close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
KPK memasang pelang disebuah rumah yang berkaitan dengan suatu perkara korupsi. Dokumentasi KPK
icon caption
KPK memasang pelang disebuah rumah yang berkaitan dengan suatu perkara korupsi. Dokumentasi KPK
Nasional
Senin, 22 Februari 2021 16:14

Pengaturan perampasan aset dibutuhkan UU khusus

Lantaran aturannya terpisah perampasan aset, seperti hasil dari tindak pidana korupsi, menjadi sulit untuk diterapkan. 
swipe

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pengaturan yang terpisah terkait perampasan aset membuat praktiknya jadi sulit. Dia menjelaskan, pada dasarnya ada dua model yang bisa dilakukan, melalui putusan pengadilan dan dilakukan langsung tanpa proses peradilan.

Dalam konteks ini, menurut Fickar LHKPN atau laporan harta kekayaan penyelenggara negara bisa menjadi dasar. Bahkan, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juga memberikan landasan untuk perampasan. 

"Itu dengan mengenyampingkan tindak pidana utamanya (core crime)," jelasnya kepada Alinea.id, Senin (22/2).

Lantaran aturannya terpisah perampasan aset, seperti hasil dari tindak pidana korupsi, menjadi sulit untuk diterapkan. Sehingga, kata Fickar, dibutuhkan UU khusus untuk mengatur perampasan aset yang pada dasarnya hasil kejahatan, baik melalui proses eksekusi putusan pengadilan maupun didasarkan aturan yang berbasis LHKPN.

"Memberikan landasan khusus bagi perampasan aset yang tidak didasarkan pada proses hukum, karena melalui TPPU tetap harus dilanjutkan prosesnya ke pengadilan yang ujungnya tetap dasarnya putusan pengadilan. Sedangkan, pada RUU Perampasan Aset bisa menjadi dasar perampasan tanpa harus adanya putusan pengadilan," ujarnya.

"Maksudnya kan, tidak semua tanah bisa dirampas (negara), tapi terbatas pada aset-aset yang tidak jelas perolehannya dan diduga terkait dengan tindak pidana yang bisa dimohonkan untuk dirampas," imbuhnya menjelaskan.

Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK merekomendasikan pemerintah lewat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendorong RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas Prioritas 2021 di DPR. Hal itu disampaikan Kepala PPATK Dian Ediana Rae saat bertemu Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, dalam kunjungan kerja, Senin (15/2).

"Sehubungan dengan tidak adanya lagi pending issue, PPATK meminta kesediaan Kemenkum HAM sebagai wakil Pemerintah untuk mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset tindak pidana sebagai RUU Prioritas Tahun 2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022," ujar Dian secara tertulis.

Sementata KPK menyambut baik usulan RUU Perampasan Aset masuk Prolegnas Prioritas 2021 di DPR. Apabila segera disahkan, komisi antikorupsi memandang regulasi itu akan memberikan banyak manfaat, khususnya dalam pemulihan aset.

"Dengan menjadi UU, maka akan memberikan efek dan manfaat positif bagi dilalukannya asset recovery dari hasil tipikor (tindak pidana korupsi) maupun TPPU (tindak pidana pencucian uang)," kata Pelaksana tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri.

RUU Perampasan Aset mulai disusun pada 2008. Selesai dibahas antarkementerian dan harmonisasi pada November 2010. Rancangan beleid itu, telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Achmad Rizki
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan