sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Utusan pemerintah Venezuela dan oposisi bertemu di Norwegia

Meski memutuskan bertemu dengan utusan pemerintah, namun pemimpin oposisi Venezuela mengatakan misi utama mereka tidak berubah.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Jumat, 17 Mei 2019 12:20 WIB
Utusan pemerintah Venezuela dan oposisi bertemu di Norwegia

Perwakilan dari Presiden Nicolas Maduro dan pemimpin oposisi Juan Guaido bertemu pada Kamis (16/5) untuk menyelesaikan krisis politik yang telah melumpuhkan Venezuela. Tatap muka terjadi di Norwegia dua pekan setelah seruan Guaido agar militer melenggserkan Maduro gagal memicu pemberontakan. 

Pembicaraan kedua belah pihak yang digelar 17 bulan lalu juga gagal menemukan solusi. "Saya memahami keraguan alami yang muncul di antara kalian karena frustrasi dengan mekanisme yang gagal di masa lalu," kata Guaido, yang menjabat sebagai Presiden Majelis Nasional, pada Kamis di Caracas. 

Dia menambahkan, "Jangan membingungkan tujuan dan mekanisme. Kami sudah sampaikan bahwa kami akan mencoba seluruh opsi. Jadi jangan bingung."

Keputusan untuk melanjutkan perundingan, walau ada keraguan atas keberhasilan, dinilai menggarisbawahi tekanan yang meningkat dari kedua belah pihak.

Sejak mendeklarasikan dirinya sebagai presiden sementara Venezuela pada Januari, Guaido berhasil menarik ribuan massa turun ke jalan-jalan dan membuat sejumlah pejabat menjauh dari lingkaran Maduro. Meski demikian, dia belum berhasil melengserkan Maduro.

Oposisi sendiri telah memenangkan dukungan dari Amerika Serikat dan lebih dari 50 negara lainnya. Guaido menekankan, meski terlibat dalam pembicaraan dengan kubu Maduro, namun pihaknya akan tetap konsisten dengan misi utama.

"Kami tidak akan berpartisipasi dalam negosiasi palsu apapun, tidak ada yang mengarah pada berakhirnya perebutan kekuasaan, pemerintahan transisi dan pemilihan umum yang bebas," kata Guaido.

Geoff Ramsey, asisten direktur di LSM Washington Office on Latin America, mengatakan bahwa Norwegia memiliki catatan dalam negosiasi. Negara Skandinavia itu memainkan peran dalam konflik Israel-Palestina, Sri Lanka, Kolombia dan Sudan.

Sponsored

Jorge Valero, Duta Besar Venezuela untuk PBB, mengungkapkan bahwa pemerintah sosialis akan berbicara dengan bagian oposisi yang demokratis, tetapi tidak kepada mereka yang didukung oleh rezim Donald Trump.

"Ada oposisi yang dapat dikategorikan demokratis, tetapi ada pula yang hanya boneka AS," kata Valero di Jenewa.

Pemerintah Maduro telah meningkatkan tekanan terhadap oposisi sejak seruan Guaido untuk menggelar pemberontakan militer bulan lalu gagal.

Intelijen polisi Maduro pekan lalu menahan wakil presiden Majelis Nasional. Dia merupakan pejabat senior oposisi pertama yang ditahan menyusul gagalnya upaya pemberontakan militer. 

Mahkamah Agung yang pro-Maduro juga melucuti beberapa anggota parlemen oposisi dari kekebalan parlementer mereka dan mendakwa mereka dengan pemberontakan, pengkhianatan dan konspirasi. Beberapa di antara mereka telah berlindung ke kedutaan asing di Caracas.

Langkah-langkah tersebut menandakan kemungkinan tindakan keras oleh pemerintah. Namun, pembicaraan di Norwegia dapat mengindikasikan bahwa tidak ada pihak yang berpikir mereka mampu memenangkan kebuntuan.

Para pemimpin oposisi di masa lalu bersikap ambivalen tentang lebih banyak dialog dengan pemerintah. Ketika perundingan 2017 runtuh, oposisi mengatakan Maduro berusaha untuk memperpanjang kekuasaannya, bukan menyelesaikan kebuntuan.

Pemerintahan Trump telah mencoba mengusir Maduro dengan meningkatkan sanksi terhadap Venezuela. AS mengatakan opsi lain, termasuk intervensi militer langsung, tidak menutup kemungkinan terjadi. Namun, satu yang pasti, AS telah memperingatkan bahwa penangkapan Guaido akan menjadi langkah yang tidak dapat diterima.

Pada Kamis Guaido menuturkan bahwa para pejabat oposisi akan bertatap muka dengan para pejabat Komando Selatan AS pada Senin (20/5).

Maduro sendiri mendapatkan dukungan dari Rusia, China dan Kuba. 

Venezuela, yang pernah menjadi negara terkaya per kapita di Amerika Latin, telah dikepung oleh hiperinflasi, pemadaman listrik, dan kekurangan obat-obatan, makanan, serta air minum. PBB memperkirakan bahwa 3,7 juta orang telah meninggalkan negara itu. (The Washington Post)

Berita Lainnya
×
tekid