Mimpi lama banyak siswa sekolah menengah di Thailand mungkin telah menjadi kenyataan pada tanggal 5 Maret. Pasalnya, Mahkamah Agung Tata Usaha Negara memutuskan untuk membatalkan arahan dari Kementerian Pendidikan yang melarang siswa berambut panjang dan memakai kosmetik di sekolah.
Pengadilan memutuskan bahwa arahan menteri tersebut, tertanggal 6 Januari 1975, dikeluarkan berdasarkan Perintah Kudeta No. 132, tertanggal 22 April 1927. Namun, arahan tersebut dianggap melanggar Pasal 26 Konstitusi, yang menyebabkan pencabutannya segera.
Namun, putusan tersebut tampaknya memberi ruang bagi administrasi sekolah untuk menetapkan peraturan mereka sendiri terkait gaya rambut dan aturan berpakaian siswa.
Gugatan diajukan oleh 13 siswa dari sebuah sekolah negeri di bawah yurisdiksi Kementerian Pendidikan. Para penggugat menunjuk manajemen sekolah dan Menteri Pendidikan sebagai tergugat pertama dan kedua.
Para siswa berpendapat bahwa arahan 6 Januari 1975 tersebut tidak konstitusional karena melanggar martabat manusia dan kebebasan pribadi mereka untuk membuat keputusan mengenai tubuh mereka sendiri. Mereka mengklaim bahwa aturan tersebut merendahkan dan melanggar hak-hak dasar mereka.
Dalam putusannya, pengadilan menekankan bahwa Pasal 26 Konstitusi melarang undang-undang yang secara tidak wajar membatasi hak dan kebebasan individu, terutama ketika hal itu merusak martabat manusia.
Selain itu, pengadilan menganggap arahan tahun 1975 tersebut sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan konteks sosial saat ini.
Hal itu juga menyoroti bahwa aturan tersebut tidak diperlukan, karena Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak (2013) telah memberikan kewenangan kepada administrasi sekolah untuk menetapkan peraturan mereka sendiri terkait pakaian siswa agar sesuai dengan identitas dan usia mereka.
Masalah gaya rambut dan seragam telah menjadi titik pertikaian antara siswa dan otoritas sekolah selama bertahun-tahun.
Administrasi sekolah sering berpendapat bahwa rambut pendek meningkatkan disiplin, sementara siswa membantah bahwa pemotongan rambut paksa tidak berdampak pada kinerja akademis, tetapi malah menyebabkan penghinaan di depan umum.
Pengadilan mengakui bahwa perintah dan arahan kudeta asli bertujuan untuk menanamkan kepatuhan siswa terhadap orang tua, guru, dan sekolah mereka sambil menumbuhkan perilaku yang baik.
Namun, pengadilan memutuskan bahwa memaksa siswa sekolah menengah untuk memakai rambut yang sangat pendek atau potongan cepak tidak lagi sesuai untuk masyarakat modern dan gagal mempertimbangkan perkembangan fisik dan identitas remaja berusia 13 hingga 16 tahun.
Selain itu, pengadilan menemukan bahwa arahan tersebut bertentangan dengan Pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Anak, yang melarang tindakan apa pun yang menyebabkan tekanan fisik atau mental pada anak-anak.