sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Orang yang minum kopi lebih rendah terkena parkinson

Parkinson adalah suatu kondisi otak yang menyebabkan masalah pada pergerakan, kesehatan mental, nyeri, dan problem kesehatan lainnya.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Minggu, 26 Mei 2024 06:14 WIB
Orang yang minum kopi lebih rendah terkena parkinson

Menikmati secangkir kopi sangat pas saat pagi atau sore hari. Selain sebagai minuman yang dianggap bisa menghilangkan rasa kantuk dan memberi semangat, orang yang meminum kopi ternyata punya risiko lebih rendah terkena penyakit parkinson dibandingkan mereka yang tidak minum kopi.

Penelitian itu dipublikasikan Neurology Journals (Maret, 2024), dilakukan para peneliti dari Utrecht University. Parkinson adalah suatu kondisi otak yang menyebabkan masalah pada pergerakan, kesehatan mental, nyeri, dan problem kesehatan lainnya. Gejala umumnya mencakup gemetar, kontraksi otot yang menyakitkan, dan kesulitan berbicara. Banyak penderita parkinson juga menderita demensia. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang lanjut usia. Laki-laki lebih sering terkena ketimbang perempuan. Paparan polusi udara, pestisida, dan pelarut dapat meningkatkan risiko.

World Health Organization (WHO) melaporkan, prevalensi penyakit parkinson meningkat dua kali lipat dalam 25 tahun terakhir. Perkiraan global, pada 2019 ada lebih dari 8,5 juta orang menderita parkinson. Perkiraan saat ini, parkinson meningkat 81% sejak 2000 dan menyebabkan 329.000 kematian.

Yujia Zhao dan koleganya mencatat, kopi adalah minuman psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Minuman ini juga mengandung kafein yang tinggi. Atas dasar itu, para peneliti menyelidiki korelasi antara konsumsi kopi dan risiko terkena parkinson menggunakan data longitudinal.

Para peneliti kemudian mencatat bahwa data yang dihimpun dalam studi kohort—jenis studi observasional sekelompok individu dari berbagai karakteristik, diikuti dari waktu ke waktu, dan hasilnya diukur pada satu atau lebih titik waktu—European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC) berisi jawaban peserta tentang konsumsi kopi.

“EPIC adalah penelitian longitudinal yang melibatkan lebih dari setengah juta orang dari 10 negara Eropa, yang direkrut antara tahun 1992 dan 2000. Riset EPIC bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara nutrisi dan penyakit tak menular,” tulis PsyPost.

Pada awal penelitian, peserta berusia antara 35 tahun dan 70 tahun. Para penelti menganalisis data dari substudi EPIC yang hanya fokus pada penyakit parkinson. Subkelompok peserta mencakup 184.024 orang dari Swedia, Inggris, Belanda, Jerman, Spanyol, dan Italia yang berpartisipasi dalam penelitian selama rata-rata 13 tahun.

Para peserta menyelesaikan kuesioner yang meliputi pertanyaan tentang konsumsi kopi, merokok, alkohol, tingkat pendidikan, dan aktivitas fisik. Sementara data penyakit parkinson berasal dari rekam medis peserta, yang lalu divalidasi para ahli gangguan motorik.

Sponsored

“Hasil penelitian menunjukkan, dari seluruh peserta yang terlibat dalam riset, 308 pria dan 285 perempuan menderita parkinson (kurang dari 1%). Sebanyak 93% peserta melaporkan minum kopi,” tulis PsyPost.

“Konsumsi kopi tertinggi terjadi pada peserta dari Belanda (sekitar 500 mililiter per hari) dan terendah dari Italia dan Spanyol (sekitar 100 mililiter per hari). Mereka yang paling banyak mengonsumsi kopi adalah laki-laki, perokok, berusia lebih muda, dan lebih rentan mengonsumsi alkohol.”

Sebanyak 25% peserta yang mengonsumsi kopi tertinggi, punya kemungkinan 40% lebih kecil terkena parkinson dibandingkan peserta yang tak minum kopi sama sekali. Saat semua konsumen kopi dibandingkan dengan peserta yang tak minum kopi, pengurangan risiko berkisar antara 63% dan 5% tergantung negaranya. Korelasi antara parkinson dan konsumsi kopi sama kuatnya pada pria dan perempuan, tetapi sedikit lebih kuat pada orang yang tak pernah merokok.

Hasil penelitian ini tampaknya menguatkan riset sebelumnya dari para peneliti asal National Neuroscience Institute di Singapura, yang diterbitkan jurnal The Lancet (September, 2023).

Dalam penelitian tersebut, para peneliti merekrut 4.488 peserta yang semuanya punya salah satu dari dua varian gen LRRK2, yang khusus untuk individu dari populasi Asia Timur atau varian lain yang sebagian besar ditemukan pada populasi Asia Timur.

Gen LRRK2 adalah gen yang mengatur pelepasan dopamin dan mengontrol gerakan motorik. Dopamin merupakan zat kimia yang mengirim sinyal ke bagian otak bernama korpus striatum. Sinyal ini membantu otot melakukan gerakan dengan lancar dan terkendali.

Lantas, peserta diminta mengisi kuesioner asupan kafein yang divalidasi. Rata-rata asupan kafein peserta penelitian adalah 448,3 miligram di antara mereka yang menderita parkinson dan 473,0 miligram pada kelompok yang sehat.

Hasilnya, para peneliti menemukan, peserta dengan varian gen terkait penyakit parkinson yang rutin mengonsumsi kafein punya risiko empat hingga delapan kali lebih rendah terkena penyakit itu dibandingkan mereka yang tak mengonsumsi kafein.

“(Kami) tidak terkejut dengan penurunan risiko ini karena kafein sebelumnya telah terbukti mampu mengurangi risiko parkinson, namun kami terkejut dengan besarnya pengurangan risiko pada pembawa varian gen Asia karena varian ini dikaitkan dengan dua kali lipat peningkatan risiko parkinson,” ujar wakil kepala eksekutif urusan akademik dan konsultan senior di Departemen Nurologi di National Neuroscienc Institute, Tan Eng King, yang merupakan peneliti utama riset ini kepada Medical News Today.

Berita Lainnya
×
tekid