sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Yang tersisa dari penggunaan telepon pintar

Indonesia memerlukan pengelolaan sampah elektronik, termasuk telepon seluler dengan lebih serius.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 31 Okt 2022 17:37 WIB
Yang tersisa dari penggunaan telepon pintar

Dunia teknologi, telepon seluler (ponsel) khususnya memang terbilang dinamis. Seiring berjalannya waktu, pengguna ponsel terus bertambah. Bagaimana tidak, ponsel yang didominasi ponsel pintar alias smartphone kini bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi semata, melainkan juga sekaligus sebagai gaya hidup, tren, hingga untuk menunjukkan prestise seseorang.

Perkembangan pengguna telepon seluler ini terlihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dirilis Badan Pusat Statistik. Tahun 2021 tercatat sekitar 65,87% penduduk Indonesia menggunakan ponsel. Padahal, pada tahun 2011 baru 39,19% penduduk yang menggunakan alat komunikasi nirkabel ini.

Sementara itu, berdasar data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga akhir tahun lalu ada sebanyak 365,87 juta pelanggan telepon seluler. Jumlah ini naik 2,88% dari tahun 2020 yang hanya sebanyak 355,62 juta pelanggan.

“Kenaikan pesat ini selain karena memang penduduk Indonesia yang banyak, juga karena penduduk kita banyak yang punya lebih dari satu handphone (HP). Durasi penggunaan ponsel oleh pengguna juga cukup singkat, paling cuma satu dua tahun, ketika ada HP baru keluar, ganti,” jelas Pengamat gawai dari Komunitas Gadtorade Lucky Sebastian, kepada Alinea.id, Kamis (27/10).

Pada 2019 lalu, Samsung Indonesia pernah mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia cenderung mengganti ponsel level flagship (model unggulan) setelah dua tahun masa pemakaian. Sedangkan di bawah level flagship rata-rata hanya berkisar 1,5-2 tahun masa pemakaian.

“Setelahnya, masyarakat akan membeli gawai baru, baik dengan tunai, kredit, maupun tukar tambah ponsel lama miliknya dengan yang baru,” imbuh dia.

Dengan pola konsumsi tersebut, tak heran jika kemudian firma riset International Data Corporation (IDC) Worldwide Quarterly Mobile Phone Tracker memperkirakan, hingga akhir tahun 2022 akan ada 44 juta pengiriman smartphone. Jumlah ini naik 8% dari pengiriman di tahun sebelumnya yang sebanyak 40,9 juta unit smartphone.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sponsored

Bagi industri, perkembangan pesat pengguna ponsel di Indonesia jelas menjadi berkah tersendiri. Bahkan, menurut Analis Senior Counterpoint Research Febriman Abdillah, brand-brand ponsel akan terus meluncurkan model baru, menghadirkan smartphone 5G dengan harga lebih terjangkau dan mendorong penjualan saluran online dengan memanfaatkan platform lokapasar.

“Kemungkinan harga di kisaran US$150-US$249 (Rp2,25 juta-Rp3,74 juta, kurs Rp15.000 per dolar AS) bisa menjadi segmen smartphone dengan pertumbuhan tercepat, bisa mencapai 35% dari pasar,” kata Febriman, dalam keterangannya, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Memperbanyak limbah

Sebaliknya, perilaku konsumtif masyarakat terhadap penggunaan ponsel justru berpotensi merusak lingkungan. Pasalnya, dari sebuah ponsel, ada banyak limbah atau sampah yang dihasilkan.

Sebut saja plastik dan kotak kemasan dari handphone baru, kemudian ada pula sampah kemasan kartu SIM (Subscriber Identity Module). Jika dalam sebuah ponsel ada dua slot untuk kartu SIM dan digunakan semua oleh si empunya ponsel, akan ada dua sampah kemasan kartu SIM pula yang dihasilkan.

Di sisi lain, ponsel bekas yang sudah tidak terpakai juga berpotensi menimbulkan sampah yang masuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Sebab, ada kandungan arsenik, PCBs dan Kadmium di dalam ponsel bekas tersebut yang bersifat eksplosif dan korosif.

Sayangnya, ponsel-ponsel bekas kerap kali hanya disimpan saja, meskipun masih bisa dipakai. Sedangkan ponsel rusak, sering berakhir di bak sampah dan dibuang berbarengan dengan sampah atau limbah rumah tangga lainnya, seperti sisa makanan, kertas, atau plastik.

“Padahal, pada dasarnya kita enggak boleh sembarangan dalam membuang sampah elektronik ini. Tapi di sisi lain, kita juga enggak bisa mengolah sampah B3 ini sendiri. Kita harus bongkar satu per satu komponen dari handphone ini. Padahal, banyak dari kita yang enggak tahu,” kata Pendiri Komunitas EwasteRJ Rafa Jafar, kepada Alinea.id, Jumat (28/10).

Pada akhirnya, banyak handphone dan sampah elektronik lainnya yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun lalu ada sekitar 2 juta ton timbulan sampah elektronik. Di mana 10% di antaranya merupakan sampah ponsel.

Rafa bilang, membuang limbah ponsel bersama dengan sampah rumah tangga lain, sering dilakukan lantaran ketidaktahuan masyarakat akan bahaya gawai bekas ini. Di saat yang sama, banyak pula masyarakat yang tidak menganggap penting pengolahan ponsel bekas.

“Banyak juga dari mereka yang berpikir, pengolahan sampah ini sebenarnya tanggung jawab siapa? Apakah tanggung jawab konsumen, brand, atau pemerintah?” imbuhnya.

Pemuda yang memiliki nama lengkap Muhammad Rafa Ibnusina Jafar ini menilai, limbah ponsel seharusnya menjadi tanggung jawab brand sebagai produsen ponsel. Di negara tempat pabrik-pabrik ponsel bermarkas, sering kali terdapat pula layanan daur ulang limbah ponsel atau program penukaran ponsel bekas yang sudah rusak maupun tak terpakai dan diganti dengan ponsel baru dengan tambahan harga (trade in).

“Sayangnya, di Indonesia belum ada layanan seperti ini. Mungkin beberapa brand sudah ada yang bisa trade in ponsel lama dengan yang baru. Tapi untuk daur ulang belum ada,” ujar aktivis lingkungan berusia 19 tahun ini.

Ilustrasi Pixabay.com.

Hal ini pun diamini oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati. Dia mengakui pengelolaan sampah elektronik di Indonesia memang belum optimal. Sebaliknya, potensi timbulan sampah elektronik diperkirakan akan semakin banyak, seiring dengan sifat konsumtif masyarakat terhadap gawai.

Jangan buang ke TPA

Karenanya, dia menilai perlu ada upaya serius untuk menanggulangi permasalahan sampah ponsel ini. Seperti dengan memperkuat regulasi terkait pengelolaan sampah elektronik termasuk ponsel, mendorong keterlibatan produsen dan distributor ponsel untuk mengembangkan skema take-back alias upaya mengambil kembali ponsel rusak dari konsumen oleh distributor.

“Juga meningkatkan kesadaran masyarakat. Jadi kalau ada barang elektronik bekas jangan dibuang ke TPA itu berbahaya," kata Vivien, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (29/10).

Sementara itu, menurutnya pemerintah terus berupaya agar pengelolaan e-waste di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dimulai dari penyimpanan, pengolahan, hingga pemanfaatannya wajib mengikuti tata cara pengelolaan limbah B3. Tidak hanya itu, pemerintah juga telah mencanangkan pengumpulan sampah elektronik melalui program-program pengumpulan di dropping point.

Foto Pixabay.com.

"Kami akan terus berupaya mensosialisasikan dan mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan pengumpulan limbah elektronik," Vivien menambahkan.

Terpisah, Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto melihat, pengelolaan sampah elektronik termasuk ponsel belum terlalu diperhatikan. Peraturan Daerah (Perda) yang terdapat di masing-masing wilayah pun belum banyak dilaksanakan. Bahkan, sampah elektronik yang termasuk limbah B3 sering kali diperlakukan seperti sampah rumah tangga pada umumnya.

“Jadi pemulung, pelapak, tukang sortir itu belum paham standar penanganan yang sesuai baku mutu lingkungan. Mereka enggak paham itu berbahaya atau tidak, Standar Operasional Prosedur (SOP)-nya bagaimana,” katanya, kepada Alinea.id, Senin (31/10).

Di beberapa TPS di Indonesia, daur ulang limbah ponsel juga masih banyak melibatkan sektor informal. Sebab, belum ada tempat penampungan khusus limbah elektronik. “Dana ini sebenarnya cukup membantu, keberadaan pihak ketiga yang mengelola sampah elektronik ini,” imbuh Bagong.

Namun demikian, dia menilai masih perlu adanya advokasi atau pembinaan terhadap pengolah sampah elektronik agar dapat mengikuti standar prosedur, mengingat bahaya limbah B3. Di sisi lain, dia juga mendorong Dinas Lingkungan Hidup tingkat kota dan kabupaten untuk lebih proaktif dalam menangani permasalahan sampah elektronik termasuk ponsel ini.

Gonta-ganti kartu SIM

Sementara itu, selain masalah sampah elektronik dari ponsel dan charger bekas, ada masalah lain yang mengintai dari konsumsi telepon genggam masyarakat Indonesia, yakni kartu SIM. Pengamat gawai dari Komunitas Gadtorade Lucky Sebastian bilang, sama halnya dengan ponsel, masyarakat juga tidak cukup hanya menggunakan satu kartu SIM saja.

“Biasanya pakai dua kartu, satu untuk komunikasi sehari-hari, satu untuk kerjaan. Ini untuk orang yang sudah kerja. Karena kan kebanyakan dari kita enggak mau, kalau sudah bukan jam kerja masih diribetin dengan telepon-telepon atau chat dari kerjaan. Kalau sudah pulang, biasanya dimatikan,” beber dia.

Ilustrasi Pixabay.com.

Pun demikian dengan anak-anak yang masih sekolah. Lucky bilang, sekarang banyak anak sekolah yang juga menggunakan dua kartu SIM, satu untuk kegiatan sehari-hari dan kartu SIM lain untuk kebutuhan internet atau paket data.

“Ini lebih parah lagi. Ketika data internetnya sudah habis kartu SIM dibuang langsung, kemudian beli lagi yang baru. Begitu seterusnya,” imbuh dia.

Hal ini diamini pula oleh Rian Probo (16). Siswa kelas XII di salah satu sekolah menengah kejuruan (SMK) di Cisauk, Tangerang Selatan ini mengaku lebih mudah dan murah untuk mengganti kartu SIM paket datanya. Apalagi, di rumah dia tidak memiliki akses jaringan wifi.

“Dulu pernah pasang wifi di rumah, tapi ternyata malah lebih mahal Rp200 ribuan per bulan. Padahal yang pakai cuma aku dan mbak kadang-kadang. Mamak enggak pernah, karena kerja, Bapak HP-nya masih jadul, yang enggak bisa buat internetan,” bebernya, kepada Alinea.id, Minggu (30/10).

Dengan membeli kartu paket data baru, kini dirinya hanya harus merogoh kocek dari uang jajannya Rp50.000-Rp65.000 dalam jangka waktu satu bulan. Menurutnya, langkah ini pun juga banyak dilakukan oleh teman-teman sekolah maupun teman sepermainannya.

“Karena kan yang dibuang, yang gonta-ganti cuma kartu SIM yang buat paket data aja kan? Yang buat nomor harian mah enggak. Jadi selama nomor yang buat Whatsapp itu masih ada, enggak masalah kalau kartu SIM yang satu lagi ganti terus,” jelas dia.

Dengan kondisi tersebut, tak heran jika pada tahun 2021 ada sebanyak 355,79 juta orang yang menggunakan telepon seluler dengan kartu prabayar dan 365,88 juta orang yang menggunakan ponsel dengan kartu pascabayar. Angka ini jelas lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang masing-masing sebanyak 345,95 juta dan 335,62 juta.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sementara itu, hingga sekarang jumlah produksi kartu SIM di Indonesia diperkirakan mencapai 200 juta unit per tahun. Produksi besar ini, dilakukan lantaran pasar kartu perdana yang juga besar di tanah air.

Meskipun beberapa tahun lalu Kominfo sudah mengeluarkan kebijakan wajib registrasi nomor prabayar layanan telekomunikasi seluler, dengan verifikasi data tunggal kependudukan. Beserta kebijakan pembatasan jumlah nomor per operator telekomunikasi seluler yang boleh dimiliki masyarakat.

“Ini sebenarnya cukup bisa menekan produksi kartu SIM, terlihat dari pendapatan kami yang sebelumnya bisa sampai 10% sendiri dari total pendapatan. Sekarang enggak sampai segitu. Tapi tetap saja masih besar, karena memang ada kalangan yang masih sering gonta-ganti kartu SIM,” jelas Vice President Corporate Communications Telkomsel Saki Hamsat Bramono, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Kamis (27/10).

Dengan besarnya jumlah produksi kartu SIM tersebut, potensi timbulan sampah dari kartu perdana ini juga diperkirakan akan semakin besar. Padahal, sampah dari kartu SIM tidak berasal dari kartu perdana itu sendiri saja, melainkan juga dari kemasan dan cangkang yang digunakan untuk melekatkan kartu.

Pendiri dan CEO PlusTik Reza Hasfinanda bilang, didunia pengelolaan sampah, keberadaan limbah kartu SIM memang tidak banyak diperhitungkan karena ukurannya yang mini. “Tapi, lama-lama akan semakin banyak dan menimbulkan timbulan sampah plastik lebih banyak lagi kalau dibiarkan begitu saja,” kata dia, kepada Alinea.id belum lama ini.

Oleh karenanya, untuk mengantisipasi hal tersebut, PlusTik pun memutuskan untuk mengambil inisiatif dalam pengolahan limbah kartu SIM ini. Karena ukurannya yang kecil, Reza pun menggabungkan sampah ini dengan sampah-sampah plastik tingkat dua lainnya, seperti kemasan mi instan, saset atau kemasan minuman, serta snack-snack kecil lainnya.

“Ini kita olah jadi beberapa produk seperti phone holder dan paving block atau blok bangunan,” imbuh dia.


 

Berita Lainnya
×
tekid