sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Aris Syuhada

Pilkada dan reinventing government

Aris Syuhada Kamis, 03 Des 2020 10:34 WIB

Penghapusan sistem kekuasan yang sentralistik adalah salah satu tuntutan gerakan reformasi. Tuntutan ini disuarakan oleh gerakan mahasiswa, menjelang runtuhnya orde baru pada 21 Mei 1998. Oleh karena itu, lantaran sekarang masih berada dalam orde reformasi, maka kewajiban belaka bagi pemerintahan siapa pun dalam orde ini, untuk merealisasikan agenda Reformasi itu. Intinya mengubah pemerintahan yang otoriter (sentralistik) dengan demokrasi, melalui pelaksanaan desentralisasi, yang diterjemahkan ke dalam sistem otonomi daerah (otda).

Lantaran tuntutan tersebut menguat, maka lahirlah dua peraturan: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22  Tahun 1999 tadi, otomatis di Indonesia, telah lahir sistem pemerintahan baru, yaitu sistem pemerintahan yang cenderung berorientasi pada pelayanan publik (public service). Dengan kata lain, melayani masyarakat, baik aspirasi di bidang ekonomi dan pembangunan maupun di bidang politik, agama, pertahanan, dan pemberatasan korupsi.

Hal itu diwujudkan menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang mengacu pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, ditegaskan bahwa untuk mewujudkan kesejahteran umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalu pemerintahan daerah, maka harus menyelaraskan dan merujuk pada beberapa prinsip, yakni supremasi hukum, keadilan, kesetaran, tranparansi, akuntabilitas, berdaya saing, dan profesional. Dalam kadar tertentu, hal itu merupakan refleksi dari agenda Reformasi yang ditafsirkan para pemimpin kita dalam mewujudkan cita-cita negara demokrasi yang berkeadilan.

Dengan hadirnya reformasi di bidang politik tersebut, yakni pembaharuan format relasi pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, diharapkan terjadi kemudahan dalam menggontrol dan mewujudkan cita-cita dan kehendak rakyat, berupa terselenggaranya pemerintahan efektif, efisien, profesional, akuntabel, dan menjamin kepastian hukum.

Dalam sistem demokrasi, partai politik (parpol) menjadi institusi penting. Sebab, berperan istimewa dan strategis, sebagai bagian dari mewujudkan agenda perubahan bangsa. Dalam banyak kadar, parpol adalah penyambunng aspirasi dan tuntutan kemajuan masyarakat. Selain itu, parpol menjadi tempat perkaderan dan perekrutan para pemimpin daerah, sehingga mampu memperbaiki nasib publik.

Dalam konteks ini, seharusnya format dan praktik otda dapat melahirkan sistem kepemimpinan yang handal, yang membawa rakyat kepada perbaikan. Sayangnya, alih-alih lebih pintar dan pandai dalam mengelola kekuasaan, tidak jarang parpol malah terjebak pada ambisi kekuasan oligarki (politik dinasti) yang koruptif dan menolak perbaikan nasib masyarakat. Tidak hanya merugikan rakyat, melainkan juga merugikan pemerintahannya itu sendiri.

Oleh karena itu, tiba saatnya bagi parpol untuk berkompetisi sekaligus berkonsolidasi. Bukan menegakkan kekuasaaan yang bersifat oligarkis apalagi otoriter, melainkan untuk mengambil keputusan-keputusan politik yang memihak rakyat, guna menjamin terwujudnya keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dalam konteks tertentu, jelas bukan seremonial, melainkan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah (pilkada) serentak ialah momentum bagi parpol untuk mengambil peranan penting. Parpol, vital, karena dengan memanfaatkan momentum pilkada, dapat membidani lahirnya pemimpin daerah yang baik.

Bagi parpol, pilkada bisa diartikan sebagai proses pelatihan kepemimpinan bagi para kader terbaiknya. Sebab, salah satu fungsi dan peranannya melahirkan pemimpin politik yang berlatar belakang parpol. Jadi, perekrutan dan kaderisasi dalam tubuh parpol menentukan kelangsungan kaderisasi kepemimpinan daerah maupun kepemimpinan di tingkat nasional.

Sponsored

Jelas bukan pemimpin ‘karbitan’. Melainkan, idealnya, pemimpin yang direkrut dan dikader parpol ialah tipe pemimpin yang sanggup mendengar aspirasi masyarakat. Artinya, kemunculan pemimpin daerah, baik sebagai anggota dewan maupun bupati/wali kota, mesti dari hasil seleksi terbaik atas para kader parpol. Mereka ini direkomdasikan oleh parpol untuk kepentingan memajukan daerahnya. Bukan yang bersikap picik, melainkan mereka tipe pemimpin yang prima dalam melayani kebutuhan dan kepentingan publik.

Desentralisasi dari dua perspektif

Politik desentrasliasi (otda) berkaitan erat dengan pilkada. Secara umum, desentralisasi bisa dimaknai dalam dua perspektif, yakni administrai dan politik. Dalam perspektif administrasi, desentralisasi dapat diartikan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam perspektif politik, khususnya dari perspektif kepentingan nasional, Smith (1985) menuturkan tiga tujuan utama. 

Kesatu, political education (pendidikan politik). Artinya, melalui praktik desentralisasi, masyarakat diharapkan belajar mengenali dan memahami berbagai persoalaan sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi. Dengan demikian, publik bukan saja berani menolak (tak memilih) calon anggota legislatif dan calon kepala daerah yang tidak menguasai kecakapan politik, tetapi juga belajar mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Maddick, 1963: 50-106).

Kedua, latihan kepemimpinan. Tujuan ini berangkat dari asumsi dasar, bahwa pemerintahan daerah adalah kawah pelatihan yang paling tepat bagi para politisi dan birokrat, sebelum mereka menduduki posisi-posisi penting di tingkat nasional. Dalam konteks ini, kebijakan desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan melahirkan calon-calon pemimpin level nasional.

Ketiga, menciptakan stabilitas politik. Tujuan ini menandai kepercayaan di kalangan warga, bahwa melalui sistem desentralisasi, akan terwujudlah kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith,1985: 23).

Reformasi Birokrasi

Sulit dimungkiri, semangat pilkada turut mendorong pemerintah daerah untuk berperan dan berposisi strategis dalam mengelola pemerintahan ke arah perbaikan struktural. Dalam konteks sekarang (pemerintahan Joko Widodo), jelas belaka bahwa revolusi mental mestilah dijadikan agenda penting. Jika dikaitkan dengan orde reformasi, maka konsepsi revolusi mental tersebut harus senapas dengan gagasan reformasi.

Tuntutan reformasi di negeri ini bukan saja pada aspek birokrasi melalui reformasi birokrasi, akan tetapi juga dalam aspek administrasi melalui reformasi administrasi. Reformasi berarti sebuah usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur, budaya, sikap, dan perilaku birokrasi, untuk meningkatkan terwujudnya tujuan pembangunan nasional.

Makna sesungguhnya dari reformasi birokrasi adalah sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Hal ini pertaruhan dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin menggelobal. Hal itu mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, yang mengamanatkan realisasi manajemen perubahan yang bertumpu pada pola pikir (mindset) dan budaya pikir (culture set). Adapun makna reformasi administrasi adalah sebuah perubahan besar dalam aspek administrasi.

Berita Lainnya
×
tekid