sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PP upah dan suramnya masa depan kaum buruh  

Kenaikan upah yang diatur dalam PP nomor 51/2024 dianggap belum berpihak pada kaum buruh.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Senin, 20 Nov 2023 17:44 WIB
PP upah dan suramnya masa depan kaum buruh  

Keresahan menyelimuti sekelompok buruh yang tengah berkumpul di sebuah kantin pabrik mebel di Kebon Besar, Baru Ceper, Tangerang, Banten, Jumat (17/11) malam itu. Tembang "Aku dan Bintang" dari ban Peterpan mengiringi percakapan mereka. Buruh-buruh itu baru saja merampungkan shift petang.  

Isu upah yang tak bakal naik dan rencana perusahaan memutus kontrak sebagian pegawai jadi pembahasan utama. Para buruh pabrik mebel itu sepakat masa depan mereka bakal kian suram jika mengandalkan besaran gaji yang ditetapkan perusahaan saat ini. 

"Gila ini! Bukannya naik gaji... Udah tahu (harga) beras naik, masa gaji enggak naik?" ucap Andi, salah satu buruh hadir dalam persamuhan itu, saat berbincang dengan Alinea.id

Menurut Andi, perusahaan tak mau mengerek gaji para pekerjanya karena pendapatan turun. Ia menduga keputusan itu juga berkaitan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan (PP No. 51/2023).

"Aturan ini bikin gaji kami segitu-gitu aja. Kalau naik juga paling cuma dikit," kata pria berusia 29 tahun itu. 

Ucapan Andi ditimpali Risman, 31 tahun, salah satu buruh yang ikut nongkrong di kantin tersebut. Ia mengungkapkan upah per bulan mereka sekitar Rp4,5 juta. Duit segitu tak mungkin cukup untuk mengongkosi hidup pekerja yang sudah punya istri dan anak. "Cekak banget," imbuhnya. 

Risman mengaku sulit jika harus bertahan hidup dengan besaran upah yang sama tahun depan. Ia pun sudah menimbang untuk keluar dari pekerjaannya dan berjualan camilan. "Mending dagang cilor sama siomay di sekolahan. Untungya sebulan bisa Rp6-7 juta," ujar dia. 

PP No. 51/2023 diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dirilis pada 10 November 2023. Dalam beleid itu, kenaikan upah buruh ditentukan menggunakan tiga variabel utama, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu (simbol alpha). 

Sponsored

Dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan indeks tertentu akan dihitung oleh Dewan Pengupahan Daerah dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja, rata-rata upah, dan faktor-faktor lain yang relevan dengan kondisi ketenagakerjaan.

"Dengan ketiga variabel tersebut, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan pada suatu daerah telah terakomodir secara seimbang, sehingga upah minimum yang akan ditetapkan dapat menjadi salah satu solusi terhadap kepastian bekerja dan keberlangsungan usaha," ujar Ida. 

Disebutkan pada Pasal 26 ayat (4), UMP 2024 dihitung via upah minimum tahun berjalan ditambah nilai penyesuaian upah minimum tahun depan. Upah minimum provinsi harus ditetapkan paling lambat pada 21 November dan upah minimum kabupaten dan kota paling telat pada 30 November.

Ida meyakini beleid baru itu bakal menciptakan kepastian bagi dunia usaha dan industri. Dengan adanya ketentuan mengenai struktur dan skala upah pada PP itu, buruh juga bakal dipacu untuk produktif dan kompetitif. 

"Penerapan struktur dan skala upah akan memotivasi peningkatan produktivitas dan kinerja pekerja atau buruh karena pekerja dan buruh akan dibayar upahnya berdasarkan output kerja atau produktivitasnya," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu. 

Ilustrasi demo buruh. /Foto Antara

Belum adil

Guru besar hukum kepailitan dari Universitas Airlangga (Unair) Hadi Subhan menilai substansi PP nomor 51/2023 belum memihak kaum buruh. Jika berbasis ketentuan dalam PP itu, menurut Hadi, buruh atau pekerja hanya mendapat sedikit 'kue' dari pertumbuhan ekonomi nasional. 

"Semisal kalau inflasi 4% dan pertumbuhan ekonomi 5% persen. Angka 5% ini dibagi alpha maksimal 0,3. Berarti 5x0,3 dapat 1,5% sekian. Jadi, upah tahun depan inflasi 4% ditambah 1,5%, yakni 5,5%. Itu jelas terlalu rendah," ucap Hadi kepada Alinea.id.

Jika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5%, menurut Hadi, idealnya kenaikan upah buruh mencapai 9% dari besaran upah tahun sebelumnya. Upah yang hanya disesuaikan dengan inflasi tak mungkin bikin buruh lebih sejahtera. 

"Semisal inflasi 4%, kemudian pertumbuhan ekonomi 5%. Jadi, angka 9% itu ideal. Kalau sekarang, 4 ditambah 5 yang telah dibagi 3. Ini yang membuat kenaikan upah rendah. Rumus PP 51/2023 itu hitung-hitungannya kurang adil," kata Hadi.

Sebagai gambaran, Hadi mencontohkan korelasi kenaikan upah dan harga beras sebesar Rp12 ribu per kilogram. Tahun lalu, misalnya, harga beras dipatok kisaran Rp10 ribu per kilogram. Upah buruh yang naik tipis jauh lebih rendah ketimbang rerata kenaikan harga beras. 

"Angka 1,5% itu kan jadi tidak bermakna. Seharusnya pertumbuhan ekonomi itu dinikmati bareng antara pengusaha, pemerintah, sama pekerja. Ini terlihat pemerintah condong memihak pengusaha," kata dia. 

Kenaikan upah yang rendah, kata Hadi, bakal bikin kaum buruh kelimpungan memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi jika pemerintah mendadak mengeluarkan kebijakan untuk mengatrol kembali harga bahan bakar minyak (BBM). 

"Kalau BBM naik, itu akan terasa sekali (pengaruhnya) di kalangan buruh. Karena BBM kan kenaikannya flat. Kalau flat itu, semuanya terpengaruh, baik itu buat (buruh) di daerah yang UMP-nya tinggi atau yang rendah," ucap Hadi.

Meski begitu, Hadi tidak sepakat dengan aspirasi segelintir pimpinan serikat buruh yang menghendaki kenaikan upah hingga 15%. Menurut dia, angka itu terlampau tidak realistis jika bersandar pada faktor pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Angka 9% itu jalan tengah" kata dia. 

Bakal protes

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) Mirah Sumirat mengatakan rumusan PP No. 51/2023 paling banter hanya bakal mengerek upah buruh di kisaran 5-8%. Menurut dia, kaum buruh masih "tekor" jika faktor pandemi Covid-19 dan kenaikan harga BBM turut jadi pertimbangan. 

"Hasilnya sama saja tidak akan pernah mengangkat kesejahteraan para pekerja buruh karena angka itu betul-betul minus. Kenapa minus? Karena dalam situasi dan kondisi pekerja buruh diterpa pandemi Covid-19 di 2021 dan 2022. Belum lagi pada pertengahan 2022 itu kita berhadapan dengan kenaikan BBM," ucap Mirah kepada Alinea.id, Minggu (19/11).

Dalih apa pun yang diungkap pemerintah, kata Mirah, tak akan berarti apa-apa jika rumusan kenaikan upah yang tertera di PP tak diubah. Apalagi, saat ini masih banyak pengusaha "culas" yang menerapkan upah mengacu pada UMP 2020. 

"Kalau menggunakan rumus PP 51/2023, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks nilai tertentu itu. Maka, dipastikan upah yang diberikan kepada para pekerja buruh di Indonesia ini ya tidak akan mencapai satu rumusan kesejahteraan. Kita akan protes sampai kebijakan ini diubah," kata Mirah.

Lebih jauh, Mirah pesimistis nasib buruh bakal berubah dalam beberapa tahun ke depan. Tak hanya terkait regulasi, menurut dia, pemerintah juga terkesan tidak punya keberpihakan kepada buruh lokal. Ia mencontohkan dibukanya lebar-lebar keran investasi dari Tiongkok. 

Dari kaca mata kaum buruh, pola investasi dari Tiongkok dinilai tak menguntungkan. Pasalnya, investor Tiongkok lazimnya membawa tenaga kerja sendiri dari negara mereka. Rekrutmen untuk tenaga kerja lokal relatif minim.

"Kalau pun dibuka, itu sudah sangat sedikit. Upahnya juga jauh berbeda dengan tenaga kerja yang mereka bawa. Jauh lebih murah, meski posisi, jabatan, pekerjaannya sama. Artinya, luar biasa ada diskriminasi yang tajam di sana," kata Mirah.
 

Berita Lainnya
×
tekid