sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kebakaran TPA: Potret buruknya pengelolaan sampah di Indonesia

Kebakaran di tempat pembuangan akhir yang banyak terjadi menunjukkan pengelolaan sampah yang kuno dan darurat di tanah air.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 30 Okt 2023 18:15 WIB
Kebakaran TPA: Potret buruknya pengelolaan sampah di Indonesia

Api di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jalupang, Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Karawang, Jawa Barat belum juga padam, namun kebakaran TPA sudah terjadi lagi. Teranyar, api muncul di Zona 2 Jambore Kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, pada Minggu (29/10) siang. Untungnya, kebakaran di tempat pembuangan akhir milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ini telah berhasil dikendalikan.

Kebakaran TPA Jalupang dan TPST Bantargebang menambah panjang rentetan bencana kebakaran TPA di Indonesia. Di mana menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hanya dalam periode Juni sampai awal Oktober 2023 sudah ada 14 kejadian kebakaran TPA.

Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta Muhammad Aminullah menilai, dua bencana kebakaran tersebut terjadi karena suhu tinggi dan cuaca kering yang telah terjadi sejak April lalu.

“Pengelolaan yang dilakukan di TPA-TPA di Indonesia juga masih dilakukan dengan sistem open dumping (penumpukan sampah) atau penutupan TPA,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (30/10).

Padahal, sistem ini memiliki risiko lebih besar untuk terjadi kebakaran, ketimbangan sistem pengelolaan sampah lain. Sebab, pada TPA dengan sistem kelola open dumping, gas metana yang dihasilkan oleh sampah hanya akan tersimpan di antara tumpukan sampah yang menggunung.

Tidak hanya itu, pada sistem open dumping segala macam sampah, termasuk sampah-sampah yang mudah terbakar, seperti sisa makanan, plastik, kertas, dan lainnya bercampur menjadi satu. Akibatnya, jika tersulut api, TPA pun akan sangat mudah terbakar, bahkan meledak.

“(TPST) Bantargebang yang diklaim sebagai tempat pembuangan sampah terpadu juga sebenarnya masih menerapkan sistem open dumping. Padahal sebenarnya sistem ini sudah tidak boleh digunakan karena berbahaya dan membuat sampah tidak terkelola dengan baik,” imbuh Amin.

Ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Di mana pada pasal 44 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem terbuka paling lama satu tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini.

Sponsored

Kemudian pada ayat (2) juga menyatakan kalau pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini.

“Artinya, di sini ada jangka waktu 5-6 tahun untuk melakukan transisi ke sistem pengelolaan sampah lainnya. Contohnya sanitary landfill. Di jangka waktu 5-6 tahun itu Pemda (Pemerintah Daerah) bisa menyiapkan rencana revitalisasi dan transisinya,” ujar Amin.

Perlu diketahui, Sistem sanitary landfill merupakan pengelolaan sampah yang dilakukan dengan mengubur sampah yang sebelumnya sudah dipilah dan diproses di dalam cekungan. Setelahnya, sampah ditutup kembali menggunakan tanah.

Transisi pengelolaan sampah

Terpisah, Pengkampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi menilai, kebakaran yang terjadi di banyak TPA menjadi sinyal bahwa pengelolaan sampah di Indonesia sudah memasuki fase darurat. “Model kumpul, angkut, buang sampah tercampur ke TPA ini sudah tidak lagi bisa menjadi solusi akhir sampah-sampah yang dihasilkan,” tegasnya.

Selain sudah dilarang karena memiliki potensi bahaya lebih besar, model kumpul, angkut, buang ke TPA alias open dumping juga tidak lagi bisa dijadikan solusi, mengingat produksi sampah masyarakat yang terus bertambah tiap tahunnya. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 35,83 juta ton timbulan sampah sepanjang 2022, naik 21,7% dibanding 2021, yang hanya sebanyak 29,4 juta ton. Dari jumlah timbulan sampah tersebut, 62,49% di antaranya atau sebanyak 22,45 juta ton telah terkelola. Sisanya, masih ada 37,51% sampah atau 13,47 juta ton sampah yang belum terkelola sepanjang tahun lalu.

“Tapi di DKI Jakarta saja, rata-rata produksi sampah oleh masyarakat mencapai 8.000 ton tiap hari, dengan lebih dari 7.000 ton di antaranya dikirim ke TPST Bantargebang. Ini artinya dibandingkan dengan yang dikelola, yang tidak dikelola dan berakhir menumpuk di TPA lebih banyak,” kata Atha.

Dengan cuaca ekstrem belakangan ditambah kapasitas TPA yang sudah menggunung dan melebihi kapasitas, aktivis lingkungan ini menilai bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu lebih serius untuk mengawal transisi sistem pengelolaan sampah open dumping ke sistem yang lebih mutakhir bagi Indonesia.

“Kalau konteks pengelolaan sampah, sederhananya adalah dipilah. Bagaimana mengelola sampah organik yang sebenarnya bisa diolah menjadi kompos dan memisahkannya dengan sampah anorganik,” jelasnya.

Sementara untuk sampah anorganik yang masih memiliki nilai ekonomi, bisa diserap untuk didaur ulang. Namun, yang lebih penting lagi, untuk jangka panjang, Atha menegaskan bahwa pemerintah perlu lebih optimistis lagi dalam menetapkan target pengurangan potensi sampah. Dengan demikian, strategi pengelolaan sampah pun bisa dilakukan dengan lebih agresif.

“Kita harus bicara pemilahan karena ini juga kunci dari zero waste sehingga sampah yang diangkut ke TPA memang benar-benar hanya residu saja,” tutup Atha.
 

Berita Lainnya
×
tekid