sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kupas tuntas jaringan penyebar hoaks

Penangkapan kelompok penyebar hoaks MCA jadi pembuka jalan membongkar motif, pelaku, dan jaringan besar lainnya.

Arif Kusuma Fadholy
Arif Kusuma Fadholy Kamis, 01 Mar 2018 15:17 WIB
Kupas tuntas jaringan penyebar hoaks

Penangkapan enam orang penyebar konten hoaks dan ujaran kebencian oleh Direktorat Siber Polri mengkonfirmasi, hoaks dan ujaran kebencian sengaja diproduksi dan disebarkan secara sistematis lewat jaringan yang solid.

"Penangkapan simultan di Surabaya, Bali, Sumedang, Pangkalpinang, Palu, dan Yogyakarta menggambarkan, kelompok yang diidentifikasi sebagai Moslem Cyber Army (MCA) memiliki sebaran hampir di seluruh Indonesia," kata Direktur Setara Institute, Hendardi kepada Alinea, Kamis (1/3).

Sebagai gerakan yang didesain, kata Hendardi, Direktorat Siber harus mampu melacak aktor-aktor intelektual di balik MCA untuk melindungi masyarakat dari paparan berita bohong dan kebencian. Dia menambahkan, melihat personel dan pola gerakannya, kelompok MCA ini agak berbeda dengan Saracen yang memiliki struktur jelas dan motif ekonomi dominan.

Menurutnya kelompok MCA tampak lebih ideologis, memiliki banyak sub kelompok dan ribuan anggota di seluruh Indonesia dengan ikatan organisasional yang relatif cair. Oleh karena itu, daya rusak kelompok ini lebih besar daripada Saracen.

Bahkan jika ditinjau dari konten yang disebarkan, pesan-pesan kelompok MCA mengarahkan kebencian itu pada partai politik atau tokoh yang saat ini menjalankan kepemimpinan nasional. Secara sederhana sebenarnya dapat disimpulkan, pekerjaan ini datang dari kelompok oposisi.

Hendardi menegaskan, asumsi yang mengatakan bahwa hoaks dan kebencian sengaja diproduksi oleh tangan negara, terbantah dengan melacak rekam jejak MCA dalam banyak isu. Namun demikian, ujar dia, untuk memastikan dugaan ini, Polri perlu membongkar tuntas jejaring pelaku, mediator, pemesan, serta penikmat hoaks dan ujaran kebencian ini.

Peranan publik dalam upaya penumpasan kelompok serupa juga diharapkan. Caranya dengan aktif melaporkan mereka yang secara reguler melakukan penyebaran konten berita palsu dan ujaran kebencian berbasis sentimen SARA. Bukan hanya di dunia maya, tetapi juga hoaks dan ujaran kebencian yang dibungkus sebagai pesan moral agama dan disebarluaskan melalui mimbar-mimbar keagamaan.

"Jejaring penyebar hoaks dan kebencian pada kelompok ini juga sama bahayanya dengan mereka yang bekerja di dunia maya. Di tahun elektoral tingkat lokal dan nasional 2018 dan 2019, kita mempunyai kebutuhan akan ruang publik-politik yang mempersatukan, bukan memecah-belah, demi kompetisi politik yang jujur, adil dan membangun. Untuk mewujudkan hal itu, dibutuhkan sinergi dan partisipasi publik," kata Hendardi.

Sponsored

Jika hoaks dibiarkan begitu saja, maka dikhawatirkan mampu memecah belah masyarakat dan membahayakan kontestasi politik Indonesia. Ancaman ini tidak main-main, apalagi mengingat masyarakat kita dewasa ini mudah terpolarisasi hanya karena dipicu konten informasi yang tak jelas rimbanya.

Sementara itu, ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, publik harus tetap menjaga akal sehat dalam menyikapi gaduhnya hoaks di ruang publik. “Penting sekali menjaga akal sehat, tradisi tabayun atau cek and ricek, serta menghidupkan dialog. Alhasil masyarakat tidak mudah terprovokasi untuk percaya bahkan ikutan menebar hoaks tersebut,” ungkapnya.

Di sisi lain, lanjutnya, aparatur hukum juga harus berlaku adil terhadap penebar hoaks, bukan justru menindak hoaks yang merugikan pemerintah. Sebaliknya membiarkan hoaks tumbuh subur jika muatan kontennya dinilai menguntungkan pemerintah. Tebang pilih penumpasan hoaks menurutnya justru hanya akan memicu amarah publik.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid