sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bertamu ke rumah orang utan, hewan yang terancam punah

Hilangnya habitat, degredasi habitat, dan perburuan ilegal menyebabkan populasi orang utan berkurang

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Jumat, 12 Okt 2018 18:20 WIB
Bertamu ke rumah orang utan, hewan yang terancam punah

“Duduknya diatur kanan kiri ya, supaya kapalnya tidak miring sebelah.”

Begitu kata seorang awak kapal kelotok yang saya tumpangi. Semua penumpang langsung taat komandonya. Pagi itu, Senin (8/10), bersama 11 penumpang lainnya, saya berangkat dari Pelabuhan Kumai, Kalimantan Tengah, menuju Taman Nasional Tanjung Puting, menggunakan kapal kelotok.

Saya bersemangat ke sana, untuk bisa secara langsung melihat orang utan. Salah satu hewan yang dilindungi ini, sebelumnya hanya bisa saya lihat di televisi dan kebun binatang. Di Tanjung Puting, saya punya kesempatan langka melihat orang utan di habitat aslinya.

Perjalanan ke Tanjung Puting

Taman Nasional Tanjung Puting terletak di semenanjung barat daya Provinsi Kalimantan Tengah. Awalnya, kawasan ini merupakan cagar alam dan suaka margasatwa yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda pada 1937.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No.687/Kpts-II/1996 tanggal 25 Oktober 1996, Tanjung Puting ditetapkan sebagai taman nasional. Dengan luas 415.040 hektare, Tanjung Puting menjadi rumah bagi sekitar 5.000 orang utan.

Dari Pelabuhan Kumai, perlahan tapi pasti, kapal kelotok yang saya tumpangi berlayar di perairan Kumai. Lantas, kapal berbelok ke sebelah kiri, menuju perairan yang dangkal dan lebih sempit. Perairan ini adalah Sungai Sekonyer. Di kanan-kirinya, saya menyaksikan pohon palem dan bakau yang seolah menjadi pagar hidup tepian sungai.

Air sungai berwarna cokelat. Warna ini berasal dari tumbuhan yang meranggas puluhan tahun di dasar sungai.

Sponsored

Kapal kelotok, kapal kayu yang membawa pengunjung dari Pelabuhan Kumai ke Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. (Alinea.id/Laila Ramdhini).

Perjalanan panjang di Sungai Sekonyer ditempuh sekitar dua jam. Saya pun tiba di sebuah dermaga kecil, yang merupakan mulut menuju pusat konservasi orang utan, Taman Nasional Tanjung Puting. Saya dan penumpang lainnya bergegas turun dari kapal kelotok.

Kami pun segera bergabung dengan rombongan lainnya, yang sudah ada di sana. Seorang pria menyambut kami. Dia berdiri di depan kantor Balai Konservasi Tanjung Puting. Pria ini adalah Dede, pemandu wisata kami. Dengan cekatan, Dede mengisahkan segala hal tentang Tanjung Puting, termasuk soal konservasi orang utan.

“Ada lima ribu orang utan di sini. Mungkin, ada yang bertanya, bagaimana cara menghitungnya? Mereka kan lari ke sana ke mari. Ya bisa dong, kita kan ada sensus tiap tahun,” kata Dede berkelakar. Tawa kami pun meledak.

Usai memberikan pengarahan, kami diminta mengikuti instruksi Dede selama berada di Tanjung Puting. Dia mengatakan, kami akan masuk ke rumah orang utan. Mencari dan mengajaknya berinteraksi. Kami diminta mematuhi semua aturan alam yang tak tertulis: tidak berisik dan tidak membuang sampah sembarangan.

Rumah orang utan

Kami memulai perjalanan melalui jalan setapak. Pohon-pohon yang menjulang berjajar rapat di kiri-kanan. Sinar matahari hanya sanggup sedikit saja menembus dedaunan pohon-pohon itu.

Kami berhenti mendadak. Ada “tuan rumah” yang menyambut. Dia adalah Kacong, orang utan bertubuh besar, yang menunggu di depan jalan setapak yang kami lewati. Kacong pun segera dikerumuni pengunjung.

Di sini, orang utan diberikan nama oleh pihak konservasi Tanjung Puting. Saya pun tak mengerti, bagaimana pihak konservasi mengetahui ciri-ciri mereka, hingga mengetahui nama masing-masing hewan berbulu lebat ini.

Setelah puas melihat Kacong, kami pun melanjutkan perjalanan. Suara-suara hewan yang tak bisa kami lihat, terdengar seperti saling sahut. Namun, hujan tiba-tiba mengguyur deras. Dede menginstruksikan untuk berbalik arah, menuju tempat berteduh. Dede lalu memutuskan agar seluruh pengunjung kembali ke kantor pusat konservasi.

Setelah 15 menit menunggu, kami melanjutkan perjalanan kembali ke dalam hutan. Setelah perjalanan selama sejam, kami tiba di tempat untuk memberi makan orang utan. Para pengunjung diberi kesempatan untuk memberi makan orang utan. Waktu makan orang utan antara pukul 15.00 hingga 16.30. Ini menjadi pertunjukan menarik bagi kami.

Jalan setapak ke dalam hutan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Kami dihibur suara hewan-hewan yang saling bersahut. (Alinea.id/Laila Ramdhini).

Salah satu orang utan bernama Muchlis, bergelantungan di atas pohon dan siap menjemput makanannya. Meski orang utan termasuk hewan omnivora, tapi sebagian besar hanya memakan tumbuhan. Sekitar 90% makanannya berupa buah-buahan. Selain itu, mereka memakan kulit pohon, daun, sari bunga, bunga, madu, jamur, serta beberapa jenis serangga.

Hari pun merambat cepat. Petang sudah datang. Kami segera kembali ke dermaga, tempat kapal kelotok bersandar.

Di tengah perjalanan, saya kembali berjumpa orang utan. Menariknya, orang utan betina ini sedang menggendong anaknya, berayun lincah di dahan pohon. Momen ini pun menjadi objek bagi pengunjung untuk diabadikan.

Orang utan betina ini tak terganggu. Malah dia seperti tahu cara berpose di depan kamera. Dia berayun-ayun manja dari satu dahan ke dahan lainnya. Lantas, melemparkan ranting dan buah kepada salah satu pengunjung sebagai salam perpisahan. Kami pun terkejut dan tertawa.

Terancam punah

Orang utan merupakan satwa endemik, yang hanya bisa ditemukan di Kalimantan, Sumatra, dan sebagian Malaysia. Hewan ini memiliki tiga subspesies, yakni Pongo pygmaeus, Pongo abelii, dan Pongo tapanuliensis.

World Wildlife Fund (WWF) pada 2004 melaporkan, total populasi orang utan di Pulau Kalimantan, baik wilayah Indonesia maupun Malaysia, mencapai 54.000 ekor. Sementara itu, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menyatakan, jumlah orang utan di Kalimantan tak diketahui secara pasti. Namun, organisasi ini pernah melakukan survei udara pada awal 2000, dan memberikan data ada 11.000 ekor di Sabah, Malaysia.

Pada 2004, orang utan di Kalimantan jumlahnya 55.000 ekor dan menghuni kawasan seluas 82.000 kilometer persegi. Bila hutan Kalimantan seluas 155.000 kilometer persegi (mengacu data 2004), maka jumlah orang utan diperkirakan ada 104.700 ekor. Hal ini merupakan penurunan, dari estimasi 288.500 ekor pada 1973. Diperkirakan, jumlahnya akan menurun lagi menjadi 47.000 ekor pada 2025.

Para pengunjung tengah beristirahat. Mereka diberikan kesempatan untuk secara langsung memberikan makan kepada orang utan. (Alinea.id/Laila Ramdhini).

Orang utan Kalimantan mayoritas ditemukan di hutan dataran rendah, kurang dari 500 meter di atas permukaan laut. Hutan belantara dan lahan gambut merupakan daerah jelajah orang utan, karena menghasilkan tanaman berbuah besar.

Sebagai salah satu “kerabat terdekat” manusia, orang utan memiliki kecerdasan tinggi. Para ilmuwan menyebut, 97% DNA orang utan mirip manusia.

Pada 2016, IUCN menyatakan, orang utan masuk dalam status terancam punah. Dampak gabungan dari hilangnya habitat, degredasi habitat, dan perburuan ilegal menyebabkan populasi orang utan berkurang sebanyak 86%, antara 1973 dan 2025. Hilangnya habitat dan perburuan liar sebenarnya sudah menjadi ancaman serius rentang 1950 hingga 1973.

Manusia butuh orang utan

CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Jamartin Sihite mengatakan kepada saya, tiga spesies orang utan sudah diakui Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), sebuah perjanjian multilateral untuk melindungi tanaman dan hewan yang terancam punah. Orang utan sendiri masuk ke dalam kategori appendix I, yakni spesies yang dilarang untuk perdagangan komersial internasional, karena rentan punah.

Orang utan, di atas kertas, memang dilindungi hukum nasional dan internasional. Namun, praktiknya, hukum dan peraturan saja tidak cukup untuk aktif melindungi orang utan.

Konservasi orang utan memerlukan usaha yang komprehensif dan terpadu, yang dilakukan pemangku kepentingan, baik di lapangan maupun arena politik. Masalah serius yang dihadapi di Indonesia, banyak hutan yang dibabat untuk komersialisasi. Akibatnya, rumah mereka semakin sempit.

“Tantangannya memang karena orang utan memiliki 97% DNA yang sama dengan manusia, maka tempat tinggal (hutan) yang disukai orang utan pun menarik buat manusia,” kata Jamartin Sihite, ketika saya hubungi, Kamis (11/10).

Menurut Jamartin, saat ini pemerintah juga sudah memiliki pusat konservasi orang utan, termasuk di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, yang saya kunjungi. Ada pula kawasan konservasi milik swasta. Namun, faktanya 70% orang utan dari total populasinya, masih hidup di luar pusat konservasi.

Lindungi orang utan

Lebih lanjut, Jamartin mengatakan, perlu dicari solusi yang tepat untuk masalah ini. Misalnya, kata dia, dengan mewajibkan para pengusaha atau perusahaan yang akan melakukan alih fungsi hutan, membayar kewajiban membangun hutan lindung untuk orang utan.

“Misalkan, dari 100.000 hektare lahan yang mau mereka pakai, 10% harus disumbangkan menjadi habitat orang utan. Tapi, ini harus dilakukan oleh semua pihak. Supaya hutannya berada dalam satu lokasi, sehingga kuat secara ekosistem,” kata dia.

Jamartin menuturkan, keberadaan orang utan dan manusia sebenarnya bersifat simbiosis mutualisme, saling membutuhkan. Tak ada manusia yang sanggup bertani dengan menyebar biji sejauh 100 hektare per hari. Menurutnya, hanya orang utan yang bisa melakukannya.

“Itulah sebabnya, manusia membutuhkan orang utan, bukan sebaliknya,” katanya.

Sejatinya, hutan diciptakan untuk menyeimbangkan alam semesta, karena proses pembentukan oksigen dan segala sumber kehidupan berasal dari sana. Sementara, orang utan sebagai penghuni asli hutan membawa dan menyebarkan biji dari buah-buahan yang dimakannya ke seluruh hutan.

Biji itu akan tumbuh menjadi berbagai pepohonan besar, yang manusia butuhkan untuk produksi oksigen dan keseimbangan alam.

Berita Lainnya
×
tekid