close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi anak penderita stunting. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi anak penderita stunting. Alinea.id/Firgie Saputra
Nasional
Kamis, 09 Maret 2023 14:36

Misi muskil memangkas angka stunting

Target menurunkan jumlah balita penderita stunting hingga hanya 14% pada 2024 dinilai tak realistis. Pemerintah perlu kerja keras.
swipe

Anggita, 24 tahun, akhirnya bisa bernafas lega. Niatnya untuk menikah bakal segera kesampaian. Segala persyaratan telah terpenuhi. Sore itu, lewat selembar surat, Kantor Urusan Agama (KUA) Kalideres menyatakan Anggita dan pasangannya bersih dari penyakit-penyakit yang memungkinkan mereka "menghasilkan" anak stunting alias kerdil. 

"Kata Sekretaris RT, (suratnya) bakal dikasih sekarang. Makanya, pacar saya saya suruh datang ke rumah abis kerja," kata Anggita saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya di kawasan Kalideres, Jakarta Barat, Senin (6/3).

Bersama Hamdi (26 tahun), Anggita berencana menikah sehabis Lebaran 2023. Namun, mereka baru sibuk mengurus segala jenis izin dan dokumen sejak bulan lalu. Semula, Anggita mengira menikah hanya butuh surat pengantar dari RT/RW setempat. Ia baru tahu ada serangkaian proses cek kesehatan yang harus dilalui. 

"Ternyata, itu (tes kesehatan) lumayan ribet. Soalnya, kami waktunya enggak ada karena harus kerja. Kami diwawancara, diperiksa darah, dan sebagainya. Terus, kami juga dicek berat dan dicari tahu apakah punya anemia atau tidak," kata Anggita.

Pemeriksaan kesehatan, kata Anggita, diwajibkan bagi pasangan yang bakal menikah lantaran pemerintah sedang gencar menurunkan jumlah bayi yang menderita stunting di Indonesia. Itu diketahui Anggita dari petugas KUA setempat. 

"Supaya nanti bisa diberi pemahaman soal stunting. Selama ini, saya enggak tahu soal itu. Pas kemarin aja di KUA ditanya kesiapan dan sebagainya. Ya, dari situ dikasih penjelasan soal stunting," ucap Anggita.

Informasi dari petugas KUA, menurut Anggita, memicu rasa ingin tahunya. Sepulang dari KUA, ia langsung meriset seluk-beluk stunting di internet. Dari informasi yang ia kumpulkan, Anggita paham stunting bukan persoalan remeh-temeh.

"Terutama bagi pasangan yang mau berumah tangga. Soalnya, kalau anak stunting itu, katanya, pertumbuhannya bakal terganggu dan bahkan sulit berpikir otaknya," ujar Anggita. 

Kekhawatiran berbeda soal stunting dirasakan Laili, 58 tahun. Ketua Posyandu Kerang Hijau 1, Marunda Pulo Pitung RT 01 RW 07 Kelurahan Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, itu bercerita ada tiga balita di lingkungan tempat ia tinggal yang kemungkinan menderita stunting. 

"Mudah-mudahan sih enggak beneran (stunting). Sejauh ini, belum ada diagnosa dari puskesmas kalau tiga anak ini stunting," kata Laili kepada Alinea.id, Selasa (7/3).

Menurut Laili, ada 66 balita yang didampingi Posyandu Kerang Hijau. Tiga bayi terlihat jauh lebih pendek ketimbang bayi-bayi lainnya. Sepemahaman Laili, salah satu ciri anak stunting ialah tinggi badan yang tak ideal. 

"Tapi, kayaknya lebih karena keturunan karena orang tuanya juga pendek mereka. Kayaknya lebih karena keturunan, karena orang tuanya juga pendek mereka," ucap Laili. 

Bayi yang baru lahir, kata Laili, potensial menderita stunting apabila memiliki panjang badan kurang dari 46,1 centimeter untuk laki-laki dan kurang dari 45, 4 centimeter untuk perempuan. "Mereka bertiga dipantau terus sama saya dan kadang saya laporkan kondisi anak-anak ini ke puskesmas," kata dia.

Laili mengaku tak ada upaya pencegahan serius yang digelar mencegah stunting di lingkungan tempat tinggal dia. Selain sosialisasi dan edukasi, posyandu hanya bisa memberikan bantuan pangan berupa 12 telur, biskuit, dan susu. 

"Itu pun enggak rutin tiap bulan. Jadi, kadang kalau ada bantuan tambahan makanan, ya, ketiga anak ini yang diutamakan atau sering dapat," kata Laili. 

Cilincing merupakan salah satu lokus stunting yang menjadi perhatian di Jakarta Utara. Merujuk data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi balita stunting di Jakarta sebesar 14,8% pada 2022. Setahun sebelumnya, prevalensi balita stunting di DKI mencapai 16,8%.

Pada 2022, Jakarta Utara menjadi wilayah dengan prevalensi balita stunting terbesar kedua di DKI Jakarta, yakni mencapai 18,5%. Prevalensi balita stunting tertinggi tercatat di Kepulauan Seribu, yakni mencapai 20,5%. Angka ini naik 1,2 poin dari 2021 yang sebesar 19,3%.

Pada tingkat nasional, pemerintah sukses menurunkan angka balita penderita stunting dari 24,4% pada 2021 menjadi 21,6% pada 2022. Pada 2023, angka stunting ditargetkan bisa ditekan hingga kisaran 17-18%. Target pemerintah, sebagaimana sempat diungkap Presiden Joko Widodo, jumlah balita stunting hanya 14% pada 2024. 

Ilustrasi pengukuran anak stunting. /Foto Antara

Misi sulit

Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hardinsyah berpendapat target penurunan penderita stunting hingga 14% sulit dicapai. Ia merujuk pada capaian penurunan angka stunting pemerintah setiap tahunnya. 

"Setiap tahun hanya turun 2% atau 3%. Kalau evaluasinya itu tahun 2024, berarti tinggal 1,5 tahun lagi. Belum ada pengalaman (jumlah bayi stunting) menurun 7% selama 1,5 tahun," ujar Hardinsyah kepada Alinea.id, Senin (6/3). 

Hardinsyah menawarkan sejumlah solusi. Pertama, pemerintah fokus pada batita dan anak yang akan lahir. Kedua, mengentaskan tiga faktor utama penyebab stunting, yakni kekurangan pangan berkualitas, gangguan infeksi, dan terbatasnya akses pelayanan kesehatan bagi bayi. 

Bantuan pangan berkualitas, lanjut Hardinsyah, wajib diberikan untuk ibu yang menyusui dan anak yang berusia di bawah 3 tahun atau selama 1.000 hari pertama usai kelahiran. Mereka terutama butuh lauk-pauk dan buah-buahan untuk memperkuat pembentukan tulang dan sel-sel otak.

"Selama ini, ibu hamil atau yang menyusui ekslusif selama 6 bulan  kekurangan lauk-pauk. Mereka butuh banyak butuh protein dan mineral. Dari buah, ada vitamin C untuk membentuk tulang. Panjang-pendeknya anak lahir itu kan karena tulang enggak sampai normal. Komponen utamanya adalah mineral dan lauk pauk tadi," jelas dia. 

Untuk mencegah stunting karena infeksi bakteri, Hardinsyah menggarisbawahi pentingnya akses air bersih bagi anak-anak dan ibu hamil. Seiring dengan itu, masyarakat juga perlu diedukasi untuk bergaya hidup sehat. 

"Kalau air itu artinya perlu infrastruktur air bersih. Bakteri berkembang kalau orang enggak bersih. Kunci dari menjaga kebersihan itu air. Mandi, kalau abis BAB (buang air besar), ya, dicuci. Abis cuci, dibersihkan," kata dia. 

Soal akses layanan kesehatan, Hardinsyah menyebut, itu terutama dibutuhkan bagi balita yang menderita stunting karena faktor genetik. "Itu perkuat saja bagaimana layanan BPJS. Bagaimana BPJS bisa dijangkau anak stunting," cetusnya. 

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra sependapat target penurunan stunting hingga hanya 14% pada 2024 tergolong berat untuk dicapai. Menurut dia, data SSGI Kemenkes juga belum sepenuhnya menggambarkan realita di lapangan. 

"Data di SSGI dan di lapangan bisa jadi berbeda. Bisa jadi potensi dan temuan itu tinggi. Tentu saja selama pandemi Covid-19 itu menambah kesulitan untuk melakukan screening dan mengidentifikasi gangguan ke arah stunting lebih cepat," kata Hermawan kepada Alinea.id, Senin (6/3). 

Sebagai solusi, Hermawan mengusulkan pembentukan tim atau kader-kader pencegah stunting berbasis komunitas masyarakat. Tim semacam itu terutama perlu dibentuk di daerah-daerah "langganan" stunting semisal, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). 

"Itu (pembentukan kader) juga bukan hanya berkaitan dengan (upaya pemenuhan) sumber pangan, pengetahuan dan pola nutrisi. Akan tetapi, ini juga berkaitan dengan layanan kesehatan selama ibu menjelang hamil sampai hamil," kata Hermawan.

Lebih jauh, Hermawan berharap semua kementerian bersinergi untuk memangkas angka stunting. Apalagi, penurunan angka stunting merupakan salah satu janji politik pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. 

Di lain sisi, pengentasan stunting juga penting mengingat Indonesia sedang menikmati bonus demografi. "Bonus demografi yang terjadi hingga tahun 2045 itu malah akan menjadi ancaman karena banyaknya risiko stunting," jelas Hermawan. 

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo (tengah) berbicara di Lapas Kelas II-A Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (5/2/2022). Foto dok. BKKBN

Masih optimistis 

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo optimistis target penurunan jumlah balita stunting hingga 14% bisa dicapai. Ia berkaca dari rerata penurunan jumlah balita stunting yang terekam selama beberapa tahun terakhir.

"Setelah tidak pandemi, kita mampu menurunkan hampir 3 persen. Nah, harapannya, kalau sekarang 21%, pada 2023 akhir itu mendekati 18%. Kalau tercapai 18%, maka di tahun 2024 akhir bisa mendekati 14%," ujar Hasto kepada Alinea.id, Selasa (7/3).

Menurut Hasto, target itu bisa dikebut lantaran sudah terbit Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang Holistik, Integratif, dan Berkualitas Melalui Koordinasi, Sinergi, dan Sinkronisasi di Antara Pemangku Kepentingan. Diteken Jokowi pada Agustus 2021, Perpres itu sudah mulai dijalankan berbagai instansi pemerintah. 

"Komitmen kepala daerah dan mitra-mitra di luar kepala daerah cukup besar untuk penurunan stunting kepada kabupaten. Kementerian Dalam Negeri sudah membuat aturan untuk membangun sistem baru untuk mengisi akun-akun perencanaan anggaran yang bertemakan stunting. Apabila RPJMD ini tidak ada program stunting, RPJMD tidak disetujui," kata Hasto. 

Kementerian-kementerian lainnya yang turut bergerak, lanjut Hasto, semisal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR). Di Kemendes, misalnya, sudah ada regulasi untuk penggunaan dana desa demi menunurunkan angka stunting. 

Adapun di Kemen PUPR, menurut Hasto, ada beragam program pembangunan jamban dan sanitasi untuk menurunkan risiko stunting. "BKKBN juga sudah bekerjasama dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk mengalokasi bantuan pangan ke desa rawan pangan yang kesulitan akses pangan," kata dia. 

Bersama Kemenkes, BKKBN tengah melakukan pemutakhiran data anak yang menderita stunting. Data itu bakal digunakan untuk mendorong agar masyarakat lebih aktif datang ke posyandu. "Saat pandemi, kedatangan ke posyandu itu tidak lebih dari 60%," ucap Hasto.

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Pada Juni 2022, BKKBN juga telah membentuk sekitar 600 ribu kader pendamping calon pengantin di berbagai daerah. Menurut Hasto, para pendamping itu diterjunkan untuk mendampingi para calon pengantin. Kementerian Agama mencatat ada sekitar 1,9 juta calon pengantin setiap tahunnya.

"Dari 1,9 juta itu, yang hamil di tahun pertama ada 80% atau sekitar 1,6 juta. Kalau 20% saja, dari 1,6 juta itu, melahirkan anak stunting, berarti ada 320 ribu sendiri. Kita perlu mengendalikan yang nikah ini supaya harus sehat dulu. Itu sudah bisa menurunkan 30% stunting," ucap Hasto.

Salah satu kendala terbesar dalam penurunan stunting, diakui Hasto, terkait pemenuhan nutrisi bagi ibu hamil dan bayi, terutama bayi berusia 2 tahun. Banyak daerah di Indonesia yang tak punya anggaran memadai untuk menggelar program-program pemenuhan nutrisi bayi berusia 2 tahun. 

Untuk itu, menurut Hasto, BKKBN saat ini tengah merancang program bapak asuh anak stunting dengan menggandeng pihak swasta dan dunia usaha. "Perusahaan dan daerah-daerah Jawa dan di luar Jawa. Banyak perusahaan yang kita gerakkan menjadi bapak asuh anak stunting," ucap Hasto.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Nadia Tarmizi Wiweko mengatakan Kemenkes sudah punya 10 program untuk menurunkan stunting. Program-program itu dibagi dalam tiga kluster. Program-progrm di dua kluster pertama digelar sebelum bayi lahir, yakni  untuk calon pengantin dan ibu hamil.  Terakhir, setelah bayi lahir.

"Untuk calon pengantin dan ibu hamil, Kemenkes memiliki program pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan anemia, pemeriksaan kehamilan, dan pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil," kata Nadia kepada Alinea.id

Adapun untuk bayi yang telah lahir, Kemenkes punya program untuk memantau tumbuh kembang anak dan perkembangan panjang badan. "Kemudian pemberian makanan tambahan protein hewani bagi bayi di bawah usia dua tahun. Lalu, merujuk balita yang memiliki masalah gizi ke puskesmas dan peningkatan cakupan perluasan jenis imunisasi," kata Nadia. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan