Apa rahasianya? Berikut tulisan dari BBC yang disadur oleh Alinea.id
Kepala eksekutif Levi Strauss, Chip Bergh berbagi cerita tentang bagaimana mempertahankan raksasa jeans dunia ini. Pria berusia 60 tahun ini saat diwawancara oleh BBC tampilannya lebih muda dibandingkan usianya.
Bergh keliatan modis, mengenakan jeans biru dan kemeja denim. Sikapnya ramah dan murah hati saat bercerita. Ia mengaku begitu diberikati dan beruntung dalam enam tahun perjuangannya di Levi's .
Dengan gembira Bergh menyebut bahwa pekerjaannya saat ini memberinya perasaan 'wow'. Jadi bagaimana bos jeans ini merangkum manajemennya? "Terbuka, jujur dan transparan. Apa yang anda lihat adalah apa yang anda dapatkan," tukas Bergh.
Sebagai seorang pemimpin bidang fashion, Bergh benar-benar menghayati perannya bukan hanya sekedar mencari keuntungan dan mempertahankan bisnis. Dia menegaskan bahwa dirinya benar-benar turun ke bumi untuk memoles bisnis Levi Strauss. Tidak ragu, ia merombak perusahaan secara radikal bahkan cenderung brutal.
Perusahaan yang didirikan pada tahun 1873 memang sedang pasang surut. Bahkan pada awal mantan eksekutif Procter & Gamble (P & G) menjadi pemimpin, Levi Strauss disebutnya sedang kehilangan arah.
Penjualan tahunan Levi's mencapai puncaknya pada tahun 1997 dengan penjualan mencapai sebesar US$ 7,1 miliar atau setara £ 5,3 miliar. "Kami lebih besar dari Nike saat itu," kenang Bergh. Bahkan ia menyebut bahwa Nike ingin menjadi seperti Levi's.
Namun bisnis mulai lesu, karena perusahaan asal Amerika Serikat ini mulai kehilangan keahliannya dalam menggabungkan warisan dengan perubahan tren. Hal ini terlihat pada tahun 2000 dimana penjualan jeans Levi's turun menjadi US$ 4 miliar.
Belakangan persaingan dengan Walmart dan Gap makin meningkat pesat. Belum lagi hutang pendirinya, serta sengkarut bisnis di keturunan keluarga Strauss.
Pada kondsisi tersebut, Levi's terpaksa memotong biaya, mengurangi pemasaran dan berhemat demi keberlangsungan bisnisnya. Tentu hal tersebut bukan perkara mudah bagi Bergh yang dikenal memiliki keahlian dalam bidang merek dan pengalaman internasionalnya. Momen itu disebut Bergh sebagai kesempatan untuk membuat perbedaan.
Ubah budaya
Untuk memperbaiki bisnis yang kembang kempis, Bergh tidak mengandalkan dirinya sendiri. Namun juga membutuhkan masukan dari pihak luar.
Ia lalu mengirim pertanyaan ke 60 manajer top perusahaan dengan enam pertanyaan tentang pro dan kontra bisnis. "Dari 15 wawancara tersebut, cukup jelas apa yang perlu dilakukan," katanya.
Bergh menemukan bahwa Levi's tidak memiliki strategi, tidak ada penyelarasan di seluruh organisasi dan para pekerjanya sedang mengalami frustrasi.
Pemecahannya, Bergh lalu berinvestasi di fasilitas, memperluas jangkauan pakaian terutama pakaian wanita. Terakhir membidik pasar baru yang sedang berkembang di Rusia, China dan India.
Meski demikian perjalanan bisnisnya tidak berjalan mulus. Pria yang tinggal di New York ini, pada saat 1,5 tahun memimpin Levi's harus menghadapi kepergian sembilan dari 11 anggota tim eksekutifnya. Tidak berhenti, sebanyak 150 manajer senior yang tersisa hanya dua per tiga.
Atas peristiwa tersebut Bergh kemudian menyimpulkan bahwa perusahaan perlu mengubah bukan hanya bisnis tapi budaya. "Cara terbaik untuk mengubah budaya adalah mengubah kepemimpinan," tukas Bergh.
Ia mengakui bahwa upaya tersebut memakan energi yang besar dan dramatis. Terkadang traumatis, namun Bergh menguatkan diri agar kesalahan di masa depan tidak lagi terulang.
"Saya harus cepat dan trampil sebagai seorang pemimpin. Dari tentara lah saya belajar semua itu," kenang Bergh yang mengaku sempat belajar menjadi tentara selama dua tahun sepulang sekolah.
Levi's kemudian merambah penjualan lewat e-commarce dan melakukan modernisasi di berbagai bidang. Analis ritel Marsekal Cohen, kelompok riset pasar NPD memuji usaha Bergh dan mengatakan Levi's telah menemukan kembali dirinya menjadi generasi baru.
Strategi tersebut nampaknya akan berhasil. Hingga pada tahun 2017, Levi's diperkirakan akan mencapai pertumbuhan laba lima tahun berturut-turut.
Namun, sang bos vegetarian ini mengatakan pekerjaan itu jauh dari selesai. "Kami telah membuat kemajuan yang sangat baik. Ini lebih sulit dan lebih lama dari perkiraan saya. Sebab saya tidak puas dengan posisi sekarang. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," terang Bergh.
Maka jika suatu merek pantas diberi label "ikonik", Levi's lah yang cocok.