sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasib nelayan kita: Miskin, berpendidikan rendah, terabaikan negara

Mayoritas nelayan Indonesia hanya mengenyam bangku pendidikan setingkat sekolah dasar.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 25 Feb 2023 17:17 WIB
Nasib nelayan kita: Miskin, berpendidikan rendah, terabaikan negara

Bersama sejumlah rekannya, Adi, 24 tahun, nongkrong di sebuah gubuk tua tak jauh dari tanggul dermaga Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (24/2) petang itu. Permainan kartu remi jadi pilihan mereka untuk menghabiskan waktu sembari menunggu para nelayan pulang melaut. 

Di sela-sela permainan, salah seorang rekan Adi mengungkap kabar gembira. Ia bercerita baru saja diterima sebagai buruh buruh di salah satu pabrik di Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Rekan-rekannya langsung heboh.

"Lha, kagak ngajak-ngajak kerja? Sendiri-sendiri aja nih?" seloroh salah satu rekan Adi lainnya. 

Sehari-hari, Adi dan rekan-rekannya itu bekerja serabutan. Biasanya, mereka ditugasi para nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapan ke pasar setempat. Dari hasil duit penjualan, mereka mendapat jatah sekitar 25%. 

"Di sini, banyak pengangguran yang susah cari kerja. Jadi, kalau ada teman yang dapat kerja, pasti disinggung," kata Adi saat berbincang dengan Alinea.id. 

Adi menyebut banyak pemuda di kampungnya yang kini ogah jadi nelayan lantaran sering tekor. Menurut dia, hasil tangkapan tak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan, semisal untuk membeli bahan balkar solar dan keperluan lainnya. 

"Sekarang susah cari ikan. Apalagi, banyak nelayan muda di sini yang sudah tidak punya perahu buat melaut. Rata-rata, dulu itu perahu bapaknya yang dipakai. Sekarang udah pada rusak," ujar pria yang hanya tamatan sekolah menengah pertama (SMP) itu. 

Situasi itu bikin sebagian pemuda di Muara Kamal mencari peruntungan di bidang-bidang lain. Namun, tak banyak rekan Adi yang sukses memeroleh pekerjaan di tempat lain. "Karena paling cuma modal ijazah SMP, ya, paling yang bisa dikerjain kerjaan serabutan," ucap Adi.

Sponsored

Seperti kebanyakan rekan-rekannya, Adi pun demikian. Sesekali, ia hanya melaut jika ada pemancing yang menyewa perahunya. "Tapi, cuma nganterin orang mancing aja yang sewa perahu saya buat ke tengah laut," tuturnya. 

Cerita serupa diungkap Burhanudin Munir, 27 tahun. Nelayan asal Indramayu itu sudah lama menetap di Muara Angke, Jakarta Utara. Ia menyebut ikan di perairan Jawa semakin langka. 

"Karena ikan semakin susah dicari, tapi harga solar naik terus. Belum lagi banyak zonasi di perairan Jakarta yang enggak boleh diambil ikannya," kata  Burhanuddin kepada Alinea.id, Kamis (23/2).

Profesi sebagai nelayan tradisional, apalagi jika statusnya hanya sebagai anak buah kapal, tidak bisa diandalkan jadi tumpuan mata pencaharian. Sebagian besar nelayan muda terpaksa terus menjalani profesi itu lantaran tak punya pilihan lain. 

"Mau kerja lain, bingung. Saya kepikiran mau jadi gojek (pengemudi ojek online) aja. Tetapi, sepeda motor belum punya. Soalnya, melaut semakin susah," kata pemuda yang juga hanya tamatan SMP itu. 

Burhanudin berharap tak akan selamanya menjadi nelayan. Jika ada kesempatan untuk bekerja di profesi lain, ia mengaku akan langsung banting setir dan "meninggalkan" laut. 

"Nelayan kecil kayak kami orang itu harus bersaing dengan nelayan yang besar-besar. Udah gitu, kita juga enggak ada jaminan sosial apa-apa. Sekarang mah, kalau bisa dagang, mending saya dagang aja," ucap Burhanudin.

Suasana di salah satu gang di kampung nelayan di Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara. Rabu (23/2). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Diabaikan negara? 

Menurut catatan Direktorat Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek), saat ini sekitar 80% nelayan tradisional di Indonesia hanya mengenyam bangku pendidikan di bawah SMP. 

Ketua Umum Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menilai rendahnya tingkat kesejahteraan warga pesisir berkelindan dengan rendahnya tingkat pendidikan para nelayan. Jika dibandingkan, sebanyak 55% angkatan kerja nasional berpendidikan setingkat SMP. 

"Penduduk di kawasan pesisir utamanya yang berprofesi sebagai nelayan memilih mencari ikan di laut ketimbang melanjutkan pendidikan. Sementara itu, hasil yang didapatkan dari usaha penangkapan ikannya itu tidak mampu mengangkat kesejahteraan mereka," kata Dani kepada Alinea.id, Senin (20/2).

Dani membenarkan menangkap ikan di laut kian sulit bagi nelayan tradisional. Ia merinci sejumlah faktor yang jadi kendala utama, semisal perubahan iklim, pencemaran di laut, pembangunan infrastruktur di kawasan pesisir yang tak ramah lingkungan, dan persaingan dengan kapal-kapal besar. 

"Mereka berkompetisi dengan jalur transportasi, dengan pertambangan atau dengan alat-alat tangkap lain yang lebih merusak lingkungan dan sebagainya. Ini kapal besar atau kapal yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Itu yang menyebabkan wilayah tangkap mereka semakin sempit," kata Dani.

Di lain sisi, kalangan nelayan tradisional juga tercekik harga bahan bakar yang terus melambung. Dengan tangkapan ikan yang seadanya, mereka tak punya duit untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. 

"Kemudian, ada juga persoalan perlindungan terhadap nelayan kecil. Meskipun sudah ada afirmasi dari regulasi pemerintah, tapi implementasi di lapangan itu sering kali tidak sesuai dengan regulasi yang ada," kata Dani.

Dani menilai pemerintah telah puluhan tahun abai terhadap persoalan pendidikan para nelayan dan keturunan mereka. Perhatian negara terhadap persoalan itu baru terasa setelah dirilisnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Budidaya dan Petambak Garam. 

Sebelum itu, menurut Dani, pemerintah terkesan hanya peduli terhadap peningkatan produktivitas nelayan. "Baru republik ini ngurus pelakunya (setelah UU terbit). Ngurus nelayannya. Jadi, selama ini yang diurus itu soal bagaimana cara nangkapnya atau berapa banyak ikannya," kata Dani.

Lebih jauh, Dani menggugat peran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan. Menurut dia, KKP punya banyak balai dan institusi pendidikan yang bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak pengetahun dan kapabilitas nelayan dalam menangkap ikan. Sayangnya, balai pelatihan dan institusi pendidikan itu masih sulit diakses para nelayan. 

"Sekolah-sekolah itu semestinya dirasakan langsung oleh anak-anak nelayan. Kedua, peran perguruan tinggi. Perguruan tinggi ini ke mana aja? Terutama daerah-daerah yang ada kawasan pesisirnya. Ini juga harus digugat. Jadi, ilmu yang mereka pelajari berhadapan dengan realitas keseharian nelayan tradisional. Jangan hanya ilmu itu diam di kampus dirasakan segelintir orang," kata Dani.

Selain membuka akses pendidikan bagi anak-anak nelayan, Dani berharap, KKP juga getol memberikan pelatihan bagi para nelayan. Fokus utamanya ialah mengenalkan para nelayan pada penggunaan teknologi dalam menangkap ikan atau pengetahuan-pengetahuan mendasar dalam merawat hasil tambak. 

"Semisal bagaimana mereka bisa adaptif menggunakan teknologi supaya fishing ground itu bisa mereka ketahui. Mereka bisa adaptif agar mereka bisa membaca alam, termasuk soal pemasaran produk. Jadi, basic edukasi itu menjadi salah satu hal yang pokok untuk bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan," kata Dani.

 

Segendang sepenarian, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menilai tingkat pendidikan yang rendah memiliki pertalian yang erat dengan kemiskinan nelayan. Ia bahkan menyebut pemerintah terkesan sengaja mengabaikan persoalan rendahnya tingkat pendidikan nelayan tersebut. 

"Kami melihat ada upaya untuk memiskinkan. Terkadang bukan mereka enggak mau mengirimkan anak-anak ke sekolah. Tapi, karena memang sekolah buat mereka tidak digratiskan. Ada memang beasiswa untuk anak sekolah SMA di fakultas perikanan. Tapi, kalau untuk anak-anak di bawah itu, saya belum menemukan," kata Susan kepada Alinea.id, Rabu (22/2).

Ditanya soal eksistensi UU No. 7/2016, Susan mengatakan beleid itu tak dijalankan secara ideal. Program-program pemerintah yang dikeluarkan berbasis mandat UU itu terkesan hanya mengejar peningkatan produksi perikanan. 

Indikasinya, kata Susan, terlihat pada anggaran pemberdayaan yang tidak sebanyak anggaran peningkatan produktivitas. "Produksinya itu juga bukan untuk pemenuhan pangan lokal karena orientasi pangan mereka adalah ekspor. Jadi, nelayan itu hanya objek peningkatan produksi," kata Susan.

Lebih jauh, Susan meminta agar KKP peka terhadap kondisi nelayan tradisional yang rata-rata masih berpendidikan rendah. Jika dimungkinkan, ia berharap agar pemerintah menjamin anak-anak nelayan bisa berkuliah atau mengenyam bangku pendidikan di tingkat lainnya secara gratis.

"Semenjak poros maritim dunia dicanangkan (Jokowi) itu sebenarnya tidak ada program yang terasa meningkat sumber daya nelayan. Yang dibicarakan terus menerus adalah bagaimana bisa meningkatkan produksi," cetus dia. 

Sebuah perahu tertambat di dermaga kampung nelayan di Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara. Rabu (23/2). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Dorong kewirausahaan

Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan KKP I Nyoman Radiarta tak membantah tingkat pendidikan mayoritas nelayan saat ini masih sangat rendah. Ia mengklaim pemerintah telah merilis sejumlah kebijakan untuk mendongkrak tingkat pendidikan anak-anak nelayan. 

Salah satu upaya itu, kata Radiarta, ialah menggratiskan biaya pendidikan untuk anak-anak nelayan, pembudidaya, pengolah, pemasar ikan, dan petambak garam. Tujuannya agar anak-anak yang tinggal di pesisir tak putus sekolah karena tak persoalan biaya.

"Diutamakan yang tidak mampu. Anak-anak tersebut sejak kecil sudah akrab dengan dunia kelautan dan perikanan dan perlu sentuhan akademik untuk meneruskan usaha orang tuanya. Namun, mereka diarahkan menjadi pelaku usaha yang modern," kata Radiarta kepada Alinea.id, Jumat (24/2).

Khusus di tingkat pendidikan tinggi, Radiarta berkata, KKP menyediakan kuota pendidikan gratis 100% bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja di sektor kelautan dan perikanan. Selain biaya pendidikan, KKP bakal menanggung biaya sewa asrama, pembelian seragam, dan perlengkapan kampus.

"Biaya pendidikan gratis di seluruh satuan pendidikan KKP, kecuali Politeknik KP Sidoarjo yaitu sebanyak 20% karena telah ditetapkan menjadi badan layanan umum (BLU) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan," jelas Radiarta. 

Instansi pendidikan milik KKP, kata Radiarta, menerapkan pola pendidikan vokasi. Porsi pembelajarannya, sebanyak 75% praktik dan 25% teori. "Mereka dicetak bukan hanya menjadi tenaga kerja profesional, tetapi juga diarahkan sebagai wirausaha di sektor kelautan dan perikanan," imbuhnya. 

Selain membuka akses pendidikan kepada anak-anak nelayan, KKP juga terus berupaya menggenjot kapasitas dan kapabilitas masyarakat pesisir. Untuk tugas edukasi dan sosialisasi, menurut Radiarta, KKP saat ini tercatat punya 4.431 penyuluh yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air. 

"Pelatihan dilakukan secara tatap muka, daring, maupun blended system. Bidang pelatihan mencakup penangkapan ikan, budidaya, pengolahan, pemasaran, permesinan, garam, manajemen wirausaha, dan sebagainya," kata Radiarta.

Berita Lainnya
×
tekid