sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rendahnya tax ratio di tengah tingginya korupsi dan penghindaran pajak

Tax ratio Indonesia menjadi salah satu yang rendah dibandingkan negara lain. Praktik korupsi dan penghindaran pajak menjadi penyebabnya.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Selasa, 16 Mei 2023 13:56 WIB
Rendahnya tax ratio di tengah tingginya korupsi dan penghindaran pajak

Aura positif berbalut optimisme menyelimuti Indonesia di awal tahun ini. Setelah dua tahun terakhir bergulat dengan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu melaporkan rasio pajak atau tax ratio Indonesia 2022 mencapai 10,4%.

Angka itu meningkat dibanding tahun sebelumnya, yang sebesar 9,12%. Bahkan telah melampaui tax ratio nasional pada periode sebelum pandemi Covid-19, yang mana berada di level 9,77% pada tahun 2019. 

Tak heran jika pemerintah membanggakan prestasi tersebut. Febrio bilang, naiknya tax ratio menunjukkan pemulihan ekonomi Indonesia semakin baik. “Ini lah yang menunjukkan pemulihan dan perbaikan di administrasi perpajakan yang cukup signifikan,” kata Febrio, dalam Konferensi Pers APBN Kita, Selasa (3/1). 

Pada tahun 2022, tax ratio Indonesia berhasil mengungguli capaian di tahun 2019, bahkan jauh lebih baik dari tahun 2020. Pada saat pagebluk itu, tax ratio anjlok hingga 8,3%. Namun, jika menengok ke belakang, tepatnya sejak satu dekade terakhir, rasio perpajakan justru melandai.

Pada tahun ini, tax ratio lagi-lagi diperkirakan akan kembali mengalami penurunan, seiring adanya resesi global dan berakhirnya lonjakan harga komoditas dunia (commodity boom). 

Tax ratio diproyeksikan akan kembali melemah di kisaran 1 digit pada 2023, seiring resesi global dan berakhirnya commodity boom, yaitu 9,6% dari PDB (produk domestik bruto),” ujar Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, kepada Alinea.id, Senin (15/5).

Estimasi penerimaan pajak dan tax ratio sektoral 2021-2022
Sektor industri 2021 2022
  Penerimaan pajak (Rp triliun) Tax ratio (%) Penerimaan pajak (Rp triliun) Tax ratio (%)
Industri pengolahan 458,1 14,0 583,9 16,3
Perdagangan 340,5 15,5 484,2 19,2
Jasa keuangan dan asuransi 199,7 27,1 215,7 26,6
Pertambangan 77,4 5,1 168,9 7,1
Konstruksi dan real rstate 91,3 4,1 83,4 3,5
Transportasi dan pergudangan 63,5 8,8 79,3 8,1
Informasi dan komunikasi 68,1 9,1 73,2 9,0
Jasa perusahaan 51,1 17,0 61,0 17,9
Sektor lainnya 298,2 3,8 284,4 5,0

Sumber: Perhitungan IDEAS, diolah dari data Kementerian Keuangan

Tunjangan selangit hingga naikkan tarif

Sponsored

Untuk meningkatkan rasio pajak nasional, pemerintah telah melakukan beragam upaya. Misalnya, pemberian tunjangan kinerja setinggi langit kepada pegawai di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu yang dikukuhkan dalam Perpres No. 37/2015. Ini untuk mengurangi potensi fraud di tubuh lembaga yang menangani langsung sistem perpajakan nasional.

Ada pula pengampunan pajak atau tax amnesty jilid I pada 2016-2017 dan tax amnesty jilid II, yang dimaksudkan untuk mendongrak pendapatan pajak sekaligus menggenjot kepatuhan Wajib Pajak (WP), baik Badan maupun Orang Pribadi (OP). 

Selanjutnya, per 1 April 2022 pemerintah juga menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%. Kebijakan ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) Pasal 7 ayat (1). Harapannya, dengan kebijakan ini Indonesia dapat membangun fondasi perpajakan lebih kuat hingga akhirnya bisa mendongkrak perekonomian nasional dalam jangka panjang. 

“Tapi semua upaya itu tidak mampu mendongkrak kinerja penerimaan perpajakan. Antara 2016 hingga 2022, tax ratio kita stagnan di kisaran 10,4% dari PDB. Kapasitas fiskal kita buntu di kisaran 10% dari PDB,” beber Yusuf.

Padahal, penerimaan perpajakan secara nominal selalu meningkat dari waktu ke waktu. Seperti pada 2013 silam, penerimaan pajak negara senilai Rp921 triliun. Satu dekade kemudian, penerimaan pajak tumbuh hingga mencapai Rp1.716,8 triliun. Dengan kondisi ini, kata Yusuf, seharusnya tax ratio di tanah air bisa ikut bertumbuh, bukan malah sebaliknya. Apalagi, PDB Indonesia juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. 

Pada tahun 2022 misalnya, PDB nasional atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp19.588,45 triliun, sementara PDB per kapita Rp71 juta. Capaian ini jauh lebih tinggi dari masa pandemi, di mana pada tahun 2020 PDB ADHB Indonesia hanya Rp15.443,35 triliun, sementara PDB per kapita hanya senilai Rp56 juta.

Jumlah ini sangat jauh dibandingkan PDB ADHB yang pada saat itu hanya Rp9.546,13 triliun dan PDB per kapita Rp38,4 juta. “Karena itu jika kenaikan penerimaan perpajakan tidak sebanding dengan kenaikan PDB, itu menandakan lemahnya kinerja perpajakan,” ujar Yusuf. 

Untuk mengukur kinerja perpajakan, yang dilihat pertama kali adalah tax ratio. Sebab, tax ratio merupakan rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB per kapita. Ini mencerminkan pula basis pajak (tax base) di tanah air. Bagaimana tidak, seiring pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita, maka semakin banyak pula wajib pajak yang akan membayar dengan tarif lebih tinggi.

Ilustrasi pajak. Foto Pixabay.

Praktik penghindaran pajak

Rasio pajak yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah adanya masalah dalam administrasi perpajakan. Dari kacamata orang luar Ditjen Pajak, kasus-kasus korupsi perpajakan yang melibatkan pegawai DJP, seperti kasus Gayus Tambunan dan Rafael Alun, adalah contohnya. 

Dugaan skandal transaksi janggal di Kementerian Keuangan sepanjang 2009-2023 sebesar Rp349,87 triliun yang diungkap oleh Menko Polhukam yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD serta data PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) atas aliran mutasi rekening dengan profil dan besarannya mencurigakan yang melibatkan 491 ASN Kemenkeu adalah kasus lain. 

“Permasalahan paling mendasar adalah rendahnya kepercayaan pada pemerintah yang dipersepsikan korup dan tidak kompeten. Di sisi lain, audit pajak dan penegakan hukum atas ketidakpatuhan pajak lemah,” tulis Peneliti IDEAS Tira Mutiara dalam penelitian berjudul Rendah Kinerja Pajak Negara, dikutip Alinea.id, Minggu (14/5).

Kemudian, ada pula masalah ketidakpatuhan dan penghindaran pajak (tax evasion) dari kelompok kaya. Hal ini sekaligus juga menjadi masalah terbesar yang dihadapi otoritas pajak, yakni kurang bayar pajak karena kelemahan sistem self-assessment.

Selanjutnya, ada pula kejahatan perpajakan, seperti tidak menyetorkan pajak yang dipotong, menggelapkan omzet penjualan, menggelembungkan biaya dan kerugian usaha, restitusi fiktif, hingga maraknya praktik base erotion and profit shifting, serta transfer pricing oleh perusahaan.

Dengan kondisi ini, tak heran jika pada akhir tahun lalu PPATK mencatat nilai shadow economy alias underground economy dari orang-orang tidak bertanggung jawab ini mencapai Rp183,8 triliun. Sementara itu, PPATK juga mengungkapkan bahwa shadow economy diperkirakan sebesar 8,3% hingga 10% dari PDB. Artinya, jika PDB ADHB Indonesia pada tahun 2022 sebesar Rp19.588,45 triliun, maka potensi underground economy mencapai Rp1.625,84 triliun hingga Rp1.958,85 triliun.

“Kami mengestimasi potensi penerimaan perpajakan yang seharusnya dapat dicapai dengan melakukan benchmarking terhadap kinerja penerimaan perpajakan di tingkat internasional. Kami memilih 14 negara berkembang dengan tingkat pendapatan yang tidak jauh berbeda dari Indonesia,” jelas Tira. 

Dari kelompok negara peer 1 (7 negara dengan PDB per kapita di atas Indonesia), rerata selisih tax ratio dengan Indonesia berada di kisaran 8,7% dari PDB. Sedangkan dari kelompok negara peer 2 (7 negara dengan PDB per kapita sedikit di bawah Indonesia), rerata selisih tax ratio dengan Indonesia berada di kisaran 7,2% dari PDB.

Dus, jika kinerja penerimaan perpajakan 14 negara berkembang di atas dalam periode 2010-2020 digunakan sebagai benchmark, potensi penerimaan perpajakan Indonesia yang hilang karena sistem fiskal yang tidak mampu mencapainya pada periode 2010 hingga 2020 sekitar 7,2% hingga 8,7% dari PDB setiap tahunnya. 

“Dengan rerata penerimaan perpajakan aktual Indonesia pada 2010 hingga 2020 adalah 11,8% dari PDB, maka penerimaan perpajakan yang seharusnya dapat dicapai adalah 19,1% hingga 20,5% dari PDB,” ungkap Tira. 

Pada kesempatan lain, pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar bilang, rendahnya tax ratio negara juga bisa karena kinerja sektor-sektor industri yang kurang atau bahkan tidak kuat. Deindustrialisasi yang terjadi pascatahun 2000 menjadi penyebab lain semakin terpuruknya tax ratio negara. Padahal, pada saat itu sektor manufaktur lah yang menjadi kontributor terbesar penerimaan pajak. 

“Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir sektor teknologi seperti startup sempat tumbuh. Dan strategi mereka yang ‘bakar duit’ (rugi) kan tidak bayar PPh Badan. Secara ekonomi jalan, pajaknya tak ada. PDB jalan tapi tax tidak, tax ratio menurun,” kata Fajry, saat dihubungi Alinea.id, Senin (15/5). 

Hal serupa terjadi pula pada sektor pertanian. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sektor pertanian memberikan kontribusi kepada PDB hingga 13,28% atau sekitar Rp2,25 kuadraliun sepanjang 2021. Meski begitu, sektor usaha ini hanya menyumbang penerimaan pajak sekitar 1,5%. 

Ada pula sektor pertambangan serta sektor konstruksi, dan real estate yang juga menjadi sektor dengan pembayaran pajak di bawah kewajaran (undertax). Dari data IDEAS, pada tahun 2021 ketika tax ratio nasional sebesar 9,1% dari PDB, rasio pajak sektor pertambangan hanya 5,1% dari PDB.

Sedangkan sektor konstruksi dan real estate ada di level 4,1% dari PDB. Pada 2022, tax ratio sektor pertambangan membaik, menjadi 7,1%, namun tidak dengan sektor konstruksi dan real estate yang justru kian terpuruk, dengan tax ratio di level 3,5%. 

Peneliti dari IDEAS Tira Mutiara bilang, alasan rasio pajak sektor pertambangan jauh lebih rendah ketimbang kebanyakan sektor industri lain karena banyaknya insentif perpajakan yang diterima perusahaan-perusahaan tambang. Pada saat yang sama, tarif pajak penghasilan badan (PPh badan) cenderung rendah akibat ketatnya persaingan usaha pertambangan. Selain adanya praktik ilegal berupa pengalihan keuntungan ke negara-negara lain di luar indonesia yang memiliki tarif pajak lebih rendah hingga ekspor komoditas tambang ilegal. 

“Kemudian, perusahaan multinasional seringkali berupaya mengurangi kewajiban pajak dengan mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah. Dilakukan melalui metode pemberian utang berbunga, menetapkan harga jual komoditas tambang lebih rendah hingga menggunakan sub-kontraktor,” imbuh Tira.

Adapun sektor real estate sejak lama menjadi pilihan orang kaya untuk menyembunyikan keuntungan dengan memanipulasi harga properti sebagai cara yang paling tradisional. Upaya ini, lanjut Tira, untuk mentransfer dan menyamarkan kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang tak bertanggung jawab itu. 

“Sektor real estate juga digunakan untuk menghindari kewajiban pajak dan pencucian uang melalui skema transaksi yang tidak dideklarasikan dan penggunaan identitas palsu dalam transaksi,” bebernya.

Sementara itu, untuk sektor pertanian, memiliki kontribusi rendah pada penerimaan pajak karena mendapatkan banyak fasilitas perpajakan, salah satunya pembebasan PPN. Menurut Fajry Akbar, fasilitas ini diberikan pemerintah kepada para pekerja di sektor pertanian, karena sampai sekarang sektor ini masih berbasis usaha rakyat, alih-alih industri. 

“Dalam UU HPP kemarin pun masih mendapatkan fasilitas pembebasan (PPN),” kata dia. 

Karena itu, untuk meningkatkan tax ratio, salah satu hal terpenting adalah meningkatkan penerimaan dari sektor-sektor industri yang sampai saat ini masih menyumbang sedikit penerimaan. Namun, sebelum upaya ini dilakukan, penting bagi pemerintah melalui kementerian-kementerian terkait serta dunia usaha untuk memperkuat sektor industri nasional. 

“Kalau kita mau jujur, pekerjaan rumah mengejar tax ratio harusnya dengan mendorong industrialisasi. Tapi sayang, ini merupakan fungsi dari kementerian atau lembaga lain. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah dengan mendesain insentif pajak untuk mendorong industrialisasi,” tegas Fajry.

Berita Lainnya
×
tekid