sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kisah Ma Saloenah dan gempitanya Lebaran era kolonial

Ada beragam tradisi Lebaran dari era kolonial yang hingga kini masih dipertahankan.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 05 Jun 2019 23:08 WIB
Kisah Ma Saloenah dan gempitanya Lebaran era kolonial

Ma Saloenah menghias meja tamunya dengan dua belas jenis kue. Sebuah teko ditempatkan di tengah meja. Di sekelilingnya, cangkir dan piring tertata rapi. 

Soebana, Margana, dan anak-anak Ma Saloenah lainnya berulangkali menggempurnya dengan segudang pertanyaan. Mereka umumnya khawatir tak bisa bangun pagi. Sembari mengulum senyum, Ma Saloenah menyuruh anak-anaknya segera tidur. 

Saat anak-anaknya telah terlelap, Ma Saloenah masih terus bekerja. Ia pantang tidur sebelum semua persiapan beres. Perhiasaan dan pakaian baru bagi masing-masing anaknya harus sudah rapi saat hari berganti.

Itu sehari sebelum Hari Raya Idulfitri tahun 1925. 

Menginjak pukul tiga pagi, suami Ma Saloenah terbangun, mandi, dan berangkat menuju masjid. Ma Saloenah menyusul mandi, berganti baju dan menyiapkan masakan spesial Lebaran. Seusai menghidangkan masakan, Ma Saloenah membantu anak perempuannya mendandani anak-anaknya yang lebih kecil. 

Pada pukul enam pagi, suami Ma Saloenah pulang dari masjid. Ia kemudian sarapan, mengenakan pakaian barunya, dan memanggil anak-anaknya. Sang suami lantas memimpin keluarganya melangkah menuju makam kerabat untuk 'nyekar'. 

Pemakaman sudah sangat ramai saat mereka tiba. Di satu sisi jalan, terlihat sejumlah pengemis yang tubuhnya dipenuhi dengan borok yang mengerikan. Di tepi jalan lainnya, penjual bunga, sirup dan makanan lezat memancing kerumunan pengunjung pemakaman.

"Di sini orang-orang meminta pengampunan, Lebaran umat Muslim, hari penebusan dosa. Anak-anak telah menerima masing-masing 20 sen untuk membeli permen atau tur. Semua toko di kampung ini sekarang ditutup, tetapi jalan-jalannya masih sangat ramai: kereta sado, roda dua, dan roda empat berlari ke sana kemari, membawa pengunjung dan orang-orang berpesta," tutur Ma Saloenah.

Sponsored

Pagi itu, suara letusan kembang api dari berbagai arah masih terdengar. Terhitung dua belas kembang api telah 'menggelora' di langit. Di jalanan, kerumunan orang bergandengan tangan jadi pemandangan khas.

Kisah keluarga Ma Saloenah di salah satu kampung di Jawa itu termaktub dalam Javaansche sagen en legenden, zeden en gewoonten karya J.L America dan A. Soeardi. Dipungut dari kisah nyata pada 1925, cerita keluarga Ma Saloenah menggambarkan tradisi Lebaran yang tak banyak berubah kendati penguasa negeri ini silih berganti. 

Dituturkan Soeardi dan koleganya, meskipun hari pertama Lebaran jadi yang terpenting, ketika itu seseorang bisa merayakannya hingga tujuh hari. Namun, kebanyakan sudah merasa cukup puas setelah tiga hari berlebaran. 

"Secara bertahap, semuanya kembali ke penampilan normalnya. Masing-masing orang kembali pada pekerjaannya sehari-hari. Begitupun suami Ma Saloenah, sebagai petani akan kembali ke ladang tempat ia bekerja," tulis Soeardi. 

Menurut Soeardi, kebanyakan orang Jawa ketika itu percaya tahun baru penanggalan Masehi (taoen baroe) dirayakan pada 1 Syawal penanggalan Hijriah. Meskipun sebenarnya Tahun Baru jatuh sekitar tiga bulan kemudian.

Itulah kenapa, menjelang Lebaran, warga kampung di Indonesia juga hobi menyulut kembang api seperti di Eropa. "Kembang api telah jadi hiburan keluarga jelang Lebaran. Para ayah rela membeli kembang api jumbo yang harganya mahal demi menghibur anak-anaknya," tulis Soeardi. 

Sekitar dua atau tiga hari menjelang Lebaran, pengunjung pasar pun membludak. Pasalnya, hampir semua orang tak mau ketinggalan merayakan 'Slametan'. Pada penghujung Ramadan, toko-toko di perkotaan ramai dikunjungi pembeli dan kerap buka hingga larut malam. 

Menurut Hadji Agoes Salim di De Sumatera Post edisi 8 November 1940, siaran radio Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (Nirom) turut membangun atmosfer Lebaran era kolonial. Selain mengumumkan jatuhnya hari Lebaran, cikal bakal Radio Republik Indonesia itu juga rutin menyiarkan program-program Islami dari studio-studio di Jawa Barat dan Jawa Timur.

“Pemerintah kolonial menghargai keinginan umat Islam dengan bekerja sama dengan Perserikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) dalam menyajikan hiburan Islam khusus hari Lebaran. Cara khusus penyiaran mereka pada momentum Lebaran dikenal dengan tradisi Nirom,” tulis Agoes Salim. 

Selebaran perayaan Lebaran era kolonial. Dokumentasi Perpustakaan Nasional

THR masa kolonial

Pemberian tunjangan hari raya (THR) juga menjadi tradisi yang tak lekang oleh zaman. Menurut kajian yang termaktub dalam Een onderzoek naar de levenswijze der gemeentekoelies te Batavia in 1937-1939, upah buruh dibayar tepat sebelum Lebaran. 

Dari 93 keluarga yang diteliti dalam kajian tersebut, duit THR biasanya dihabiskan untuk belanja pakaian, kue lebaran, serta bahan pokok seperti daging, ikan, telur, dan gula. Walhasil, grafik konsumsi masyarakat buruh di perkotaan kerap melesat jelang Lebaran. 

Toelichting voor hen, die met de uitvoering van het reglement op de voiding in de landsgevangenissen of met de controle der leverantie van voedingsmiddelen belast zijn 1902 mengabarkan buruh atau petani dari kelas terendah sekalipun bisa menyantap menu hidangan berbahan utama daging sapi saat Lebaran tiba.

Selain disokong THR Lebaran, daya beli masyarakat kolonial juga naik karena upah lembur. 

Menurut Angelino, dalam Rapport betreffende eene gehouden enquete naar de arbeidstoestanden in de batikerijen op Java en Madoera 1930, keringat buruh yang lembur diganjar 10 sampai 25 sen per hari di pabrik batik Paal Merah. Pada 1926, pabrik batik Paal Merah bahkan dikabarkan menyumbangkan beberapa ekor sapi sebagai hadiah Lebaran bagi para buruh. 

Pabrik batik Cina juga tercatat turut menyantuni para buruh. Saat Lebaran, perjamuan meriah diselenggarakan bagi para buruh di pabrik-pabrik batik milik pengusaha Tionghoa. Tak lupa, setiap keluarga diberi bingkisan berupa ikan segar. Pabrik batik lainnya memilih memberikan uang tunai. 

Menurut Angelino, para majikan mau memberikan uang lembur dan hadiah Lebaran lantaran desakan serikat buruh setahun sebelumnya. Ketika itu, kaum buruh sempat menggelar aksi mogok kerja demi menuntut para majikan memberikan hak yang layak menjelang Lebaran.

“Lambang Soviet, palu dan arit dengan tulisan 'proletar' sebagai pengingat atas aksi pemogokan tahun 1925, menunjukkan bahwa komunisme bersanding di kalangan yang membutuhkan. Hutang rasa bersalah terhadap kuli dibayar sebagai ‘wang beras’," tulis Angelino. 

Berkat aksi kaum buruh itulah, THR akhirnya bisa 'cair' dan dinikmati sebagian besar buruh pada era kolonial. "Setiap budjang berhak meminta uang muka kira-kira sama dengan upah bulanan saat akhir puasa tahunan (Lebaran)," tulis Angelino. 

Berita Lainnya
×
tekid