sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengapa kita merasa diawasi saat sedang sendirian?

Peristiwa traumatis merupakan salah satu faktor mengapa kita merasa diawasi ketika tengah sendirian.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Sabtu, 20 Apr 2024 06:28 WIB
Mengapa kita merasa diawasi saat sedang sendirian?

Pernahkah Anda merasa diawasi seseorang, padahal sedang sendirian di rumah? Atau Anda tengah bekerja sendirian di ruangan kantor, tetapi seperti ada yang memperhatikan dari belakang? Ini bukan tentang mistis. 

Dikutip dari Live Science, psikolog klinis dan forensik Leslie Dobson mengatakan, ada beberapa penyebab. Pertama, mencakup spektrum yang luas, termasuk paparan terhadap buku, film, atau berita yang menakutkan. Kedua, kewaspadaan berlebih setelah peristiwa yang membuat stres atau trauma. Ketiga, kondisi kesehatan mental yang serius.

Menurut peneliti ilmu saraf dari University of Oxford, Harriet Dempsey-Jones, dalam situs Nuffield Department of Clinical Neurosciences ketertarikan manusia terhadap mata merupakan inti permasalahannya. Ada jaringan saraf luas di otak yang didedikasikan untuk pemrosesan pandangan. 

"Kita juga tampaknya terhubung dengan persepsi tatapan. Mekanisme yang mendeteksi mata dan mengalihkan perhatian kita mungkin bersifat bawaan--bayi baru lahir yang baru berusia dua hingga lima hari lebih suka menatap wajah dengan tatapan langsung," tulis Dempsey-Jones.

Mata kita pun, sebut Dempsey-Jones, juga dibentuk secara luar biasa untuk menangkap perhatian dan dengan mudah mengungkapkan arah pandangan. Area mata yang mengelilingi pupil (sklera) sangat besar dan berwarna putih seluruhnya. Hal ini, lanjut Dempsey-Jones, membuat sangat mudah untuk membedakan arah pandangan seseorang.

Dempsey-Jones menulis, orang-orang dengan spektrum autis menghabiskan lebih sedikit waktu untuk memusatkan perhatian pada mata orang lain. Mereka juga lebih kesulitan dalam mengekstraksi informasi dari mata dan kurang mengetahui ketika seseorang sedang menatap langsung ke arah mereka. Di sisi lain, orang dengan tingkat kecemasan sosial yang tinggi cenderung lebih terpaku pada mata dibandingkan dengan orang dengan tingkat kecemasan rendah. 

"Meski mereka menunjukkan peningkatan reaksi rasa takut fisiologis saat berada di bawah tatapan langsung orang lain," kata Dempsey-Jones.

Perasaan bahwa ada seseorang sedang memperhatikan kita, sudah diteliti pada 1898. Dempsey-Jones menulis, beberapa penelitian menemukan, 94% orang melaporkan mereka pernah merasa ada mata yang menatap dan berbalik untuk mengetahui mereka memang sedang diawasi.

Menurut The Cut, berdasarkan riset yang terbit di jurnal Current Biology (2013), para peneliti menemukan, kita sensitif terhadap tatapan mata. Sebab, sensitivitas itu dapat menjadi alat untuk bertahan hidup.

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di The Journal of Neuroscience (2013), eksperimen dilakukan terhadap seorang pasien tunanetra untuk menunjukkan bahwa kita merasa sedang diawasi seseorang. Para peneliti bekerja sama dengan seorang dokter berinisial TD yang menderita stroke--menyebabkan korteks visualnya rusak dan membaut buta secara kortikal.

Penelitian ini, tulis BBC, melibatkan pengamatan gambar wajah yang matanya diarahkan ke depan, menatap langsung ke orang yang melihatnya, atau yang matanya dialihkan ke samping memalingkan muka dari orang yang melihatnya.

TD lantas melakukan tugasnya menggunakan pemindai pencitraan resonansi magnetik fungsional atau functional magnetic resonance imaging (fMRI) yang mengukur aktivitas otak selama tugas tersebut, dan mencoba menebak jenis wajah apa yang dilihatnya. Hasil pemindaian menunjukkan, otak kita bisa peka terhadap apa yang tidak disadari oleh kesadaran kita. Amigdala--yang dianggap bertanggung jawab untuk memproses emosi dan informasi tentang wajah--menjadi lebih aktif ketika TD melihat gambar wajah dengan tatapan langsung.

Live Science menulis, dari temuan penelitian yang terbit di jurnal Frontiers in Psychology (2023), bagi orang yang pernah mengalami peristiwa traumatis, kewaspadaan berlebihan menjadi mekanisme pertahanan untuk mencegah mengalami stres di masa depan dengan menghindari bahaya.

Kepada Live Science, Dobson menjelaskan, gejala seperti paranoia dan kecemasan yang biasanya muncul usai peristiwa traumatis dapat terjadi di wilayah otak yang sama. 

"Amigdala memproses emosi kita seperti stres dan kecemasan. Jika amigdala terlalu aktif atau terluka akibat kerusakan fisik atau pemicu trauma yang berkelanjutan, maka bisa menyebabkan peningkatan respons emosional, seperti persepsi ancaman," kata Dobson.

The Swaddle menulis, merasa diawasi ketika sendirian bisa jadi karena ketakutan yang terus menerus, yang mungkin disebabkan pengalaman masa kecil. Jika seseorang mengalami pengawasan yang intens saat tumbuh dewasa atau diberi tahu mereka akan melakukan kesalahan dalam beberapa hal jika dibiarkan sendiri, seseorang mungkin merasa sulit untuk menghilangkan perasaan diawasi, bahkan bertahun-tahun kemudian.

Problem bakal muncul saat seseorang terus menerus merasa diawasi dalam jangka waktu yang lama. Psikiater klinis Alice Feller kepada Live Science menjelaskan, gangguan kesehatan mental bisa menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya apakah hal itu hanya perasaan. 

"Semisal, gejala skizofrenia yang meliputi kewaspadaan berlebihan dan paranoia, yang mencakup khayalan seseorang sedang mengawasi kita," ujar Feller kepada Live Science.

Berita Lainnya
×
tekid