sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Memutus rantai kekerasan seksual di pesantren dan gereja

Kekerasan seksual di pesantren dan gereja kerap berulang. Bagaimana cara menuntaskannya?

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Minggu, 29 Nov 2020 18:26 WIB
Memutus rantai kekerasan seksual di pesantren dan gereja

Beberapa waktu lalu, tujuh santri perempuan di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan menjadi korban pelecehan yang dilakukan BM, pengurus sekaligus pengasuh mereka. Kasus ini seakan menyiratkan rentetan kekerasan dan pelecehan di lingkungan pesantren yang terus terjadi.

Atas dasar keprihatinan rangkaian kasus pelecehan seksual itu, beberapa santri membentuk Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (Formujeres) di Jombang, Jawa Timur. Salah satu kasus yang menjadi titik kelahiran gerakan tersebut adalah kasus pelecehan yang dilakukan putra pendiri pondok pesantren di Kelurahan Ploso, Jombang, Jawa Timur pada 2018 lalu.

Kasus itu ditangani Polres Jombang pada 2019. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi pelaku belum menjalani hukuman penjara.

Salah seorang penggagas Formujeres, Ayu Rikza mengatakan, kasus itu menggambarkan pengaruh cukup besar dari adanya ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku.

“Kedudukan pelaku sebagai anak pengurus pesantren menyulitkan penindakan hukum,” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (27/11).

“Ini membuktikan status ekonomi dan sosial pelaku yang dianggap lebih tinggi, membuat perlakuan hukum menjadi tidak memihak kepentingan korban, yang adalah santri.”

Alarm kekerasan seksual 

Survei Koalisi Ruang Publik Aman menemukan bahwa korban pelecehan seksual di ruang publik tak hanya terjadi pada perempuan./Foto Antara.

Sponsored

Di dalam Formujeres ada ratusan anggota, yang terdiri dari penyintas dan pemerhati isu kekerasan seksual. Untuk memperkuat advokasi, edukasi, dan solidaritas perjuangan keadilan dan kesetaraan gender bagi santri, Formujeres mengembangkan situs web ruangamanpesantren.org.

Salah seorang anggota Formujeres, Indayu SM mengatakan, fungsi situs web sangat penting menyokong perjuangan untuk memperingatkan bahaya kekerasan seksual. Ia mengatakan, Formujeres dan gerakan warga melalui media sosial dan internet menjadi strategi baru untuk lebih menggaungkan kasus-kasus kekerasan seksual.

Ia pun mendorong partisipasi publik untuk melaporkan atau berbagi kisah jika mengalami tindak kekerasan seksual. Formujeres melalui situs web ruangamanpesantren.org juga akan mengadakan riset-riset terkait kasus kekerasan seksual.

“Penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual ini tak hanya dilakukan di ranah pengadilan, tetapi juga perlu langkah nonlitigasi lewat gerakan rakyat,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (27/11).

Indayu menjelaskan, keberadaan pondok pesantren sebagai pelaksana pendidikan seharusnya bisa memperjuangkan penegakan akhlak dengan praktik yang benar. Ia mengkritik arah pendidikan yang dijalankan kebanyakan pesantren, yang mulai berubah dari tujuan dasar pendidikan moral berdasarkan ajaran agama.

“Marwah pesantren kini dipertanyakan, apakah ingin memberikan pendidikan moral kepada santri atau menjadikan santri yang dikumpulkan sebagai ‘pembantu’ keberlanjutan hidup keluarga pengurus pesantren?” ucap Indayu.

Kondisi serupa terjadi di lingkungan gereja Katolik. Yang paling mengemuka adalah kasus pencabulan 21 anak di Gereja Paroki Santo Herkulanus di Depok, Jawa Barat. Kasus itu mulai terungkap pada Mei 2020. Tersangkanya, seorang pengurus gereja Sahril Parlindungan Martinus Marbun ditangkap pada 14 Juni 2020.

Menurut seorang pendamping kekerasan seksual di gereja Katolik di Yogyakarta, Iswanti Suparma, banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan gereja selama dua tahun terakhir, seakan membuat kehadiran gereja kehilangan substansinya sebagai komunitas umat beriman. Kondisi ini diperparah dengan perlakuan petinggi gereja Katolik yang cenderung lebih menjaga kehormatan para pelaku kekerasan seksual.

“Ada yang masih terkaget-kaget akan adanya kasus-kasus itu, di samping beberapa klerus (kaum biarawan) mengakui hal tersebut,” kata Iswanti ketika dihubungi, Sabtu (28/11).

Secara hierarki, gereja Katolik menginduk pada kepemimpinan Paus Fransiskus di Vatikan. Sejak 2019, sejumlah kebijakan dikeluarkan Paus untuk menyelesaikan masalah pelecehan seksual di dalam gereja. Sebagai tindak lanjut, gereja Katolik di Indonesia membuat rancangan protokol perlindungan bagi anak-anak di gereja dalam bentuk buku berjudul Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan.

Buku itu disusun Badan Kerja Sama Bina Lanjut Imam Indonesia (BKBLI), diterbitkan Kanisius dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada 2018. Iswanti mengungkapkan, buku itu menjadi acuan bagi kurikulum formasi pelayanan profesional dalam lingkungan pelayanan gereja Katolik.

“Sekarang sedang dikerjakan aturan teknis dan pembahasan lebih lanjut. Semoga tahun ini kita bisa melihat protokol perlindungan ini sebagai langkah mewujudkan pastoral gereja yang berpihak pada korban,” ujarnya.

“Tidak saja ramah anak, tapi menyediakan fasilitas bagi korban kekerasan seksual, juga bagi perempuan korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).”

Berani mengakui kesalahan

Ilustrasi kekerasan seksual./Ilustrasi Pixabay.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Seminari KWI Joseph Kristanto mengungkapkan, semestinya pihak gereja lebih berani mendengarkan para penyintas kekerasan seksual, berani memohon maaf, dan mendukung pemulihan psikologis korban.

“Sudah cukup untuk membuka mata gereja, lebih memedulikan tingginya dan kemungkinan meningkatnya kasus pelecehan seksual pada anak dan orang dewasa oleh kalangan klerus (biarawan),” ucap Joseph saat dihubungi, Jumat (27/11).

Joseph mengakui, data kasus pelecehan seksual di dalam gereja masih simpang siur. Namun, berdasarkan informasi yang pernah dihimpun timnya pada 2019, ia menyebut ada 15 orang yang menjadi korban pelecehan seksual. Korbannya berusia antara 12-18 tahun. Sedangkan korban dari kalangan suster (biarawati) sebanyak 20 orang dan frater (biarawan) ada 21 orang.

“Namun baru melaporkan atau ketahuan saat konsultasi 10 tahunan sesudahnya,” ucap Joseph.

Menurut Joseph, kemungkinan besar jumlah kasus yang diketahui lebih sedikit dari kenyataannya. “Itu belum terhitung dengan sekolah yayasan Katolik, dan beberapa panti asuhan,” katanya.

Dihubungi terpisah, pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU) Ulun Nuha mengatakan, diperlukan penelitian lebih mendalam untuk melihat pola kasus kekerasan seksual di pesantren.

“Ada 27.000 pesantren di Indonesia. Bisa jadi gambarannya tidak serupa satu dengan lainnya,” ucap Ulun saat dihubungi, Sabtu (28/11).

Pengamat pendidikan Darmaningtyas memandang, lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren memiliki keunggulan dari sekolah formal lainnya. Dengan pola peserta didik memondok, ia menilai, penanaman nilai keluhuran budi pekerti bisa lebih diwujudkan secara konkret. Sayangnya, sebagian orang mencari celah menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan pelecehan seksual.

"Salah memang jika terlalu berharap pada privilege yang didapatkan sekolah macam pesantren, atau yang memakai model memondok dan tinggal bersama. Siapa yang bisa memastikan semua baik-baik saja?" katanya saat dihubungi, Minggu (29/11).

Ia berharap, pengurus lembaga pendidikan bisa bekerja sama dengan orang tua siswa melalui peran komite sekolah, agar hubungan santri dan pengurus menjadi lebih erat.

"Begitu pula halnya di seminari atau sekolah yayasan Kristen atau Katolik. Ortu dan guru mendukung situasi belajar yang ramah anak," ujarnya.

Sementara peneliti dari Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Aan Anshori mengatakan, semestinya upaya memperbaiki nama baik institusi gereja maupun pesantren harus dimulai dengan memastikan pandangan hidup berdasarkan kasih, penghormatan, dan tanggung jawab.

“Misalnya ada kiai yang tersangkut kasus kekerasan seksual, semestinya mengaku salah, tak perlu malu mengakui kesalahan,” kata Aan saat dihubungi, Jumat (27/11).

“Jadi sepanjang itu tidak didasari kasih, hormat pada tubuh perempuan, serta tidak didasari pertanggung jawaban, maka yang terjadi ialah eksploitasi.”

Selanjutnya, diperlukan kemauan untuk berdiskusi dan membahas persoalan tersebut. “Kita perlu merespons, jangan hanya bicara soal kasus, perlu juga memaksa standar pesantren ramah anak,” tuturnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid