sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

6 alasan program sekolah penggerak Nadiem tak efektif

PSP sangat mirip dengan PGP dan POP, karena memiliki sasaran yang sama.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 04 Feb 2021 19:08 WIB
6 alasan program sekolah penggerak Nadiem tak efektif

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyebutkan enam alasan program sekolah penggerak (PSP) berpotensi tidak efektif.

Pertama, PSP berpeluang tumpang tindih dengan program guru penggerak (PGP) dan program organisasi penggerak (POP). Sebab, banyak kemiripan dan irisan dalam tiga program tersebut. Jika PSP bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dalam ekosistem sekolah, maka perlu perubahan secara kultural dan struktural melalui regulasi.

Kedua, PSP berpotensi tidak akan efektif, karena saat ini masih dalam situasi pandemi Covid-19. Pelatihan online hanya akan mampu mengakomodir guru yang memiliki akses terhadap laptop/gawai dan internet. “Yang untuk belajar PJJ saja banyak kendala. Kita paham ada 46.000 sekolah menurut Kemenko PMK yang tak bisa PJJ Online selama ini,” ujar Koordinator P2G Satriwan Salim dalam keterangan tertulis, Kamis (4/2).

Ketiga, PSP sangat mirip dengan PGP dan POP, karena memiliki sasaran yang sama. Yaitu, peningkatan kompetensi guru dalam pembelajaran, kemudian akan diprioritaskan menjadi pimpinan sekolah.

“POP itu fokusnya pelatihan untuk peningkatan kompetensi guru oleh ormas yang kemarin sempat menjadi polemik. Lalu, PGP juga melatih dan menyiapkan guru-guru menjadi pemimpin. Sedangkan PSP untuk memperbaiki ekosistem sekolah yang juga ada entitas guru di dalamnya. Jadi saling tumpang-tindih, tak fokus,” tutur Satriwan.

Keempat, persoalan target jumlah sekolah dari PSP. Yaitu, 2.000 sekolah pada 2021 dan 40.000 sekolah pada 2024. P2G pun mempertanyakan apakah jumlah tersebut representatif mengingat sekolah di Indonesia hampir 400.000 sekolah mulai PAUD-SMA/SMK.

“Menjadi pertanyaan para guru dan kepala sekolah juga, apa landasan penentuan sekolah penggerak? Inisiatif sendiri atau dipilih. Jika inisiatif sendiri, bagaimana jika angka 2.500 itu nantinya mayoritas diisi oleh sekolah-sekolah yang selama ini sudah sangat baik dan baik, akreditasi A, akses digitalnya bagus, dan penuh prestasi,"ucapnya.

“Bagaimana peluang sekolah-sekolah pinggiran, prestasi minim, apalagi statusnya swasta, akreditasi C bahkan belum terakreditasi? Bagaimana PSP dapat memberikan intervensi kepada dua potret kualitas sekolah yang sangat kontras di atas?” sambungnya.

Sponsored

Kelima, sebaiknya tiga program tersebut tidak dipecah-pecah, karena saling berkaitan erat. Jika dipaksakan akan terlihat tidak fokus dan terkesan hanya target menghabiskan anggaran. Terkait target, P2G merekomendasikan agar untuk 2-3 tahun ini berfokus saja dulu membenahi sekolah dengan performa buruk. Misalnya, sekolah berakreditasi C, sekolah belum terakreditasi, belum banyak tersentuh kebijakan pemerintah selama ini, hingga ihwal hasil UKG guru rendah.

“Artinya PSP ini harus fokus terlebih dulu bagi sekolah yang butuh pendampingan khusus selama ini,” tutur Satriwan.

Jika mekanisme perekrutan PSP sifatnya inisiatif mandiri sekolah, maka target sasaran tersebut hanya dapat dipenuhi sekolah dan guru dengan akses digital bagus. Imbasnya, sekolah terpinggirkan, berkualitas rendah akan semakin terseok-seok oleh PSP dan PGP. Dari aspek sosialisasinya pun program-program tersebut masih membingungkan para guru dan dinas pendidikan. “P2G melihat ramainya hanya di pemberitaan media, belum menyentuh riil guru-guru dan sekolah di pelosok,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid