sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Din Syamsuddin: Pemimpin tidak adil berpeluang dimakzulkan

Menurut Al Mawardi, ada tiga syarat melengserkan pemimpin.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Senin, 01 Jun 2020 20:18 WIB
Din Syamsuddin: Pemimpin tidak adil berpeluang dimakzulkan

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, menyatakan, presiden yang tidak adil kepada masyarakat berpeluang dimakzulkan. Apalagi, memimpin di luar amanat yang diemban dan diberikan rakyat.

"Walupun pemimpin naik atas dasar kepemimpinan baiat tapi jika ada penyimpangan dari amanat kepemimpinan, maka masyakarat berhak mengkritik dan mengoreksi, bahkan menarik atau menyoal kembali mandat kepemimpinan. Itu yang disebut dengan pemakzulan," katanya dalam diskusi daring, Senin (1/6).

Din menjelaskan, Islam sangat keras dan tegas bicara kepemimpinan karena tugas dan perannya suci. Meski seorang pemimpin dipilih rakyat, dirinya mengingatkan, kepemimpinan dalam Islam merupakan amanat yang diberikan Allah Swt.

Dirinya melanjutkan, beberapa tokoh politik Islam pernah berbicara soal kemungkinan dilakukannya pemakzulan seorang pemimpin. Al Mawardi, salah satunya.

Menurut Al Mawardi, ungkap dia, pemakzulan iman atau pemimpin dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Pertama, tidak adanya keadilan (adamul adli) di masyarakat, membiarkan adanya satu kelompok lebih kaya dari yang lain, dan memunculkan kesenjangan sosial ekonomi.

"Misal, indikatornya indeks dalam sebuah negara. Ini sangat asasi sekali. Karena itu, syarat utama dari pemimpin itu syarat bisa dilakukan pemakzulan," jelasnya.

Kedua, ketiadaan ilmu pengetahuan (adamul ilmi) atau kehilangan tujuan visi, terutama dalam berbangsa dan bernegara. "Dalam konteks negara modern, visi itu adalah cita-cita nasional," ucapnya.

"Sesuatu bangsa seperti bangsa Indonesia, yaitu yang merdeka, berarti adil dan makmur. Jika ketiadaan ilmu, tidak mampu diwujudkan. Ini salah satu syarat penakzulan dapat dilakukan," lanjut eks Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu. 

Sponsored

Kemudian, kepemimpinan kekurangan kekuatan atau kehilangan kewibawaan. Baginya, seorang pemimpin harus menunjukkan kekuatan kepemimpinannya dan kewibawaan, termasuk dalam konteks hubungan internasional antarnegara. 

Terlebih Indonesia saat ini tengah menghadapi situasi darurat dan kritis. Untuk itu, sebuah kepemimpinan dapat dilihat mampu atau tidaknya dalam menghadapi masa masa sulit dan kritis seperti sekarang.

"Jika seorang pemimpin terkekang oleh kekuatan-kekuatan lain, terdikte oleh kekuatan lain, oleh orang warga atau orang terdekatnya untuk bisa jalankan kepemimpinan atau tertekan, misal tertekan oleh asing, maka rakyat bisa menarik kembali mandat pemimpinnya," tutup Din.

Berita Lainnya
×
tekid