sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rasisme dan senja kala trem kuda di Batavia

Trem kuda tersingkir karena berbagai persoalan.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Minggu, 27 Nov 2022 09:27 WIB
Rasisme dan senja kala trem kuda di Batavia

Tio Tek Hong, seorang saudagar keturunan Tionghoa yang lahir di Pasar Baru, Batavia pada 1877, mengisahkan tentang trem kuda di buku Kenang-kenangan: Riwajat-hidup Saja dan Keadaan di Djakarta dari Tahun 1882 sampai Sekarang (1959), yang diterbitkan ulang dengan judul Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan, 1882-1959 (2006).

Menurutnya, setiap lima menit lewat satu trem kuda, antara pukul 05.00 WIB hingga 20.00 WIB. Moda transportasi massa itu berbentuk satu gerbong kereta panjang, berjalan di atas rel, ditarik tiga hingga empat ekor kuda. Kusirnya menggunakan tanda dengan meniup terompet. Gerbongnya besar, bisa memuat 40 penumpang.

Setiap penumpang, kata Tek Hong, mendapat satu karcis yang dicap dengan nomor jalan. Jika ada orang yang hendak turun atau naik ke atas gerbong, petugas karcis akan membunyikan lonceng, sebagai tanda bagi kusir untuk mengerem trem menggunakan alat pemutar semacam kompas.

“Jika hendak turun, karcis harus dikembalikan kepada penjualnya (petugas),” kata Tek Hong dalam buku tersebut.

Ia mengatakan, trem kuda akan berjalan dari Kota Intan hingga ke Harmoni. Di Harmoni, jalur trem terbagi dua, yang satu menuju Tanah Abang, yang lainnya ke arah Pintu Air menuju Pasar Baru, Waterlooplein (Lapangan Banteng), Pasar Senen, Kramat, lantas ke Meester Cornelis (Jatinegara).

“Tarifnya dari Kota Intan ke Kramat 10 sen dan dari Kramat ke Jatinegara 10 sen juga, demikian pun dari Kota Intan ke Tanah Abang melalui Harmoni 10 sen,” ujar Tek Hong.

 Lukisan trem kuda pada 1881 yang dikelola Nederlands-Indische Tramweg Maatschappij (NITM)./Foto Perpustakaan Nasional RI/commons.wikimedia.org

Cerita trem kuda

Sponsored

Kemungkinan, Tek Hong menyaksikan trem kuda saat masih kanak-kanak, di akhir operasionalnya. Sebab, lima tahun setelah dia lahir, trem kuda sudah dihapus secara perlahan, diganti trem uap. Walau masih menyisakan beberapa rute saja.

Peneliti Populi Center Jefri Adriansyah dalam tulisannya “Ulang-Alik Batavia: Kemacetan dan Masalah Hunian Kelas Pekerja di Jakarta” di buku Sudah Senja di Jakarta (2020) menyebut, trem kuda muncul di era awal transportasi massa di Batavia pada 1869. Jenis transportasi itu hadir melengkapi sado, delman, dan bendi, yang sudah eksis sebelumnya.

“Sebagai perbandingan, bahkan di Eropa sekalipun, kala itu belum banyak kota yang menggunakan trem kuda,” tulis Jefri.

Menurut akademikus Zeffry Alkatiri dalam buku Pasar Gambir, Komik Cina, dan Es Shanghai: Sisi Melik Jakarta 1970-an (2010), ide trem kuda dibawa Martinus Petrus dari Belanda. Sebelum trem kuda beroperasi, dipersiapkan jalur rel ke beberapa jurusan. Pembukaan jalur trem itu dilakukan pada 1867.

Surat kabar Bataviaasch nieuwsblad edisi 23 Maret 1929, berdasarkan buku Geschiedkundig overzicht van het ontstaan der spoor en tramwegen in Nederlandsch-Indië (1904) atau Tinjauan Sejarah Asal-usul Kereta Api dan Trem di Hindia Belanda karya A.W.E. Weyerman dan riset pimpinan redaksi Tijdschrift voor Spoor and Tramwegen, Steven Anne Reitsma menyebut, pembukaan jalur trem Harmoni-Tanah Abang dilakukan pada 30 Mei 1867, pada 11 Juli 1867 jalur Harmoni-Kramat dibuka, dan pada 4 September 1867 dibangun jalur Kramat-Meester Cornelis.

“Pada 1867, perusahaan Duemmler & Co meminta pembukaan jalur melalui pusat kota dan pinggiran Batavia (sekarang daerah Kota Tua) menuju Meester Cornelis dan Tanah Abang,” tulis Bataviaasch nieuwsblad.

Duemmler & Co adalah perusahaan yang mengusahakan trem kuda di Batavia. Selain Bataviasche Tramway Maatschappij, yang kelak berubah nama menjadi Nederlandsch Indische Tramweg Maatschappij (NITM).

Sebuah iklan pengumuman tarif dan waktu operasional trem kuda di Batavia pada 1882./Foto Java-bode, 5 Juni 1882

Namun, awal Maret 1870 jalur trem Hamoni-Tanah Abang dihentikan karena banyak masalah. Pada 1872, sebut Bataviaasch nieuwsblad, sebanyak 545 ekor kuda mati. Keluhan juga muncul dari pemerintah dan warga.

“Pemerintah kota kala itu direpotkan oleh kuda-kuda yang buang air dan kencing di jalan-jalan yang dilaluinya,” tulis wartawan dan budayawan Betawi Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi (2004).

“Selain itu juga banyak kuda yang pingsan dan kemudian mati kelelahan karena mengangkut puluhan penumpang dalam gerbong.”

Tahun 1878, Duemmler & Co meminta agar kuda-kuda itu diizinkan untuk diganti dengan mesin uap. Menurut Bataviaasch nieuwsblad, ide itu muncul lantaran ada seorang pejabat tinggi pemerintah yang nyaris celaka karena kuda mendadak takut dengan gerbong trem.

Raad van Indie atau Dewan Keamanan Hindia menentang rencana ini. Setelah melewati negosiasi, pemerintah kolonial akhirnya menyatakan perusahaan itu dibubarkan. Aset Duemmler & Co lantas dilepas ke Nederlandsch Indische Tramweg Maatschappij (NITM) pada 19 September 1881. Akhirnya, trem uap malah diizinkan beroperasi penuh pada pertengahan 1882, usai dicoba di beberapa jalur.

Dengan beroperasinya trem uap, trem kuda hanya dipertahankan melayani rute Kleine Boom (Pasar Ikan) ke stasiun terminal Batavia dan Batavia ke Heemraden Plein. Pada 12 Juni 1882, layanan trem kuda dihentikan di jalur Harmoni-Batavia, dan baru dioperasikan trem uap pada 1 Juli 1883.

Pada Juni 1882, jalur Harmoni-Kramat sementara waktu dipertahankan untuk trem kuda. Meski dalam durasi jalan yang tak selama sebelumnya.

Java-bode edisi 5 Juni 1882 menulis, trem kuda beroperasi antara pukul 06.00 WIB dan 12.00 WIB lewat setiap 10 menit, pukul 12.00 WIB dan 14.00 WIB lewat setiap 15 menit, dan pukul 14.00 WIB dan 17.00 WIB melintas setiap 10 menit. Tarif untuk pribumi sebesar 7 ½ sen, sedangkan golongan ras lain 10 sen.

Lalu, pada 5 Agustus 1883, jalur trem uap diberlakukan di Harmoni-Kramat dan pada 15 September 1884, trem uap aktif di Kramat-Meester Cornelis.

Saat bisnis trem kuda terus mengalami kerugian, menurut Bataviaasch nieuwsblad, operasionalnya kemudian diserahkan kepada orang pribumi pada November 1886. Namun, usaha itu hanya bertahan dua bulan, lalu mati karena merugi.

“Segera setelah itu, gerbong dan kuda dijual,” tulis Bataviaasch nieuwsblad.

Sistem kelas

Trem uap di depan pabrik baja Carls Schlieper, Batavia antara tahun 1915 dan 1920./Foto Tropenmuseum/commons.wikimedia.org

Trem kuda di masa akhir operasionalnya, keadaannya sangat buruk. Hal itu diungkapkan para pelancong dari Belanda yang mengunjungi Batavia.

Misalnya, kesaksian seorang penulis bernama M. Buys yang mengisahkan dalam tulisannya pada 1891—yang dikutip dalam artikel “Djakarta di Mata Turis Seabad jang Lalu” di Intisari, Nomor 83, Juni 1970.

“Sebuah kereta buruk dengan sepasang kuda kurus-kurus membawanya (M. Buys) ke kota yang dibangun dengan gaya Eropa di mana kantor-kantor, gedung, dan bengkel pada umumnya tak bersih seperti di Belanda,” tutur Buys, dikutip dari Intisari.

“Di antara orang-orang, bergerak kereta-kereta jelek, sado-sado, dan dokar-dokar yang tak lebih bagus.”

Dilansir pula dari Intisari, buku Gids voor reizigers atau Panduan Perjalanan—sebuah buku petunjuk bagi musafir dari Belanda—yang terbit pada 1878 menyebut, betapa sibuk kendaraan di Rijswijk (sekitar Harmoni sekarang) di waktu pagi hari, membawa orang-orang pergi ke kantor.

“Trem (berkuda) laju dengan kedua rodanya yang tinggi,” tulis buku itu. “Untuk penduduk asli (pribumi) disediakan bagian terjelek, dengan bayaran 5 sen.”

Persoalan rasisme, dengan membedakan tempat duduk bagi penumpang pribumi dan ras lain terjadi di akhir keberadaan trem kuda. Hal ini pula yang memicu trem kuda semakin ditinggalkan, terutama oleh warga Eropa di Batavia.

Sejarawan Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011) menulis, orang Eropa tinggal di daerah yang lebih tinggi dan relatif sehat. Mereka harus bekerja di Batavia lama pada siang hari. Menuju kantor, pada 1869 mereka harus menempuhnya melintas Molenvliet (sekitar Jalan Gajah Mada sekarang) dengan trem kuda.

“Namun, orang Eropa menganggap alat transportasi tersebut menurunkan derajat mereka karena tidak membedakan ras dan kelas sosial,” tulis Susan.

Orang-orang Eropa yang merasa kedudukan sosialnya lebih tinggi dibanding golongan China, Arab, terlebih pribumi, mengeluh berada satu gerbong di trem kuda. Pemerintah kolonial kemudian memfasilitasi segala keluhan itu, dengan pembagian gerbong dalam trem uap.

Menurut Jefri, trem uap dibagi tiga gerbong. Pembagiannya mencerminkan struktur sosial yang dihasilkan dari politik segregasi ras pemerintahan kolonial.

Infografik trem. Alinea.id/Aisya Kurnia

“Gerbong pertama atau kelas 1 hanya untuk orang Eropa, gerbong kedua untuk orang China dan Arab, sedangkan kaum pribumi di gerbong ketiga,” tulis Jefri.

Parahnya rasisme di trem uap Batavia pun dirasakan langsung wartawan surat kabar Bendera Wolanda, Henri Constant Claude Clockener Brousson. Ia mengisahkannya dalam tulisan di buku Batavia Awal Abad 20 (2004).

Brousson mengatakan, masinis trem uap adalah orang pribumi dengan petugas yang menyalakan api. Dua kondekturnya adalah orang Betawi. Sedangkan kepala kondekturnya merupakan orang Eropa pensiunan tentara.

“Trem itu memiliki kelas satu dan dua, dan masih ada gerbong khusus kelas tiga untuk orang pribumi yang membayar dengan murah. Saya dengar, apabila mereka membayar dengan tarif penuh, mereka dapat duduk di kelas satu atau dua,” kata Brousson.

“Tapi yang mampu membayar tentu hanya golongan pribumi kaya.”

Ia heran, mengapa orang China, Arab, dan Eropa tak diperbolehkan duduk di kelas tiga. Baginya, semua penumpang sama dan mereka dapat duduk di kelas mana pun.

“Namun, kelihatannya ini ada hubungannya dengan prasangka rasis gila di mana banyak orang Eropa di Hindia masih menganutnya,” kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid