sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bansos harapan, bansos salah sasaran

Simpang siur data di lapangan kerap terjadi saat penyaluran bantuan sosial.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 01 Mei 2020 09:32 WIB
Bansos harapan, bansos salah sasaran

Suryono, warga RT05/RW12 Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat, harus gigit jari tak kebagian bantuan sosial (bansos) berupa sembako dari Kementerian Sosial (Kemensos) dan Pemprov DKI Jakarta. Ia sendiri sedang mengalami kondisi ekonomi yang tak menentu.

Sejak 29 Februari 2020, ia diberhentikan sementara dari pekerjaannya sebagai sopir pribadi, akibat semakin meluasnya penularan SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Bosnya tak memberikan uang saku sebagai pengganti honor bulanan. Ia kini menghidupi istri dan tiga orang anaknya dari sisa uang tabungan.

Suryono yang juga tinggal satu atap dengan kakak ipar dan ibu mertuanya itu mengatakan, terdapat pula empat kepala keluarga di lingkungannya yang tak mendapatkan bansos sembako.

“Waktu itu, bersama pengurus RT05, saya ikut bantu bagikan 49 paket sembako untuk warga sesuai data dari Kementerin Sosial,” kata Suryono saat berbincang dengan reporter Alinea.id di kediamannya, bilangan Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (29/4).

Problem di lapangan

Seorang warga RT05/RW12 Rosadah menilai, pembagian bansos sembako tidak tepat sasaran. Sebab, kata dia, pengurus RT dan RW hanya menerima paket bantuan sesuai daftar yang ditentukan pemerintah pusat.

“Yang lansia di sini enggak ada satu pun yang dapat. Kalau kata saya sih, itu salah sasaran. Rata-rata orang-orang juga bilang begitu,” kata Rosadah ketika ditemui di kediamannya, Rabu (29/4).

Sponsored

Ia mengatakan, seharusnya pemerintah pusat bisa menggunakan data penduduk dari pengurus RT/RW. Alasannya, pengurus RT/RW lebih paham kondisi ekonomi yang dihadapi warga terdampak Covid-19.

Menurut Ketua RT05/RW12 Iwan Setiawan, di lingkungannya terdapat 90 kepala keluarga. Sebanyak 49 kepala keluarga yang dapat bansos, kata Iwan, merupakan warga yang memiliki Kartu Jakarta Pintar (KJP).

“Daftar penerima bansos sembako ini dari pemerintah pusat. Kalau yang sudah punya KJP, otomatis terdata dapat bantuan. Saya cuma tinggal membagikan saja, sesuai yang tercantum dalam lis,” kata Iwan saat ditemui di rumahnya di bilangan Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (29/4).

Iwan menuturkan, bansos dari Kemensos yang kemasannya bertuliskan “bantuan presiden bersama lawan Covid-19” itu diberikan dua kali sebulan. Sedangkan dari Pemprov DKI Jakarta ditentukan menurut pasokan sembako dari PD Pasar Jaya.

Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Foto Antara/M Risyal Hidayat.

Iwan mengatakan, beberapa warga yang tak mendapatkan paket sembako dari pemerintah pusat dan Pemprov DKI merasa iri dan bertanya-tanya.

Atas masalah itu, Suryono pun merasa tidak tahu. Kemudian, untuk mengatasi problem tersebut, pengurus RT05/RW12 menyerahkan sebagian sembako ke warga yang belum dapat.

“Ada sebagian beras sama mie instan, juga sedikit uang,” kata Suryono.

Di samping itu, ketika pembagian bansos, ditemukan pula daftar nama warga yang tidak berdomisili di RT itu.

Iwan mengaku, nyaris seluruh keluarga di lingkungan RT-nya terdampak secara ekonomi akibat pandemi coronavirus jenis baru. Karena itu, berdasarkan keputusan bersama Ketua RT lain dan Ketua RW12, Iwan mendata ulang warga yang layak menerima bantuan.

“Kami juga mendata warga yang hanya tinggal di RT ini, tapi belum ber-KTP DKI Jakarta. Kami kroscek juga datanya dengan RT lain, lalu diserahkan ke kelurahan. Mudah-mudahan semua dapat sehingga enggak saling iri,” kata Iwan.

Sementara itu, Lurah Palmerah Muchammad Ilham menekankan, pengajuan data calon penerima bansos sembako kepada Pemprov DKI Jakarta sudah selesai dilakukan pada Selasa (28/4). Ia mengatakan, pendataan berlangsung dalam waktu yang mepet, menghimpun data penduduk dari semua RT/RW se-Kelurahan Palmerah.

“Cuma beberapa jam kami cek di komputer. Sudah ada data masuk, tapi ada yang tidak dapat terinput,” kata Ilham saat ditemui di Kantor Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (29/4).

Menurut Ilham, kepastian data calon penerima bansos dilakukan dengan mencocokkan data dari Pemprov DKI Jakarta dengan pemerintah pusat. Warga pendatang yang dirasa membutuhkan bansos, kata Ilham, harus mengisi formulir pengajuan data tambahan.

Setiap Ketua RT pun diwajibkan datang ke kantor kelurahan membawa berkas daftar warganya yang bisa menerima bansos. “Enggak bisa online. Jadi, Kepala RT-nya mesti ke mari. Kami cuma diinstruksikan demikian dari atas,” ucapnya.

Berdasarkan data dari corona.jakarta.go.id, yang bersumber dari Dinas Sosial dan PD Pasar Jaya, total kepala keluarga yang mendapatkan bansos sembako di wilayah DKI Jakarta sebanyak 1.178.173 dari 2.751 RW di 182 kelurahan. Untuk Kelurahan Palmerah sendiri, ada 7.318 kepala keluarga yang menerima bansos.

Kemensos sendiri menggelontorkan bansos dengan anggaran berbeda-beda di beberapa wilayah. Untuk Jakarta, anggaran disiapkan sebesar Rp2,2 triliun dalam bentuk sembako senilai Rp600.000 per bulan selama tiga bulan untuk 1,2 juta kepala keluarga.

Wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) anggarannya sebesar Rp1 triliun dalam bentuk sembako senilai Rp600.000 per bulan selama tiga bulan untuk 576.000 kepala keluarga.

Luar Jabodetabek anggarannya Rp16,2 triliun untuk bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp600.000 per bulan selama tiga bulan, yang diberikan kepada 9 juta kepala keluarga.

Masyarakat desa anggarannya dari dana desa sebesar Rp21 triliun untuk bansos Rp600.000 per bulan selama tiga bulan, diberikan kepada 10 juta kepala keluarga.

Mengatasi problem

Tak bisa ditutupi, pembagian bansos di beberapa daerah memang terkadang simpang siur. Di beberapa daerah, kepala desa melampiaskan kekecewaan.

Misalnya, pada 27 April 2020 beredar video berdurasi 3,38 menit di media sosial tentang Kepala Desa Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat Indra Zainal Alim yang kecewa terhadap pendistribusian bansos.

Ia sampai meminta perhatian serius dari Presiden Joko Widodo, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Ia menyebut, data yang sudah diperoleh dari RT/RW tidak dipakai, malah mengacu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk dirujuk ke Pemprov Jawa Barat.

"Kami sebagai kepala desa seolah-olah diadu domba oleh kebijakan bapak dengan warga kami sendiri," kata Indra dalam video tersebut.

Sebelumnya, pada 25 April 2020 beredar pula video berdurasi tiga menit di media sosial perihal kekecewaan Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar terhadap bantuan langsung tunai (BLT).

Di dalam video itu, Sehan marah-marah karena mekanisme BLT untuk warga terdampak Covid-19 dinilai menyulitkan. Bahkan, ia mengatakan, ada warga yang terpaksa meminta beras satu liter lantaran prosedurnya terlalu berbelit.

Peneliti senior masalah kemiskinan dari SMERU Research Institute, Luhur Bima mengatakan, pandemi virus SARS-CoV-2 memang berdampak besar terhadap perubahan taraf ekonomi masyarakat.

“Membuat banyak kelompok warga rentan menjadi jatuh miskin,” ujar Luhur saat dihubungi, Selasa (28/4).

Sejumlah warga antre saat pembagian bantuan sosial dari pemerintah Provinsi Banten di Poris, Kota Tangerang, Banten, Rabu (29/4/2020). Foto Antara/Fauzan.

Maka, untuk mengatasi salah sasaran bansos, ia memandang perlu pemutakhiran data warga yang harus dilakukan secara cepat oleh pemerintah daerah di level bawah. Pencatatan ulang data warga, kata dia, harus dilakukan lebih aktif oleh pemerintah daerah, melibatkan peran dinas sosial masing-masing.

Ia menilai, peran pemerintah daerah memperbarui data warga menjadi sarana pendukung untuk memperlancar penyaluran bansos.

Sebab, kata Luhur, pemerintah pusat hanya fokus menyalurkan bantuan sesuai DTKS, yakni 40% warga ekonomi bawah. Sementara masyarakat ekonomi menengah ke atas yang juga ikut terdampak pandemi, tak masuk dalam DTKS pemerintah pusat.

“Di sinilah maka inisiatif dan kerja pemerintah daerah masing-masing memegang peranan penting untuk memperbarui data yang ada,” ucap Luhur.

Lebih lanjut, Luhur menjelaskan, proses pemutakhiran DTKS mengacu pada Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Berdasarkan Permensos itu, pemutakhiran data perlu dilakukan setiap tahun, berjenjang dari tingkat desa atau kelurahan hingga ke pemerintah pusat.

Luhur mengatakan, publik secara pribadi juga bisa menempuh prosedur atau mekanisme pemutakhiran mandiri. Sayangnya, proses pemutakhiran data kerap membutuhkan waktu yang lama. Tergantung pada masalah birokrasi dalam melakukan verifikasi dan validasi data.

“Bila seseorang merasa dirinya miskin, dia dapat mendaftarkan diri. Tapi proses verifikasi dan validitas harus memastikan setiap daftar nama memenuhi kriteria,” kata dia.

“Akibatnya proses pembaruan antara angka riil di lapangan dan angka yang tercatat secara resmi ada semacam ketidakcocokan.”

Luhur juga memandang, kebijakan penyaluran bansos oleh pemerintah pusat kurang mampu menampung semua kebutuhan masyarakat se-Indonesia. Karena itu, bansos yang dibagikan setiap pemerintah provinsi, menurut dia dapat menjadi pelengkap.

“Ketika anggaran dari program pemerintah pusat tidak bisa mengkover semua masyarakat di daerah karena alokasi anggaran terbatas, maka pemerintah daerah bisa menyiapkan anggaran pendapatan belanja daerahnya,” ucapnya.

Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan menilai, pemerintah daerah dan pusat harus berkoordinasi dan bertanggung jawab dalam pendataan warga yang layak menerima bansos.

“Data kemiskinan sifatnya dinamis. Terlebih di era pandemi yang orang bisa saja tiba-tiba menjadi miskin karena kehilangan pekerjaan,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (28/4).

“Untuk penyaluran bansos, ada baiknya tingkat RT hingga RW melakukan pendataan.”

Selain itu, untuk menjamin agar bansos tepat sasaran, Satria mengatakan Kemensos mesti mencatat secara detail dan lengkap keterangan warga, termasuk pekerjaan dan penghasilannya.

Infografik bansos. Alinea.id/Haditama.

“Besaran bansos harus disesuaikan dengan kategori ekonomi warga, apakah miskin atau sangat miskin,” tuturnya.

Sementara dalam penyaluran bansos hingga ke tingkat masyarakat bawah, ia menyarankan perlu ada keterlibatan warga. Cara ini dinilai sangat mumpuni untuk mendukung agar proses pembagian bantuan tidak menimbulkan keresahan atau konflik sosial lebih besar.

Di samping itu, pemerintah di level kelurahan dan RT/RW perlu melakukan perekrutan relawan mendukung penanganan Covid-19. Harapannya, peran relawan ini bisa mengatasi kekeliruan data nama calon penerima bantuan yang sudah menjadi masalah lama.

“Data memang jadi masalah pelik di Indonesia. Pemerintah di masa mendatang perlu berupaya keras melakukan integrasi data melalui laman atau aplikasi, agar data bisa diperbarui dan sinergis,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid