close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Bisnis
Rabu, 12 Agustus 2020 18:25

Subsidi gaji belum tentu dorong konsumsi

Pekerja informal, tidak teregistrasi di Kementerian Ketenagakerjaan, atau terkena PHK juga layak diprioritaskan menerima subsidi gaji.
swipe

Kebutuhan hidup tidak bisa ditawar. Apapun kondisinya. Pandemi atau resesi sekalipun tidak akan bisa menawar kebutuhan hidup yang hanya mentok pada urusan makanan dan minuman. Ongkos penghidupan harus tetap dibayar tuntas di depan.

Alfina Sandra (29 tahun) paham betul betapa beratnya ongkos penghidupan selama beberapa bulan belakangan. Pandemi Covid-19 membuat karyawati di salah satu perusahaan retail di bilangan Slipi, Jakarta Barat ini mengaku keteteran untuk membiayai penghidupannya sehari-hari.

Setiap hari ia harus bolak-balik Bogor-Jakarta untuk tetap bisa berkantor. Untuk itu, ia harus merogoh kocek minimal Rp1 juta dalam sebulan. Belum lagi urusan perut kosong yang tidak bisa ditunda. Sebulan, katanya, ongkos makan bisa sekitar Rp700 ribuan.

Tidak bisa tidak, ia harus bekerja untuk membiayai sekolah kemenakannya yang seorang yatim dan membayar cicilan bank Rp2,2 juta per bulan. Fina sendiri sudah mendapat relaksasi dengan hanya membayar bunga cicilannya saja untuk beberapa bulan, tetapi relaksasi itu akan berakhir Oktober ini.

Ia cemas kalau-kalau Oktober datang, penghasilannya masih belum kembali normal. Sebab selama pandemi, gajinya sudah dipangkas berkali-kali oleh perusahaan. Pada April, katanya, ia hanya menerima gaji Rp2,6 juta, setengah dari gajinya saat normal Rp4,3 juta.

“Karena kondisi sales anjlok, jadi solusinya jam kerja kami dipotong, penghasilan juga turun. Beberapa karyawan juga ada yang dirumahkan,” tutur Fina saat berbincang dengan Alinea.id, (9/8).

Kenyataan itulah yang membuatnya sempat semringah waktu mendengar pemerintah bakal memberi subsidi bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta. Tapi di sisi lain ia juga merasa gusar. Musababnya, salah satu syarat mendapatkan subsidi itu wajib terdaftar di Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK).

Sementara Fina, meski sudah setahun bekerja masih belum didaftarkan sebagai anggota BPJS TK. Perusahaannya berdalih, hanya karyawan yang sudah lebih dari 3 tahun bekerja yang boleh ikut BPJS TK. Ia menyayangkan hal itu. Pasalnya, jika dilihat dari besaran gaji, ia termasuk kelompok yang cocok mendapatkan subsidi upah tersebut.

“Mengharapkan (subsidi upah). Buat nabung, karena ‘kan kita enggak tahu ke depannya bakal kaya apa ‘kan? Tapi kalaupun enggak dapat, aku harapin sih bisa dapat pinjaman tanpa bunga, supaya utang aku bisa dipindah, ‘kan jadi lebih ringan,” ungkap warga Cibinong, Bogor itu.

Nasib Hilda Mutia (25 tahun) tidak jauh berbeda. Content writer di sebuah perusahan rintisan bidang fesyen dan kosmetik di wilayah Bogor, Jawa Barat  ini memang tidak mengalami pemangkasan gaji seperti Fina. Ia bahkan dibebaskan oleh perusahaannya untuk memilih bekerja di rumah atau di kantor. Tapi siapa sangka kalau pandemi justru telah membuat beban hidupnya semakin bertambah.

Dua kakaknya, kehilangan penghasilan karena pandemi. Karena itu, ia harus mengambil porsi kedua kakaknya untuk membiayai kehidupan keluarga. Padahal, gaji Hilda hanya Rp3 juta per bulan. Jauh dari batas Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bogor yang Rp4,1 juta.

“Tapi sejauh ini aku masih cukup saja. Karena aku ada penghasilan lain, jualan jilbab sama mainan edukasi anak. Sekitar Rp1 juta per bulan (penghasilannya),” tutur wanita kemayu itu kepada Alinea.id.

Walau begitu, rupanya janji pemerintah memberikan subsidi upah kepada pekerja formal telah sedikit menimbulkan pengharapan di benak Hilda. Jika ia berhak menerima subsidi itu, katanya, uangnya bakal digunakan untuk memberi modal bagi kedua kakaknya yang kehilangan penghasilan untuk memulai berusaha.

Tapi lagi-lagi, masalahnya masih sama. Hilda bukanlah peserta BPJS TK. Ia baru saja bekerja awal Maret 2020. Sementara persyaratan perusahaannya untuk ikut BPJS TK, harus karyawan yang sudah bekerja lebih dari 1 tahun.

“Setahuku sih kalau sudah setahun, baru didaftarin,” katanya.

Mekanisme penyaluran

Pertumbuhan ekonomi yang negatif 5,32% sepanjang kuartal II 2020 memang langsung direspon pemerintah dengan berbagai stimulus tambahan. Salah satunya, pemerintah telah menjanjikan subsidi gaji bagi para pekerja formal bergaji di bawah Rp5 juta. Subsidi ini menyasar kepada karyawan non-BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan nonpemerintahan, yang gajinya dipangkas lantaran pendapatan perusahaannya terpukul akibat pandemi.

Nominal yang bakal diterima para pekerja Rp600 ribu per bulan atau Rp2,4 dalam empat bulan. Dana tersebut akan langsung ditransfer ke rekening penerima manfaat melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Pembayaran dilakukan dua bulan sekali atau Rp1,2 juta setiap kali penyaluran.

Jumlah penerima manfaatnya ditambah dari rencana sebelumnya 13,8 juta orang menjadi 15,7 juta pekerja. Dengan begitu, anggaran yang disiapkan pun bertambah menjadi Rp37,7 triliun, dari sebelumnya Rp33,1 triliun.

Sayangnya, para penerima manfaat ini hanya terbatas pada peserta aktif BPJS TK yang membayar iurannya sampai akhir Juni 2020. Padahal jika berkaca pada cerita Fina dan Hilda, masih banyak para pekerja di luar sana yang juga turut terdampak pandemi, tapi bukan termasuk peserta BPJS TK.

Tetapi betapapun, pemerintah selalu punya argumen untuk menjalankan kebijakannya. Alasannya, karena data BPJS TK dianggap paling lengkap dan akurat untuk mendeteksi para pekerja yang layak mendapatkan bantuan Rp2,4 juta ini. Plus, upaya ini juga menjadi momentum untuk mendorong perusahaan agar segera mendaftarkan pegawainya ke BPJS TK.

“Akurasi validasi data pekerja atau buruh sangat penting karena ketepatan sasaran program ini bergantung pada verifikasi data yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan,” ucap Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam konferensi pers virtual, (10/8).

Selain syarat mutlak sebagai peserta BPJS TK, calon penerima insentif ini juga harus mempunyai rekening aktif dan tidak termasuk sebagai peserta program Kartu Prakerja. Dalam pelaksanaan kebijakannya, pemerintah telah menggaet lembaga auditor dan aparat penegak hukum untuk memastikan agar penyaluran dana segar ini tepat sasaran.

Kepolisian Republik Indonesia (Kepolisian RI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Kejaksaan Agung dilibatkan dalam sistem pengawasannya.

Ilustrasi pekerja. Foto Antara.

Tim Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan dan BPJS TK selaku penyelenggara program ini juga turut ambil andil dalam sistem pengawasan subsidi upah bagi pekerja tersebut.

Upaya pengawasan ini patut diapresiasi. Sebab itu berarti, pemerintah paham bahwa kompleksitas dalam pelaksanaan dana hibah sebesar ini selalu punya potensi moral hazard yang juga tidak kalah besarnya. Karena itu, pengawasan untuk program ini pun dilakukan secara berlapis dan superketat agar pelaksanaannya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Selain itu, ketepatan sasaran mutlak dibutuhkan supaya tujuan awal pembentukan program ini bisa terlaksana dengan baik. Di mana salah satu tujuannya adalah untuk menggenjot sektor konsumsi yang sempat anjlok -5,51% pada kuartal II 2020.

Harapannya jelas, agar Indonesia terhindar dari jurang resesi yang dalam di kuartal III 2020. Sebab sektor konsumsi ini punya kontribusi yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi dengan kisaran 58% di setiap tahunnya.

“Harapan saya kepada teman-teman pekerja yang akan menerima program ini, saya minta belanjakanlah uang ini untuk membeli produk-produk dalam negeri, belilah hasil karya UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) kita,” ujar Ida.

Salah sasaran

Betul belaka bahwa sektor konsumsi harus didorong untuk menjauhkan Indonesia dari resesi. Tetapi pemberian subsidi upah kepada sektor pekerja bergaji di bawah Rp5 juta rupanya masih menyisakan bolong di sana-sini dan cenderung salah sasaran.

Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, tambahan gaji bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta tidak akan mampu mendorong sektor konsumsi. Alih-alih dana bantuan itu dibelanjakan, Tauhid lebih mengira bahwa dana itu malah akan ditabung oleh penerima manfaat untuk berjaga-jaga di situasi penuh ketidakpastian.

Artinya, sektor konsumsi tidak akan tumbuh jika pemerintah memaksakan untuk memberi penghasilan tambahan bagi para pekerja formal tersebut. Sebaliknya, malah semakin memperlebar kesenjangan sosial.

Sebab berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran bulanan rerata rumah tangga di Indonesia hanya Rp2,9 juta. Mereka yang pengeluarannya di bawah itu, termasuk dalam kelompok miskin dan rentan miskin. Merekalah, menurut Tauhid, yang harusnya dibantu.

Pertimbangannya sederhana, karena kelompok inilah yang akan menggunakan uangnya untuk belanja keperluan sehari-hari. Sementara mereka yang punya gaji lebih dari Rp2,9 juta, kemungkinan besar hanya akan menggunakan uangnya untuk menabung dan berjaga-jaga.

“Tentu saja ini tidak akan efektif mendorong perekonomian dari sisi konsumsi. Karena apa? Penghasilan Rp5 juta itu bukan orang miskin,” ungkap Tauhid dalam diskusi daring pekan lalu.

Hemat Tauhid, ketimbang memberikan subsidi bagi kelompok nonmiskin, ada baiknya jika pemerintah menambah nilai bantuan bagi kelompok miskin Indonesia yang jumlahnya per Januari 2020 mencapai 26,42 juta orang. Orang miskin baru diperkirakan akan bertambah sebanyak 1,5 juta hingga 5,6 juta orang miskin baru pada akhir tahun.

Di luar itu, ada banyak korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia yang datanya tidak terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan maupun BPJS TK yang mestinya lebih layak dibantu. Sektor informal, mulai dari UMKM, ojol, hingga musisi kafe yang selama pandemi kehilangan penghasilan juga jauh lebih layak untuk bantuan itu.

“Prioritaskan bagi pekerja yang selama ini terkena PHK dan belum teregistrasi oleh Kementerian Ketenagakerjaan, dan mereka nyata di depan kita,” tegas Direktur Eksekutif Indef itu.

Tidak akan lolos dari resesi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengakui bahwa intervensi pemerintah melalui skema subsidi gaji ini tidak akan serta-merta mendorong konsumsi. Perlu kontribusi berbagai pihak, khususnya kelompok menengah dan menengah atas untuk turut mengeluarkan uangnya agar sektor konsumsi dapat tumbuh kuartal III nanti.

Tetapi jika bicara soal stimulus bagi pekerja informal, maupun beberapa kelompok lainnya yang disebutkan Tauhid di atas, Sri Mulyani sedikit menyangkal. Ani, sapaan akrab Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah sebetulnya sudah memberikan bantuan bagi hampir 60 juta orang di kelompok tersebut.

Bahkan, katanya, beberapa program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Sembako yang diberikan sejak April lalu, rencananya akan diperpanjang sampai Desember mendatang. Dengan konsekuensi, nilai manfaatnya dikurangi dari Rp600 ribu menjadi Rp300 per bulan.

Di luar itu, pemerintah juga bakal memperpanjang insentif bagi tenaga medis hingga periode Desember dengan nilai bantuan Rp5 juta-Rp15 juta per bulan. Tambahan lain juga ada melalui diskon tarif listrik 100% bagi rumah tangga dengan penggunaan 450 VA dan diskon 50% untuk penggunaan 900 VA.

Ada juga dana hibah bagi 9-11 juta UMKM sebesar Rp2,4 juta yang juga sudah diluncurkan. Plus cashback, bagi mereka yang membeli produk dari UMKM lokal. Khusus program cashback ini, nilai anggarannya masih dalam kajian oleh Tim Satgas PEN.

Ani berharap, dengan berbagai macam bansos tersebut, sektor konsumsi bakal terdongkrak di kuartal III nanti. Tujuan akhirnya, tentu saja agar Indonesia terhindar dari jurang resesi.

“Pemerintah akan turut berusaha supaya growth dari konsumsi ini di kuartal ke-3 paling tidak mendekati 0%. Artinya, kontraksi 5,5% ini bisa dimitigasi melalui berbagai langkah-langkah tadi,” ungkap Menkeu, (10/8).

Ketua Tim Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Budi Gunadi Sadikin menyebutkan selain meluncurkan stimulus gaji tambahan, pemerintah juga meluncurkan stimulus lainnya yang fokus untuk UMKM. Program itu adalah bantuan likuiditas restrukturasi untuk kredit UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp78 triliun.

"Sudah disalurkan ke bank-bank Himbara Rp30 triliun dan sudah bisa merestrukturasi kredit UMKM dari 620 usaha mikro atau UMKM dengan total volume kredit sebesar Rp35 triliun," ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga meluncurkan program subsidi bunga usaha mikro atau UMKM dengan pagu anggaran Rp35 triliun. Budi pun mengakui program ini masih minim penyerapan yakni baru sebesar Rp1,3 triliun.

"Tapi penyerapan Rp1,3 triliun ini yang juga kita amati per bulannya akan sekitar tambahan Rp1 triliun, memberikan dampak kepada 13 juta UMKM dengan outstanding pinjaman sebesar Rp204 triliun. Jadi dengan Rp1 triliun ini dampaknya sudah sangat besar," tambahnya.

Terakhir, pemerintah juga meluncurkan program hibah untuk UMKM dengan pagu sekitar Rp22 triliun.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform of Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menilai, bantuan apapun yang diberikan pemerintah tidak akan kembali meningkatkan konsumsi kembali ke level normal. Selama pandemi masih ada, penurunan konsumsi adalah suatu keniscayaan.

Ia meyakini, perekonomian Indonesia di kuartal III masih akan berada di teritori negatif. Perkiraannya, ekonomi akan berada pada level -3% hingga -4%. Resesi pasti terjadi.

“Dengan pertumbuhan ekonomi kuartal III negatif, kita sudah resmi resesi. Saat ini pun secara teknis, kita sudah resesi karena pertumbuhan kuartal I dan kuartal II kalau dihitung secara qtoq (quarter to quarter) sudah negatif berturut-turut,” ungkap Piter melalui pesan singkat kepada Alinea.id.


 

img
Fajar Yusuf Rasdianto
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan