sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Memotret pengidap autis lewat sinema

Hari autisme yang jatuh pada 2 April diperingati dengan beragam cara. Berikut film yang bisa jadi rujukan untuk memahami "si biru" ini.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Senin, 02 Apr 2018 13:08 WIB
Memotret pengidap autis lewat sinema

Kuning, tempat baru, keramaian.

Beberapa hal tersebut menjadi momok bagi Riswan Khan, pria Muslim asal India, pengidap sindrom asperger. Untuk mengatasi ketakutannya, ia menenteng gawai handycam kemanapun ia pergi. Adik iparnya yang seorang dosen psikologi meminta Riswan merekam semua hal yang ia temui, agar rasa takutnya bisa terkikis.

Demikian garis besar film "My Name is Khan" (2010) yang diperankan aktor kenamaan Bollywood Shahrukh Khan. Film tersebut selain diniatkan untuk tujuan politis medekonstruksi ketakutan massal akan Islam dan terorisme, itu juga mengajak pemirsa memahami sindrom asperger.

Sindrom asperger berada dalam spektrum autisme. Ciri-cirinya mirip dengan pengidap autisme, sehingga kerap disebut bentuk autisme ringan. Yayasan Autisme Indonesia merinci, asperger tidak memiliki kesulitan dalam belajar, berbahasa, maupun memproses informasi. Biasanya pengidap asperger punya tingkat inteligensi tinggi, sehingga banyak yang tetap menjalani profesi di sektor publik, termasuk jadi dokter, polisi, dan lainnya. Hal lain yang menyamakan keduanya adalah ketertarikan berlebihan pada suatu objek.

Riswan dalam film itu digambarkan sangat menyukai objek hitung-hitungan dan mekanika. Tak heran jika ia dipercaya tetangga untuk memperbaiki perangkat elektronik rumah tangga.

Film besutan sutradara Karan Johar tersebut bukan satu-satunya sinema yang memotret persoalan autisme dan asperger. Film “I Am Sam” (2001) yang disutradari Jessie Nelson juga mengeksplorasi mereka yang mengidap autisme dan gangguan Down Syndrome. Sean Penn menjadi sosok bapak yang berjibaku membesarkan anak semata wayang, Lucy (Dakota Fanning). Di tengah gangguan psikologi yang menderanya, ia tetap bekerja dan melawan Departemen Perlindungan Anak di Amerika Serikat yang ingin merampas hak asuh Lucy.

Sam sangat menyukai segala hal tentang The Beatles, baik lagu, cerita hidup John Lennon, Paul Mc Cartney, dan personil lainnya. Ia laiknya rekan-rekan pengidap kelainan serupa, yang punya minat pada hal-hal spesifik. Ada yang menggemari film-film karya Victor Fleming, ada yang jago bermain kartu.

Sejumlah film lain seperti “Adam”, “Rain Man”, dan “Extremely Loud & Incredibly Close” juga berusaha mengetengahkan isu autisme kepada khalayak. Kendati beberapa film mengandung bias dan sebagian cenderung mengeksploitasi pengidap autisme, namun itu pas menjadi medium memahami gangguan yang umumnya diidap laki-laki ini.

Sponsored

Film soal autisme juga ditayangkan secara rutin di AS lewat serial “The Good Doctor” yang tayang perdana pada 25 September 2017. Ini bertutur tentang perjuangan Shaun Murphy yang bekerja sebagai dokter bedah, namun ditengarai mengidap gejala autisme dan savant syndrome. Sosok yang diadopsi dari film drama Korea itu memiliki kelebihan memori dan teknik menghapal yang luar biasa. Ia juga diglorifikasi sebagai dokter jenius yang mampu memecahkan masalah teknis bidang kedokteran.

Upaya glorifikasi ini juga terjadi di film serupa. Tirto menulis, film “The Accountant” (2016), yang diperankan oleh Ben Affleck, dianggap juga mengeksploitasi autisme sebagai sesuatu yang eksotik dalam film pengagungan pembunuhan. Alih-alih menyebarkan pesan soal penerimaan pada autisme dan perjuangan mereka, dua film itu justru sibuk mengeksploitasi subjek penderita autisme tersebut.

Rayakan perjuangan pengidap autisme

Dilansir dari Autism Speaks, autisme muncul lima kali lipat lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Lebih lanjut, satu dari 68 anak-anak di Negeri Paman Sam kemungkinan menyandang autisme. Angka ini setara dengan 30% pengidap autisme.

Badan Dunia untuk Pendidikan dan Kebudayaan, UNESCO, dikutip CNN, pada 2011 lalu memperkirakan ada 35 juta orang dengan autisme di dunia. Ini berarti rata-rata ada enam orang dengan autis per 1000 orang dari populasi dunia.

Di Inggris pada 2012, sebanyak 1,1% penduduk di atas 18 tahun mengidap autis. Di Korea Selatan perbandingan anak laki-laki biasa dan pengidap autis adalah 1:48. Sementara di Indonesia, meski belum ada data akurat yang menghimpun data pengidap autis, namun pada 2013 lalu Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan pernah menduga jumlah anak autis di Indonesia sekitar 112 ribu dengan rentang usia 5-19 tahun.

Angka ini ditetapkan berdasarkan hitungan prevalensi autis sebesar 1,68 per 1000 anak di bawah 15 tahun. Dengan jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia sejumlah sekitar 66 juta menurut Badan Pusat Statistik pada 2010, didapatlah angka 112 ribu tersebut.

Sebab melekat pada mayoritas anak laki-laki, maka autisme selalu digambarkan dengan warna biru. Warna ini dipilih sebagai simbol masyarakat, yang menerima dengan tangan terbuka semua individu dengan autisme, serta siap berinteraksi dengan mereka tanpa diskriminasi.

Saban tahunnya, autisme dirayakan dengan menyematkan lampu berwarna biru ke sejumlah gedung tinggi. Hari autisme yang jatuh pada 2 April tersebut dimanfaatkan Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyinari Monumen Nasional dengan pijar lampu biru. Ini sekaligus menjadi kampanye “Light It Up Blue”, yang sedianya dilangsungkan dari kemarin hingga Senin (30/4).

Aksi tersebut sudah empat kali dilakukan Pemprov DKI. Tak hanya Monas yang dijadikan lokasi peringatan, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan Simpang Susun Semanggi juga disinari lampu ini, dikutip Antara.

Penyinaran sejumlah tengara kota dengan lampu biru itu merupakan bagian dari gerakan global untuk mengirimkan pesan, harapan dan penyertaan kepada individu dengan autisme. Aksi tersebut juga merupakan tanda simpati serta penghargaan kepada keluarga yang telah mendampingi individu dengan autisme untuk mampu mandiri dan berkarya.


 


 

Berita Lainnya
×
tekid