sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Potret harmoni Kampung Sawah: Lonceng dan azan bersahutan

Kampung Sawah di Bekasi, Jawa Barat, menjadi potret harmoni antara umat kristen, katolik, dan islam yang hidup berdampingan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Rabu, 25 Des 2019 20:28 WIB
Potret harmoni Kampung Sawah: Lonceng dan azan bersahutan

Waktu menunjukkan tepat pukul 18.00 WIB. Suasana di Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat terasa tenang tanpa hiruk pikuk yang berarti. Hujan deras yang turun pada Minggu (22/12) petang itu pun menambah keheningan di pinggiran kota Jakarta tersebut.

Tak lama, lonceng dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah pun berbunyi lantang, menandakan dimulainya kebaktian sore di gereja yang sudah berumur lebih dari seabad itu. Menariknya, bunyi lonceng itu langsung disambut suara azan magrib dari Masjid Jauhar Yasfi yang berdampingan persis dengan GKP Kampung Sawah.

Tak ayal, bunyi lonceng dan suara azan yang saling bersahutan ini pun terasa bagaikan salam takzim satu sama lain. 

Reporter Alinea.id berkesempatan berbincang dengan pengurus GKP Kampung Sawah, Dianiman (51). Dia tengah sibuk mendekor pernak-pernik Natal di gereja.

Bunyi lonceng di GKP Kampung Sawah dituturkan oleh Dianiman memang sudah sejak lama berkawan dengan suara azan Masjid Jauhar Yasfi. Bahkan, ia menduga, harmoni itu terjalin sudah sejak komunitas kristen dan muslim hidup berdampingan di Kampung Sawah.

Dianiman mengatakan, hal itu tak pernah menjadi masalah yang berarti bagi masyarakat Kampung Sawah. Pasalnya, sejak kecil mereka sudah terbiasa mendengar bunyi lonceng dan suara azan yang saling bersahutan.

"Kami tak pernah ada masalah soal itu. Sejak kami kecil, telinga kami sudah biasa dengan suara azan dan bunyi lonceng. Kami semua hidup rukun dengan umat islam dan umat katolik yang ada di Kampung Sawah," ujarnya.

Perlu diketahui, di Kampung Sawah terdapat tiga komunitas umat beragama yakni kristen protestan, katolik dan islam yang hidup saling berdampingan. Potret itu bisa dilihat dari tempat ibadah yang saling berdekatan, yakni Masjid Jauhar Yasfi, GKP Kampung Sawah dan Gereja Santo Servatius milik umat katolik.

Sponsored

Uniknya lagi, ketiga agama itu mayoritas berbasis budaya betawi. Padahal, biasanya budaya betawi identik dengan umat islam.

Meski beragama kristen, Dianiman mengaku dirinya merupakan orang betawi. Dia dan keluarganya, sudah tinggal cukup lama di Kampung Sawah.

"Saya lahir di sini (Kampung Sawah). Orang tua saya juga orang sini. Jadi kami memang orang asli Kampung Sawah," ujarnya.

Sudah 140 tahun

Berdasarkan penuturan Dianiman, komunitas umat kristen sudah ada di Kampung Sawah sejak 1816. Umat kristen Kampung Sawah mulai membangun Gereja Protestan pada 1874.

"Jadi, tahun 1816 itu bentuk persekutuannya sudah ada. Pertama kali ada gereja ini ada di Pondok Melati. Lalu pindah ke Kampung Sawah sejak 1874. Jadi lebih kurang 140 tahun yang lalu," ujar perempuan berusia 51 tahun itu.

Sekretaris Umum Majelis Jamaat GKP Kampung Sawah, Hiskia Ekatana Dani (40), juga mengungkapkan hal senada. Menurut dia, keberadaan komunitas kristen di Kampung Sawah bermula dari pembaptisan warga lokal Kampung Sawah oleh Zending dari Belanda pada abad ke-19.

"Setelah mereka pergi lantaran Indonesia merdeka. Pengabaran dilakukan oleh warga lokal Kampung Sawah. Sehingga sampai saat ini masih ada," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Kakek buyut dari pria yang akrab disapa Eka itu pun merupakan pendeta pertama yang melakukan pengabaran di Kampung Sawah. "Kakek saya termasuk pendata pertama di sini. Namanya Pendeta Mikarikin. Saya merupakan generasi keempat dari beliau," ujarnya.

Kerukunan umat beragama di Kampung Sawah, kata Eka, sudah sejak lama terbangun. Menurut dia, nyaris semua umat beragama di Kampung Sawah masih satu saudara bila dibuat silsilah keluarga.

"Semua itu karena nenek moyang kita masih saudara. Masih keluarga, jadi masih satu silsilah bila dibuat pohon silsilahnya," ujarnya. 

Bahkan, Ketua I Majelis Jamaat GKP Kampung Sawah, Mardianus Modo mengaku masih saudara dengan Kiai Rachmadin Afif yang merupakan pendiri Yayasan Fisabilillah (Yasfi) sekaligus sesepuh Kampung Sawah.

"Pengasuh Pondok Pesantren Yasfi, Kiai Rahmadin itu kakek saya. Saudara dekat sama dia," kata dia dalam perbincangan di halaman depan GKP Kampung Sawah.

Mardianus pun mengisahkan dirinya dan keluarga kerap mendatangi rumah Rachmadin saat hari raya umat islam. Terlebih, kata dia, saat Hari Raya Idul Fitri lantaran di keluarganya, Rachmadin termasuk orang yang dituakan.

"Kalau Hari Raya Natal begini, karena masih saudara pasti bakal berkunjung ke rumah. Begitu pun ketika Idul Fitri. Kami rame-rame tuh ke Yasbi halal bihalal. Ya sebenarnya sih ngabisin makanan aja," ujarnya.

Mardianus pun menuturkan, sudah pasti terjun bila sedang dilaksanakan salat Idul Fitri. "Kami membantu untuk menjaga keamanan lalu lintas dan parkirnya," ujarnya.

Sebaliknya, bila sedang Natal atau pun paskah. Umat muslim pun pasti turut membantu jalannya perayaan di GKP Kampung Sawah dan Gereja Santo Servatius.

Menurut Eka, hal itu sudah berjalan alamiah sejak pendahulu mereka ada di Kampung Sawah. Sebab, sudah pasti setiap keluarga besar di Kampung Sawah, memiliki saudara yang lintas agama.

"Adik ibu saya itu muslim. Setiap hari besar, ya kita biasakan anak-anak kita dateng ngucapin. Karena itu hukumnya wajib bagi kami," ujarnya.

Selain diikat kekerabatan, perekat harmonisasi di Kampung Sawah juga diperkuat dengan risalah pendahulu yang dilisankan turun temurun. Eka mengatakan leluhurnya berpesan agar keturunannya jangan memandang orang dari agamanya.

"Kakek saya berpesan, jangan lihat orang dari agamanya. Sebab agama di sini memang macam-macam. Bila mau jadi muslim, jadilah muslim yang baik. Bila mau jadi kristen, harus jadi kristen yang baik. Yang penting jalanin. Sederhana itu mereka memberikan pesan," ujarnya.

Masuknya islam

Hal itu pun diamini Pengurus Harian Pondok Pesantren Fisabilillah sekaligus anak Kiai Rachmadin, Nur Ali Akbar (43). Ali membenarkan, bila umat beragama di Kampung Sawah masih satu silsilah keluarga. Menurutnya, hal itulah yang mengikat hubungan beragama di Kampung Sawah.

Ia pun membenarkan, bila ayahnya masih memiliki pertalian keluarga dengan umat nonmuslim di Kampung Sawah, salah satunya dengan Mardianus Modo.

"Dia mah masih saudara abah, dia sering main ke sini. Lebaran mah enggak absen dia. Bahkan abah juga punya saudara dari umat katolik," ujarnya saat ditemui terpisah.

Ali mengatakan, ayahnya berasal dari kalangan keluarga lintas agama. Sehingga, jangan terkejut bila banyak kerabat yang menjadi pengurus gereja di Kampung Sawah.

"Sebagian dari saudara abah kebetulan pengurus Gereja Kristen Pasundan. Jadi dari nenek itu ada keluarga beragama nonislam," ujarnya.

Ia pun sependapat dengan Eka, bila pertalian kekerabatan menjadi salah satu perekat hubungan beragama di Kampung Sawah. "Karena akarnya masih sama. Itu yang melatarbelakangi harmonisasi di Kampung Sawah," ujarnya.

Ali pun mengatakan, masyarakat Kampung Sawah sudah terbiasa dengan perbedaan. "Sehingga makin ke sini sudah tak ada lagi hal-hal yang mengganggu kegiatan keseharian kami," ujarnya.

Selain itu, lembaga-lembaga komunikasi antar umat beragama yang tumbuh di masyarakat pun menurut Ali, turut memperkuat ikatan sosial masyarakat Kampung Sawah.

"Sebab lembaga-lembaga agama ini membuat interaksi kami berjalan sangat baik. Sehingga membuat kami terbiasa berbeda," ujarnya.

Ali menuturkan, sejauh pengatahuannya, tak pernah ada konflik yang membelit masyarakat Kampung Sawah.

"Bahkan sejak saya lahir, saya belum pernah dengar atau lihat konflik di Kampung Sawah. Sebab memang masyarakat di sini sudah sangat dewasa," ujarnya.

Terlebih, menurut Ali para pemimpin umat beragama di Kampung Sawah sangat tanggap bila ada potensi konflik di masyarakat.

"Bila ada celah konflik. Para tokoh itu cepat bergerak, atau misalnya ada kesalahpahaman dari atas itu sudah bisa melihat permasalahannya sehingga bisa langsung dicegah," ujarnya.

Teloransi di Kampung Sawah menurut Ali, sudah dibuktikan sejak Pondok Pesantren Fisabilillah berdiri pada 1977. Saat itu, Kampung Sawah yang kadung dikenal dengan wilayah nasrani, bisa menerima niatan Kiai Rachmadin yang ingin membuka lembaga pendidikan bagi umat muslim.

"Awalnya Kampung Sawah sudah terlanjur terkenal dengan gereja yang lebih dominan. Pada saat itu sekolah umum belum ada. Sekolah muslim pun belum ada di sini. Makanya abah membuat pondok pesantren untuk mengakomodir pendidikan umat muslim di sini," ujarnya.

Ali pun, meyakini ikatan kekerabatan di Kampung Sawah membuat Hari Raya Natal dan Lebaran di Kampung Sawah begitu guyub dan harmonis. Potret itu menurut Ali, bisa di lihat dari sikap saling mengunjungi yang dilakukan para pimpinan umat beragama kala hari raya besar tiba. 

"Contohnya pada saat Tahun Baru. Abah itu mencotohkan, kami diajak keliling ke rumah saudara yang beda agama. Jadi itu pelajaran bagi kami bagaimana menjalin silahturahmi dengan saudara kita," ujarnya.

Menurut Ali hal itu pun bakal terjadi secara alamiah di perayaan Natal tahun ini. "Sebab itu sudah biasa sejak dulu," ujarnya.

Harmonisasi budaya betawi

Suara yang sama juga disampaikan  oleh Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Santo Servasius Kampung Sawah, Matheus Nalih Ungin. Dia ditemui di Gereja Santo Servatius yang hanya berjarak 100 meter dari Masjid Jauhar Yasbi dan GKP Kampung Sawah.

Menurut Nalih, hubungan harmonis antar umat beragama di Kampung Sawah sudah terjalin sejak lama. Sebab ada hubungan kekerabatan satu sama lain yang menjadi perekatnya.

"Bila dibuat pohon keluarga alias silsilah, memang umat beragama di sini saling terkait satu sama lain," ujarnya pada kesempatan lain.

Nalih pun mengatakan, bila dirinya memiliki banyak kerabat muslim dari garis keturunan ibu. "Sebab, kakak ibu saya merupakan seorang muslim, dengan anak-anak yang juga seorang muslim," ujarnya.

Sedangkan, Nalih dan ibunya memeluk katolik. "Sehingga bila dibuat pohon keluarga, keluarga besar kami ada seorang muslim dan katolik," ujarnya.

Pria yang sehari-hari mengajar di sekolah SMK Grafika Desa Putera Jakarta Selatan dan SMK Mandiri Yayasan Baitul Mutaqim, Pondok Ungu ini menuturkan, bila hari raya Natal, saudara muslimnya kerap mendatangi rumahnya untuk menyampaikan ucapan Natal seraya mempererat tali persaudaraan.

"Sebaliknya, bila saat Idul Fitri kami datang ke kakak mama saya untuk memberi salam dan ucapan. Itu wajib," ujarnya.

Nalih pun menuturkan, harmonisasi di Kampung Sawah sudah berjalan alamiah sejak dulu tanpa harus ada kesepakatan hitam di atas putih. "Harmonisasi ini berjalan begitu alamiah. Tanpa membuat kami terasing," ujarnya.

Menurut Nalih, sikap saling percaya pun turut menjadi perekat harmonisasi di Kampung Sawah. "Kami selalu percaya, saudara muslim kami akan memberikan proses pembelajaran yang terbaik bagi jamaahnya, terlebih untuk Kampung Sawah. Kami pun percaya saudara kristen kami akan memberikan pemahaman iman yang terbaik bagi jamaahnya, terlebih untuk Kampung Sawah. Kami pun demikian," ujarnya.

Keberadaan komunitas Katolik di Kampung Sawah sendiri menurut Nalih sudah ada sejak 6 Oktober 1896. Semua bermula dari 18 orang asli Kampung Sawah yang dibaptis oleh misionaris dari Belanda.

"Dari 18 orang itulah cikal bakal orang katolik di Kampung Sawah, yang sekarang jumlahnya saat ini hampir 11.000 orang," ujarnya.

Karena tumbuh dan berkembang dengan latar budaya betawi. Hal itu pun membuat komunitas katolik di Kampung Sawah sangat kental budaya betawinya. "Itu karena kami mewarisi budaya betawi. Sampai-sampai kami disebut betawi nasrani," ujarnya.

Tema perayaan Natal tahun ini pun menurut Nalih bakal ada sentuhan betawi. Terutama dalam aksi teatrikal kelahiran Yesus.

Tema besar Natal tahun ini, menurut Nalih, bakal mengusung tema "Bangsa Adil, Bangsa Sejahtera" seperti yang diintruksikan Keuskupan Agung Jakarta. "Tema ini merupakan pemaknaan dari sila kelima Pancasila," ujarnya.

Meski menurut Nalih, warga Kampung Sawah sudah mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, jauh sebelum falsafah negara itu lahir. 

Baik Eka dari GKP Kampung Sawah, dan Nalih dari Gereja Santo Servatius, serta Nur Ali Akbar dari Yayasan Fisabilillah, sudah saling memahami apa yang mesti dilakukan saat Natal tiba.

"Sebab komunikasi yang kami lakukan secara, sosial, kemanusiaan dan budaya juga merupakan kunci harmonisasi kami abadi," ujar Nalih. 

Infografik Kampung Sawah. Alinea.id/Dwi Setiawan

Berita Lainnya
×
tekid