sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Covid-19 teratasi, hepatitis misterius sampai gagal ginjal akut bergantian

Pemerintah tak hanya diuji dengan penanganan Covid-19 selama beberapa tahun terakhir, karena wabah penyakit lainnya silih berganti.

Gempita Surya
Gempita Surya Selasa, 20 Des 2022 08:01 WIB
Covid-19 teratasi, hepatitis misterius sampai gagal ginjal akut bergantian

2022 menjadi tahun ketiga masa pandemi Covid-19. Meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum mencabut status pandemi, namun Indonesia santer menggembar-gemborkan persiapan menuju endemi Covid-19.

Pada Mei 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebijakan pelonggaran kewajiban menggunakan masker di ruang terbuka. Di tengah kebijakan pelonggaran tersebut, terdapat sejumlah persoalan kesehatan yang jadi perhatian, baik yang menyerang manusia maupun hewan.

Beberapa di antaranya dapat segera dikendalikan, namun ada juga yang akhirnya ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Bahkan, ada yang menjadi persoalan kesehatan paling disorot dengan tingginya kasus kematian.

Alinea.id mencoba merangkum wabah-wabah kesehatan yang melanda sepanjang tahun ini, yakni:

 

1. Hepatitis akut misterius

15 April 2022, WHO menetapkan penyakit hepatitis akut misterius sebagai KLB. Pada awal Mei 2022, WHO melaporkan setidaknya ada 363 kasus hepatitis misterius.

Di Indonesia, terdapat tiga pasien asal DKI Jakarta meninggal karena mengidap penyakit inflamasi itu. Ketiganya merupakan pasien anak yang dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Sponsored

Seperti namanya, penyakit ini masih belum dapat diketahui penyebabnya. Namun, penyakit ini diduga disebabkan adenovirus 41, yaitu salah satu virus yang lazim menyerang pernapasan dan pencernaan.

Hingga 29 September 2022, Kemenkes melaporkan telah memeriksa 99 kasus dugaan hepatitis akut di 22 provinsi. Diketahui dari jumlah tersebut, 38 kasus berstatus probable, 12 pending, dan 49 discarded.

Penyakit ini masih menjadi kekhawatiran, sebab hasil identifikasi WHO menemukan hepatitis misterius sejauh ini hanya menyerang bayi dan anak-anak dari rentang usia 1 bulan hingga 16 tahun. Pada para pasien, tidak ditemukan virus yang lazim jadi penyebab hepatitis tipe A, B, C, D, dan E.

Sebagaimana hepatitis biasa, pengidap hepatitis misterius lazimnya mengalami gejala-gejala tertentu. Gejala paling sering muncul pada pasien, seperti kulit menguning, mata memutih, sakit perut, diare, kehilangan nafsu makan, dan muntah-muntah. Pada beberapa pasien, ditemukan gejala nyeri sendi, gatal, dan pegal-pegal.

Sebagai upaya peningkatan kewaspadaan, pencegahan, dan pengendalian infeksi hepatitis akut pada anak, pemerintah telah menerapkan beberapa hal, di antaranya dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/2515/2022 tentang Kewaspadaan terhadap Penemuan Kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya (Acute Hepatitis Of Unknown Aetiology).

Selain itu, Kemenkes telah menunjuk antara lain Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr. Sulianti Saroso dan Laboratorium Fakultas Kedokteran UI sebagai laboratorium rujukan untuk pemeriksaan spesimen.

 

2. Cacar monyet

Cacar monyet atau monkeypox merupakan virus yang berasal dari hewan liar, seperti hewan pengerat dan primata, lalu terkadang menular ke manusia. Sebagian besar kasus pada manusia terjadi di Afrika Tengah dan Barat.

24 Juli 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menyebutkan, wabah cacar monyet yang meluas di lebih dari 70 negara adalah situasi "luar biasa" yang memenuhi syarat sebagai keadaan darurat global.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 20 Agustus 2022 menyatakan, wabah cacar monyet sudah terdeteksi di Indonesia. Pasien pertama tersebut merupakan warga DKI Jakarta yang baru saja bepergian dari luar negeri.

Juru Bicara Kemenkes, M. Syahril mengatakan, pasien tersebut mengalami gejala sejak 14 Agustus 2022. Namun, kondisi pasien dikatakan hanya mengalami gejala ringan, sehingga menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah. Pasien tersebut akhirnya dinyatakan sembuh pada 4 September 2022. 

Kemenkes menekankan, penyebaran virus cacar monyet ini tidak semudah Covid-19. Penularan cacar monyet sepenuhnya karena ada kontak erat dari pengidap ke orang lain dengan bersentuhan atau interaksi lain.

Oleh karenanya, seseorang yang terjangkit cacar monyet tidak membutuhkan isolasi di rumah sakit apabila memiliki tempat tersendiri dan aman dari jangkauan pihak lain di rumahnya.

 

3. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)

Usai dinyatakan bebas wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) sejak 1986, Indonesia kembali melaporkan kasus PMK pada hewan ternak berkuku belah, seperti sapi, kambing, kerbau, domba, dan babi. Pada 28 April 2022, Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendapat laporan adanya 402 ekor sapi potong yang terserang wabah PMK di lima kecamatan dan 22 desa di Kabupaten Gresik.

Wabah ini menyebar dengan cepat, dikarenakan virus Foot Mouth Disease (FMDV) yang merupakan agen penyebab PMK memiliki daya tular sangat tinggi. Virus ini dapat menular melalui udara (airborne), sehingga penyebarannya bisa sangat cepat hingga radius 10 kilometer (km).

Salah satu yang diwaspadai adalah penularan wabah ini dari hewan ke manusia. Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Erni Juwita Nelwan mengungkapkan, ada risiko manusia bisa terpapar virus PMK. Risiko ini umumnya muncul jika terjadi kontak erat dengan hewan yang tertular virus PMK.

Orang yang terinfeksi virus PMK umumnya mengalami gejala sakit ringan yang bersifat self-limiting. Artinya, gejala ringan yang dialami, seperti gangguan pernapasan dan dapat sembuh dengan sendirinya.

Infeksi PMK pada manusia umumnya tidak terjadi. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di PubMed 2001, kasus terakhir PMK menginfeksi manusia dilaporkan terjadi di Inggris pada 1966.

Hasil studi yang sama mengungkapkan, PMK dapat ditularkan kepada manusia. Namun, virus ini sangat sulit menembus sistem imun manusia, sehingga efeknya menjadi rendah.

Kecil kemungkinan virus PMK yang menginfeksi manusia untuk memperbanyak diri, sehingga potensi manusia menjadi pembawa virus atau carrier sangat minim. Kendati demikian, seluruh pihak diimbau untuk tetap mewaspadai hal ini.

Sementara, juru bicara pemerintah untuk Penanganan PMK Wiku Adisasmito mengatakan, lima strategi utama penanganan PMK akan terus dijalankan. Kelima strategi ini meliputi ketahanan hayati alias biosecurity, vaksinasi, testing, pengobatan, dan potong bersyarat.

Berdasarkan data crisis center PMK Kementerian Pertanian, masih ada 585.779 ekor ternak dari 126 kabupaten/kota di Indonesia yang masih terjangkit PMK hingga 17 Desember 2022.

Meski pemerintah mengklaim kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan saat puncak kasus pada sekitar 26 Juni lalu, namun dampak lanjutan dari PMK mulai dirasakan baik oleh peternak kecil maupun industri. Mulai dari menurunnya produktivitas ternak, hingga anjloknya pendapatan peternak maupun pengusaha.

 

4. Gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA)

Tren kenaikan kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia dilaporkan terjadi pada Agustus 2022. Mulanya, gangguan ginjal ini dikenal sebagai acute kidney injury unknown origin (AKIUO).

WHO pada pertengahan September 2022 merilis hasil penelitian terkait penyebab kematian puluhan anak di Gambia, Afrika Barat. Hal ini disinyalir akibat gagal ginjal akut yang disebabkan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirop.

Pada 12 Oktober 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan empat sirop obat produksi Maiden Pharmaceuticals Limited, India, tidak terdaftar di Indonesia. BPOM juga menetapkan persyaratan registrasi, di mana semua produk obat sirop untuk anak maupun dewasa tidak diperbolehkan menggunakan EG/DEG.

Sementara, Kemenkes meminta apotek tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair atau sirup kepada masyarakat untuk sementara waktu. Imbauan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak.

Kemenkes menyampaikan, faktor risiko terbesar yang menjadi penyebab lonjakan kasus GGAPA pada anak adalah obat sirop yang mengandung senyawa EG-DEG. Ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Kemenkes bersama IDAI, RSCM, epidemiolog, serta ahli toksikologi forensik.

Hingga 15 November 2022, tercatat ada 324 kasus gagal ginjal akut, dengan 199 pasien atau 61,4% meninggal dunia. Sejauh ini, kepolisian dan BPOM telah menetapkan empat perusahaan sebagai tersangka. Perinciannya, PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical, PT Afi Farma, dan CV Samudera Chemical (pemasok bahan baku).

Kepala BPOM Penny Lukito menyebut, tidak adanya ketentuan batas cemaran EG/DEG dalam produk obat jadi pada Farmakope Indonesia maupun internasional, membuat pihaknya tidak memiliki payung hukum untuk melakukan pengawasan. 

Di sisi lain, ia menganggap kasus obat sirup tercemar EG-DEG sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan. Menurutnya, tugas pengawasan obat dan makanan tidak hanya dijalankan oleh BPOM, namun juga pelaku usaha dan konsumen.

Adapun dengan penghentian sementara peredaran dan konsumsi obat sirop serta pemberian obat penawar berupa fomepizole, Kemenkes mengklaim laju kasus gagal ginjal akut mengalami penurunan. Pada 18 November 2022, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, kasus gagal ginjal akut di Indonesia telah selesai diatasi.

Kendati diklaim telah selesai, namun hingga saat ini masih ada keluarga korban yang anak-anaknya harus menjalani perawatan lanjutan, akibat gangguan kesehatan ikutan usai dinyatakan terkonfirmasi mengalami gagal ginjal akut.

Atas kondisi tersebut, keluarga korban melalui kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kemanusiaan (TANDUK) mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) kepada pemerintah. Ada sembilan pihak yang menjadi tergugat dalam gugatan tersebut, termasuk Kemenkes dan BPOM yang dinilai lalai menjalankan sejumlah aturan, sehingga menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa.

 

Berkaca pada berbagai persoalan kesehatan yang muncul usai Covid-19 dan penanganan yang dilakukan, menunjukkan masih lemahnya pengawasan dan kesiapan lembaga pemerintah dalam mencegah potensi mewabahnya suatu penyakit.

Selain itu, lambatnya penanganan akibat ketidaksiapan dari segi kebijakan dan nihilnya mitigasi tidak jarang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Padahal, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan setiap orang berhak atas kesehatan.

Oleh karenanya, pemerintah perlu memperkuat surveilans kesehatan masyarakat. Hal ini meliputi proses pengumpulan, analisis dan interpretasi data serta kasus atau permasalahan terkait kesehatan, yang dilakukan secara sistemik dan terus menerus.

Dilansir dari laman resmi WHO, data surveilans penyakit memiliki tiga fungsi penting. Pertama, berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk wabah yang berpotensi jadi kondisi darurat kesehatan masyarakat di masa yang akan datang.

Kedua, memungkinkan pemantauan dan evaluasi dampak intervensi dan membantu melacak kemajuan menuju tujuan yang ditentukan. Ketiga, memantau dan mengklarifikasi epidemiologi masalah kesehatan, memandu penetapan prioritas dan perencanaan, serta evaluasi kebijakan strategi kesehatan masyarakat.

"Sistem surveilans penyakit yang efektif sangat penting untuk mendeteksi wabah penyakit dengan cepat sebelum menyebar, merenggut nyawa, dan menjadi sulit dikendalikan. Surveilans yang efektif dapat meningkatkan deteksi wabah penyakit dalam keadaan darurat," demikian keterangan di laman resmi WHO.

Berita Lainnya
×
tekid