sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Amarah bisa memicu serangan jantung

Marah, meski singkat, bisa memicu penyakit kardiovaskular.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Jumat, 10 Mei 2024 06:16 WIB
Amarah bisa memicu serangan jantung

Hati-hati, ledakan emosi yang berlebihan dapat membahayakan nyawa beberapa orang. Kemarahan, meski singkat karena mengingat masa lalu misalnya, bisa meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Termasuk serangan jantung. Hal ini ditemukan para peneliti dari Amerika Serikat, dalam riset yang diterbitkan Journal of the American Heart Association (Mei, 2024).

Menurut NBC News, para peneliti melakukan eksperimen terhadap 280 orang dewasa muda yang sehat. Lalu, membagi mereka menjadi kelompok kontrol yang menghitung dengan suara keras selama delapan menit dan mempertahankan keadaan emosi netral, serta kelompok yang mengingat peristiwa yang membuat mereka marah, sedih, atau cemas.

Sebelum memulai dan 100 menit setelahnya, para peneliti mengambil sampel darah. Kemudian mengukur aliran dan tekanan darah. Tujuannya, dilansir dari Washington Post, peneliti ingin menilai kesehatan endotel—lapisan sel gepeng yang melapisi permukaan dalam pembuluh darah, pembuluh limfa, dan rongga tubuh—partisipan.

“Sel endotel yang melapisi bagian dalam pembuluh darah, sangat penting untuk menjaga integritas pembuluh darah dan penting untuk sirkulasi yang baik dan kesehatan jantung,” tulis Washington Post.

Eksperimen dilakukan dengan peserta berusia di atas 18 tahun. Peserta menjalani serangkaian penilaian kesehatan dasar, termasuk vasodilatasi tergantung endotel yang diukur dengan perangkat EndoPAT2000. Alat ini bakal menilai fungsi endotel dengan mengukur perubahan volume ujung jari, sebelum dan sesudah aliran darah dibatasi dan kemudian dipulihkan. Proses ini dikenal dengan hiperemia reaktif.

Kesehatan endotel dinilai lebih lanjut dengan mengukur kadar mikropartikel turunan endotel dan sel progenitor endotel dalam aliran darah, yang masing-masing merupakan indikator cedera endotel dan kapasitas reparatif.

Para peneliti memilih bereksperimen dengan individu sehat untuk menghindari efek rancu dari penyakit kronis, seperti diabetes, yang bisa mengganggu fungsi pembuluh darah. Ahli jantung sekaligus profesor kedokteran di Columbia University Irving Medical Center—yang juga peneliti dalam riset ini—mencatat, jika peserta memiliki kondisi seperti itu, mereka sudah dapat memengaruhi pembuluh darah dan akan sulit untuk menentukan pengaruh emosi terhadap kesehatan pembuluh darah.

Hasilnya, dinukil dari NBC News, kemampuan pembuluh darah untuk melebar, berkurang secara signifikan pada kelompok orang yang marah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok yang merasa sedih dan cemas juga tak berefek terhadap pelebaran pembuluh darah.

Sponsored

Dilansir dari Science Alert, pada orang-orang yang marah, gangguan pada pelebaran pembuluh darah—penyempitan pembuluh darah yang menghambat aliran darah ke seluruh tubuh—terlihat nyata tiga menit setelah tugas selesai. Namun, menghilang setelah 40 menit. Hal ini menunjukkan dampak kemarahan terhadap fungsi pembuluh darah bersifat sementara. Setidaknya pada individu sehat, tanpa penyakit kardiovaskular.

PsyPost menulis, kemarahan punya dampak negatif yang signifikan terhadap fungsi endotel, sehingga membatasi kemampuan pembuluh darah untuk melebar. Gangguan pada fungsi endotel dianggap sebagai tahap awal dan reversibel penyakit kardiovaskular.

“Gangguan fungsi pembuluh darah dikaitkan dengan peningkatan risiko serangan jantung dan stroke,” ujar Shimbo, seperti dikutip dari PsyPost.

Menurut Science Alert, penelitian ini menunjukkan, ketika kita rileks, pembuluh darah kita juga ikut rileks. “Kami melihat, kemarahan menyebabkan disfungsi pembuluh darah, meski kami belum memahami apa yang menyebabkan perubahan ini,” kata Shimbo, dikutip dari Science Alert.

Gangguan melebarnya pembuluh darah merupakan penanda awal terjadinya aterosklerosis—penumpukan lemak dan kolesterol yang sering disebut plak pada dinding arteri. Aterosklerosis dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, serangan jantung, stroke, dan gangguan pada ginjal.

“Sangat menarik, kecemasan dan kesedihan tidak memiliki efek yang sama dengan kemarahan. Ini menunjukkan, emosi negatif yang berkontribusi terhadap penyakit jantung itu berbeda-beda,” kata Shimbo, dikutip dari NBC News.

Menurut ahli jantung sekaligus profesor kedokteran dan fisiologi di David Geffen UCLA, Holly Middlekauff kepada NBC News, hasil penelitian ini bisa membantu dokter membujuk pasien mereka yang punya penyakit jantung dan masalah kemarahan untuk mengelola emosi mereka lewat yoga, olahraga, terapi perilaku kognitif, atau teknik lainnya.

Sementara, dinukil dari Washington Post, ahli jantung sekaligus profesor kedokteran dan radiologi di George Washington University, Brian Choi mengatakan, penelitian tersebut dapat mendorong pihak layanan kesehatan untuk menyelidiki terapi manajemen amarah apakah bisa mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.

“Kita sering mendengar seseorang menderita serangan jantung saat terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Saya sudah mengetahui, stres akibat kemarahan dapat memicu serangan jantung, tetapi saya tidak memahami alasannya hingga penelitian ini dilakukan, yang menjelaskan mekanisme yang mendasarinya,” kata Choi kepada Washington Post.

Berita Lainnya
×
tekid