sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengasuh anak dengan down syndrome

Diperlukan kesabaran dalam mengasuh anak dengan down syndrome.

Fery Darmawan
Fery Darmawan Kamis, 21 Mar 2024 16:00 WIB
Mengasuh anak dengan <i>down syndrome</i>

Meski anaknya mengalami down syndrome, Bunga Putri tetap bersyukur. Baginya, anaknya itu adalah anugerah dan rezeki dari Tuhan untuk keluarganya. “Kita tidak akan bisa menjadi keluarga yang sabar dan tangguh, tanpa Cici, kita tidak bisa melakukan semua itu,” ujar Bunga kepada Alinea.id, Rabu (20/3).

Bunga mengakui, diperlukan mental, konsistensi, dan kesabaran dalam mengasuh anaknya yang kini berusia 16 tahun itu. Terutama bila anaknya sedang tantrum. Metode dalam mendidiknya pun harus pelan-pelan, demi menjaga fokus anaknya. Bunga melakukan pendekatan learn and fun kepada anaknya dalam bersosialisasi dengan orang lain atau berkenalan dengan lingkungan baru.

“Ketika dihadapkan dengan rutinitas yang belum pernah dia lakukan, tentunya rasa penolakan itu ada,” tutur Bunga.

”Nah, di sini aku sebagai orang tua mengenalkan dia tentang dunia baru, dari yang awalnya aku bujuk menggunakan mainan atau melakukan take and gift.”

Bunga mengatakan, ada pendekatan secara intensif kepada anaknya dalam mendidik. Ia pun mengajarkan anaknya yang mulanya terbata-bata berbicara hingga fasih membaca. “Penekanannya tidak boleh mengintimidasi atau menyalahi kalau misalkan salah baca, intonasi suara kita juga tidak boleh keras,” kata Bunga.

Bunga pun kerap melibatkan anaknya dengan lingkungan sosial. “Bermain di luar rumah dengan saya, lalu mencoba untuk menyapa tetangga,” ucap dia.

“Tantangan yang dihadapi untuk saat ini hanya sabar dan tabah.”

Menurutnya, melakukan pendekatan secara intens tidak bisa secepat membalikkan telapak tangan. Butuh tahap demi tahap dan kesabaran dalam memberikan perhatian. “Saya berterima kasih kepada Tuhan karena telah diberikan karunianya, yaitu lahirnya Cici,” ujar Bunga.

Sponsored

“Dengan lahirnya Cici, hidup saya enggak flat dan penuh warna.”

Untuk mengasuh anaknya yang spesial, Bunga pernah melakukan konsultasi dengan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrom (POTADS). “Konsultasi dari POTADS nyatanya berhasil membantu saya dalam mengasuh Cici,” ujar dia.

Sementara itu, seorang guru di Yayasan Pendidikan Budi Insan Cendikia (YPBIC), Kota Depok, Jawa Barat, Dhiya Az Zahra menerapkan metode mengajar bagi anak-anak dengan down syndrome mencakup 50% belajar dan 50% bermain atau 70% belajar dan 30% bermain. Alasannya, kata dia, dalam mengenalkan huruf, mengingat, dan berhitung, individu down syndrome memang harus perlahan.

“Sebab mereka terbatas dalam mengembangkan kognitif, baik mengingat, berhitung, ataupun mengenal huruf,” kata Dhiya, Kamis (21/3).

Dibutuhkan pula afirmasi positif pada setiap pencapaian yang berhasil dilakukan. Dalam mengajar pun Dhiya menggunakan bahasa yang lebih sederhana. “Dan pastinya dalam membuat perintah atau kegiatan kelas, biasanya selalu ada pengulangan dan penegasan,” ujar dia.

Menurut dia, anak-anak down syndrome lebih memahami sesuatu dari visual. Jadi, selain dengan kalimat yang jelas, sederhana, dan konkret, dalam memberikan instruksi bisa disertakan gambar atau visualnya.

Dhiya menekankan, dalam mengatasi anak down syndrome yang mengalami kesulitan memahami pelajaran atau menyelesaikan tugas, cukup dilakukan pendekatan. “Kasih pengertian dan afirmasi postif, tatapan langsung agar fokus, dilakukan berulang-ulang, dan harus sabar, konsisten,” tutur Dhiya.

“Kalau di sekolah inklusi, ada yang namanya shadow teacher, itu membantu sekali sih dalam proses pembelajaran ABK (anak berkebutuhan khusus).”

Bagi Dhiya, diperlukan kesadaran akan hak-hak anak dengan kebutuhan khusus supaya bisa menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Tak lupa, ruang kelas yang aman dan mendukung untuk mereka belajar.

“Sama yang terakhir keterlibatan pihak orang tua dalam mendidik,” kata dia.

Terpisah, psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan mengatakan, anak dengan down syndrome ada dua tipe, yang memiliki kecerdasan intelektual di bawah rata-rata dan rata-rata. Ketika kecerdasannya di bawah rata-rata, maka penanganannya dalam pembelajaran harus perlahan.

“Lebih ke step by step, dari yang sederhana baru ke yang kompleks,” ujar Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani itu, Rabu (20/3).

Orang tua, kata Sani, bisa pula mendukung anak-anak down syndrome itu untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial mereka. Kepercayaan pun harus dibangun dari lingkup keluarga, sehingga si anak dapat berbaur dengan teman-temannya ketika sedang berada di luar rumah.

Sani menegaskan, anak down syndrome sama dengan anak yang lain, yang membutuhkan aspek sosial dan interaksi dengan lingkungan. Maka dari itu, ia menyarankan, orang tua tetap mengikutkan anak-anak dengan down syndrome dalam kegiatan berkelompok dan mengasah keterampilan.

“Orang tua harus explore sampai tahu apa sih kelebihan anak ini. Orang tua harus menerima dulu anak tersebut,” tutur Sani.

Ia melanjutkan, orang tua tak boleh menolak, menyalahkan, atau menyangkal terhadap anak down syndrome, sehingga si anak tak akan sulit untuk berkembang. Bimbingan orang tua serta mengeksplorasi minat dan bakat anak dengan down syndrome juga sangat penting. Tujuannya, agar kelak anak dengan down syndrome bisa bekerja dengan keterbatasannya atau memiliki keahlian tertentu yang dapat membantunya mencari uang.

“Sebenarnya yang harus diperhatikan, anak down syndrome itu menjadi berbeda dari anak lain itu (karena) fisik yang mempunyai ciri khas tersendiri. Bahkan mungkin—kalau ada anak yang tak mengerti—terasa anak tersebut aneh, baik perilaku atau fisiknya,” ucap Sani.

“Biasanya dengan lingkungan yang belum terbiasa akan melihat anak tersebut aneh dan tidak normal. Namun, yang harus dipastikan, orang tua perlu memastikan anak mereka yang berkebutuhan khusus dapat berinteraksi.”

Berita Lainnya
×
tekid