sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rupiah anjlok berbahaya bagi industri olahan

Anjloknya nilai tukar rupiah menembus Rp14.500 per dollar Amerika Serikat diperkirakan bakal berbahaya bagi pelaku industri olahan.

Cantika Adinda Putri Noveria Eka Setiyaningsih
Cantika Adinda Putri Noveria | Eka Setiyaningsih Sabtu, 21 Jul 2018 00:56 WIB
Rupiah anjlok berbahaya bagi industri olahan

Anjloknya nilai tukar rupiah menembus Rp14.500 per dollar Amerika Serikat diperkirakan bakal berbahaya bagi pelaku industri olahan.

Ketua Koordinator Gas Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaya mengatakan, depresiasi rupiah berbahaya bagi industri olahan lantaran sebagian besar masih bergantung pada bahan baku impor.

"Kalau kita lihat, valuta asing yang terus melambung itu berbahaya sekali untuk industri olahan. Industri kita itu impor bahan baku banyak sekali. Mulai dari lapisan industri hulu, industri intermediate dan hilir," katanya di Coffee Shop Gran Melia, Jakarta, Jumat (20/7). 

Dia menjelaskan salah satu cara agar rupiah menguat yaitu dengan cara menggenjot ekspor. Kendati demikian, hal tersebut belum bisa dilakukan karena semua bahan baku olahan Indonesia masih 70% didatangkan dari luar negeri (impor). 

"Apa yang mau diekspor, kalau bahan baku kita saja semua masih impor. Intinya, kita harus benahi dulu industri hulu ini," kata dia. 

Dia beralasan, sampai saat ini industri hulu di Indonesia masih berfokus di hilir, contohnya seperti distribusi gas LPG. Padahal, masalah hulu seperti eksplorasi wilayah baru itu belum dibenahi.

"Misalnya kita mengimpor solar luar biasa, padahal di Bontang ada LNG, di Sumatra ada sumber gas alam. Seharusnya itu bisa diolah," pungkasnya. 

Secara terpisah, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menjelaskan pelemahan rupiah yang terjadi saat ini hingga menembus Rp14.500 disebabkan karena terdepresiasinya mata uang China, yuan serta menguatnya dollar Amerika Serikat. 

Sponsored

Menurut dia, depresiasi yuan hingga 6,8% langsung berimbas terhadap mata uang negara-negara berkembang, seperti Afrika Selatan, Brasil, Chili, dan Polandia.

"Terus sempat tadi malam Trump mengkritik The Fed menaikkan bunga, kemudian direvisi pernyataan itu bahwa Trump menghormati indepedensi bank sentral AS. Sehinga, kemudian indeks dollar AS naik menjadi 95, jadi dollarnya menguat," jelas Mirza di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,  Jum'at malam (20/7).

Dia memastikan Bank Indonesia akan terus melakukan stabilisasi nilai tukar. Selain itu, kata dia, depresiasi rupiah termasuk yang terendah, jika dibandingkan dengan Polandia, Brasil, Meksiko, dan India, yang terdepresiasi mencapai 7%-8% sejak awal tahun (year-to-date/ytd). Bahkan, mata uang Argentina dan Turki telah terdepresiasi 20% ytd.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga sudah serius melakukan usaha lebih keras untuk mengatur laju ekspor dan impor, agar neraca perdagangan tidak lagi defsit. 

"Pemerintah juga memberikan insentif pajak untuk ekspor, pemerintah mendorong pariwisata. Itu effort akan kelihatan di jangka menengah dan panjang," ujar Mirza. 

Dia menambahkan, bank sentral akan mempertimbangkan banyak faktor dalam pengetatan suku bunga acuan demi penguatan rupiah. Di antaranya, kondisi neraca pembayaran, inflasi, dan situasi pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC), serta berlanjutnya depresiasi yuan China.

Dia optimistis, jika situasi sudah kembali normal, pasar akan kembali pulih. Lagi pula, kata dia, fiskal Indonesia terbilang masih sehat. Sehingga, sebaiknya tidak perlu untuk khawatir secara berlebihan. 

"Kredit perbankan sejak awal tahun sudah meningkat. Posisi Maret year-to-date (ytd) naik 2%. Year-on-year (yoy), kredit masih naik di bawah 10%. Sekarang year-to-date kredit sudah naik mendekati 5% dan yoy kredit sudah naik mendekaati 11%," pungkas Mirza. 

 
Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid