sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

RUU Permusikan dan para pelaku musik yang terusik

Di dalam draf RUU Permusikan, terdapat pasal yang dianggap mengebiri para pelaku musik.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Senin, 04 Feb 2019 20:59 WIB
RUU Permusikan dan para pelaku musik yang terusik

Menghambat kreativitas

Banyak ketakutan dari pelaku musik bila RUU Permusikan terbit menjadi undang-undang. Bagi Agus Teguh Prakosa Andarusman alias Sandy dari grup musik PAS Band, adanya ketentuan dalam RUU Permusikan sangat berpotensi menghambat kreativitas seniman dalam mencipta lagu.

Sandy merujuk pada Pasal 5 RUU Permusikan, yang menyebut larangan untuk membuat karya yang provokatif dan merendahkan martabat manusia.

“Kita sebagai seniman kan tanggung jawabnya sama diri kita dan Tuhan aja. Tuhan yang ngasih kita untuk mendengar, melihat, dan merasakan,” kata Sandy, ditemui setelah diskusi “Bedah Tuntas RUU Permusikan” di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2).

Dia mengatakan, jika ada karya lagu yang menyebutkan anggota parlemen mangkir dari tanggung jawab dan jabatannya, tentu itu bukan hal yang bersifat provokasi.

“Itu sebuah lagu. Janganlah menganggap itu sebagai sebuah provokasi. Tapi itu (refleksi) bahwa kalian (anggota DPR) memang buruk,” ujarnya.

Sedangkan untuk pasal terkait sertifikasi bagi musisi, Sandy memandang hal itu hanya diperlukan dalam penyelenggaraan pertunjukan tertentu. Terutama acara tertentu di luar negeri.

Dihubungi secara terpisah, musisi Galih Nugraha Su, yang namanya pun tertera di surat protes para pelaku musik Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan mengatakan, ada ancaman kebebasan berpendapat di RUU Permusikan.

Sponsored

Menurut vokalis grup musik folk Deugalih and Folks ini, UU Hak Cipta saja masih belum dilaksanakan dengan baik. “Sudah main jegal yang memaksa musisi tidak berkutik untuk menyalurkan ekspresi berkesenian dan beropini,” ujar Galih saat dihubungi, Senin (4/2).

Terkait ancaman bagi musisi, menurut Galih, antara lain tentang kendala hukum untuk kebutuhan dokumentasi musik dan pemasaran karya musik. Selain itu, ada aturan di dalam RUU Permusikan, yakni Pasal 18, yang mengharuskan pertunjukan musik melalui promotor yang punya lisensi dan izin usaha pertunjukan musik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurutnya, hal itu bisa membuat musisi tak lagi bisa mandiri dalam menentukan penyelenggaraan musik. “Ini bisa merugikan kolektif dan organisasi yang berkonsentrasi pada pemberdayaan masyarakat melalui musik,” kata Galih, yang juga berprofesi sebagai guru ini.

Sementara itu, peneliti dan jurnalis musik Idhar Resmadi menilai, persoalan mendasar RUU Permusikan adalah penggodokan naskah akademik yang menjadi materi RUU Permusikan. Dia menyebut, ada perbedaan pola pikir dalam ketentuan hukum RUU Permusikan dan kondisi industri musik tanah air.

Hal itu, kata Idhar, terlihat dari pasal-pasal “karet” dalam draf RUU Permusikan, seperti sertifikasi bagi profesi musisi, uji kompetensi, larangan muatan karya yang provokatif, dan penyelenggaraan acara musik.

“Negara ingin menstrukturalkan industri musik, tetapi di ranah musisi kita industri itu berjalan secara informal, komunal, dan bersifat kolektif antarpelaku di bidang musik,” kata penulis buku Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya (2019), ketika dihubungi, Senin (4/2).

Bahkan, RUU Permusikan pun mengancam para pengarsip musik, yang setiap hari bergelut dengan bau apek dokumentasi musik negeri ini. Arya T Anggara contohnya.

Dia memandang, RUU Permusikan belum menjangkau kebutuhan di bidang riset dan pengarsipan musik. Dia menyayangkan perhatian pemerintah yang sangat minim dalam menunjang penelitian karya musik.

Sebaiknya, kata Arya, RUU Permusikan sebenarnya bisa memuat kebijakan yang mendukung pengarsipan. “Misalnya, dikasih porsi atau tempat yang layak, penyediaan lembaga riset dan kelengkapannya, seperti lembaga-lembaga yang lain,” kata dia ketika dihubungi, Senin (4/2).

Selama ini, pengarsip asal Yogyakarta itu, berkutat meneliti arsip karya-karya musik, melalui majalah, buku, dan rekaman fisik secara mandiri.

Di sisi lain, Glenn Fredly melihat, perlu ada peninjauan atas isi usulan dalam RUU Permusikan. Meski banyak yang tidak dia setujui, menurutnya, tetap dibutuhkan aturan untuk mendukung kemajuan tata kelola industri musik yang mewadahi kepentingan musisi se-Indonesia.

Sejumlah pasal dalam draf RUU Permusikan ditentang para pelaku musik.

“Selama ini kan masih berjalan sendiri-sendiri,” kata dia, dalam diskusi “Bedah Tuntas RUU Permusikan” di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2).

Sedangkan Direktur KSI Abduh Aziz memandang, pertemuan para pegiat industri musik di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, siang itu merupakan kesempatan untuk menimbang perlu tidaknya sebuah undang-undang untuk mengatur industri musik.

Dia menyarankan, rumusan RUU Permusikan juga dirombak ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan penataan dan pengelolaan yang menunjang kemajuan industri musik di era modern.

“Kalau UU Tata Kelola Industri (musik), misalnya, itu lebih jelas. Yang diatur tata kelola industrinya saja, misalnya hubungan antara perusahaan rekaman dengan penyanyi. Tapi bisa saja yang diperlukan bukan UU, melainkan peraturan pemerintah atau peraturan menteri,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid