta ton, setahun berselang menjadi 8,8 juta ton, dan pada 2020 hanya tersisa 7,9 juta ton.

Akibat pengurangan itu, alokasi pupuk bersubsidi diperkirakan habis Oktober mendatang. Padahal, Oktober 2020-Maret 2021, bakal kembali memasuki musim hujan. Ini mestinya menjadi momentum untuk memaksimalkan produktivitas sektor pertanian.

“Saya harap untuk 2020 ini bisa segera keluar tambahan subsidi pupuk sebesar 1,4 juta ton. Agar pada Oktober-Maret, petani dapat menggunakan pupuk subsidi dan produktivitasnya tetap baik,” jelas Winarno.

Strategi Kementan

Terkait hal ini, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan, saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia untuk mempercepat realisasi penambahan subsidi pupuk Rp3,1 triliun. Anggaran ini diharapkan dapat cair sebelum Oktober 2020.

Kuntoro mengakui bahwa subsidi pupuk bagi petani memang dibatasi pemerintah pusat: hanya 30% dari total lahan. Namun, ia juga berharap agar subsisi pupuk ini dapat penambahan setiap tahunnya.

“Selama ini pupuk subsidi yang diberikan Kemenkeu (Kementerian Keuangan) yang langsung ke Pupuk Indonesia itu maksimal 30%. Justru kami berharap, setiap tahun ada peningkatan subsidi pupuk yang diberikan," ungkap Kuntoro.

Kementan, sambung Kuntoro, tidak tinggal diam dengan situasi sekarang. Sejak awal Covid-19, Kementan berupaya memberikan sejumlah kemudahan bagi petani. Salah satu yang dilakukan adalah mempermudah jalur distribusi produk pangan dari petani ke konsumen.

Dalam program ini, Kementan telah menggandeng sejumlah mitra start-up, seperti Gojek, Grab dan Tanihub. Ada juga lapak khusus yang diinisiasi Kementan sebagai pusat perdagangan produk pertanian langsung ke konsumen melalui Pasar Mitra Tani dan Toko Tani Indonesia Center. Biaya distribusi untuk program ini pun disubsidi Kementan.Tangkapan layar Webinar Alinea Forum 'Memperkuat Pertanian Kala Pandemi'.

“Hal itu sesuai petunjuk dari Presiden agar semaksimal mungkin menyediakan pangan untuk masyarakat,” kata Kuntoro.

Di samping itu, Kementan telah merancang strategi khusus untuk menghadapi masa dan pascapandemi. Strategi ini diterapkan secara bertahap, mulai dari agenda darurat, jangka menengah, dan jangka panjang. Untuk mengejawantahkannya, Kementan bakal menjalin kerja sama dengan seluruh pihak terkait, termasuk petani, universitas, pemerintah, dan konsumen.

Sementara untuk menjaga ketahanan pangan, ada empat upaya yang bakal dilakukan. Mulai dari peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan dan sistem logistik pangan hingga pengembangan pertanian modern.

Hal ini penting dilakukan sebab di era industri 4.0, sambung Kuntoro, setiap lini bisnis dituntut dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Karena itu, kata dia, penting bagi sektor pertanian untuk juga turut menciptakan inovasi dan ide-ide kreatif dalam sektor yang pelakunya sudah "menua" ini.

Saat ini sekitar 85% petani Indonesia sudah berusia tua, sekitar 35-65 tahun. Sementara yang dari kalangan muda usia 19-34 tahun hanya 15%. Bagi kalangan tua, tentu beradaptasi dengan teknologi bukan urusan yang mudah.

"Petani kita perlu kita perbaiki dari aspek sumber daya manusia (SDM), pengetahuan, jejaring, maupun bagaimana mereka memanfaatkan informasi teknologi maupun sumber daya lainnya di luar kapasitas yang mereka miliki. Sehingga, kami memahami bahwa petani muda perlu kita dorong untuk terjun dalam sektor pertanian," papar Kuntoro.

Kuntoro menambahkan, pihaknya juga mendorong keterlibatan generasi milenial dalam era teknologi 4.0 untuk menjawab tantangan ke depan. Generasi ini, menurutnya, memiliki karakteristik yang adaptif, inovatif, cerdas, dan kreatif.Tangkapan layar Webinar Alinea Forum 'Memperkuat Pertanian Kala Pandemi'

Dengan strategi jangka pendek-menengah-panjang ini, Kuntoro meyakini bahwa ketahanan pangan Indonesia bakal aman hingga akhir tahun. Hingga Juni 2020 lalu, stok pangan Indonesia mencapai 17 juta ton. Masih ada sisa 7,83 juta ton lagi yang siap sampai akhir 2020.

Dia melansir kebutuhan pokok seperti beras, jagung, bawang merah, cabai besar, cabai rawit, ayam, telur, dan minyak goreng stok dalam negeri masih aman. Sementara kebutuhan daging sapi, gula, dan bawang putih masih sedikit bergantung impor.

Pada musim tanam kedua (MT II) ini, kata Kuntoro, Indonesia masih menyisakan seluas 5,6 juta hektare lahan yang belum digarap. Targetnya, hingga akhir Agustus 2020 sebanyak 60% dari total lahan ini akan tergarap. Lalu pada November 2020, sekitar 5 juta hektare lahan akan selesai digarap.

"Kita harap bisa menghasilkan pada periode musim tanam kedua ini sekitar 12 juta ton, sehingga stok akhir kita masih memiliki 7,1 juta ton," lanjut Kuntoro.

Harus ada sinergitas

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (UNILA) Bustanul Arifin menilai, apa yang dilakukan Kementan masih belum cukup untuk menjadikan sektor pertanian sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Ia menyinggung perlunya ada pola tanam komoditas strategis agar sektor pertanian mampu tumbuh stabil setiap tahunnya.

Sebab, kata dia, selama ini pertumbuhan sektor pertanian masih bergantung pada musim. Jika panen raya tiba, pertumbuhan sektor pertanian melesat tinggi. Sebaliknya, jika memasuki masa paceklik, maka sektor pertanian akan jatuh cukup dalam.

Karena itu, kata Bustanul, perlu dilakukan kajian menyeluruh untuk menentukan jenis tanaman apa yang cocok pada setiap musimnya. Penerapan inovasi dan teknologi mutlak diperlukan. Tujuannya, selain untuk meningkatkan produktivitas, juga untuk meningkatkan efisiensi dalam proses tanam hingga ke hilirnya.

Salah satu contoh teknologi yang bisa diterapkan adalah climate smart agriculture. Informasi iklim ini sangat penting untuk mengambil keputusan tanaman apa yang bisa diusahakan pada musim-musim tertentu.Foto Antara.

Bustanul juga mengingatkan bahwa pemerintah perlu membuat kebijakan terkait penguatan infrastruktur sektor pertanian. Hal ini penting dilakukan agar setiap kebijakan di tingkat pusat bisa berjalan beriringan dengan praktik di lapangan.

Infrastruktur yang dibutuhkan antara lain sistem irigasi yang bisa memastikan ketersediaan air hingga musim panen tiba. Sistem ini harus berjalan berkesinambungan dengan ketersediaan pupuk, benih berkualitas, dan kemudahan pembiayaan bagi petani.

“Irigasi perlu serius di-support. Karena irigasi ini menjadi kunci dari upaya peningkatan produktivitas,” ungkap penulis buku “Catatan Kritis Ekonomi Pertanian” tersebut.

Soal infrastruktur ini juga disinggung oleh Dekan Fakultas Petanian Universitas Gajah Mada (UGM) Jamhari. Menurut Jamhari, selain kesinambungan antara teknologi dan infrastruktur, perlu ada sinergitas antar setiap stakeholder dalam sektor pertanian.

Pemerintah daerah, kabupaten, provinsi, pusat, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perlu ambil andil dalam upaya memperkuat sektor pertanian. Sebab, menurut Jamhari, problem di sektor pertanian saat ini bukanlah hanya persoalan ekonomi semata, tapi juga masalah sosial dan politik.

“Kalau mau menggerakkan pertanian semua harus bekerja sama. Sekarang era economic sharing, resources sharing, perlu lebih koordinatif dan integratif,” ungkap Jamhari dalam diskusi yang sama.

Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin juga sepakat dengan hal ini. Dia malah menginginkan agar Indonesia memiliki jenderal pangan. Jenderal ini yang mesti menjadi pemimpin sekaligus pengawas ketahanan pangan di Tanah Air.

Presiden, kata ia, harus memimpin langsung program ketahanan pangan ini. Setelah itu baru disusul oleh pejabat di kementerian lainnya, mulai dari Kementan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Agraria, Kementerian Linkgungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Bulog.

Dengan cara ini, sambung ia, Indonesia dapat memastikan bahwa ketahanan pangan di negeri ini akan kuat dan berjalan selaras dengan cita-cita bangsa. Berdaulat atas sumber daya di negeri sendiri. “Presiden harus memastikan semua lembaga ini bersinergi untuk kedaulatan pangan Indonesia,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.

Berita Lainnya
×
tekid