sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Permenkes PSBB, cermin kebebalan pemerintah tangani pandemi Covid-19

Pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda akan bersikap gesit dalam menangani pandemi Covid-19.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Senin, 06 Apr 2020 20:32 WIB
Permenkes PSBB, cermin kebebalan pemerintah tangani pandemi Covid-19

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB dinilai mencerminkan carut marut penanganan Covid-19 oleh pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Kentalnya aroma birokrasi dalam regulasi ini, mengisyaratkan pemerintah masih akan berjalan lamban menangani pandemi yang telah menewaskan ratusan orang dan menginfeksi ribuan warga.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Satria Aji Imawan mengatakan, regulasi tersebut terlalu birokratis untuk menangani situasi darurat. Hal ini tampak dari berbelitnya proses penetapan status PSBB bagi daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 hingga Pasal 11 peraturan tersebut. 

"Saya lihat regulasi tersebut masih birokratis. Pendekatannya masih strukturalis," kata Imawan saat dihubungi jurnalis Alinea.id di Jakarta, Senin (6/4).

Secara umum, aturan tersebut mengatur penetapan PSBB yang diajukan pemerintah daerah. Pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Kesehatan dan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, akan memutuskan pengabulan atau penolakan permohonan tersebut.

Selain disyaratkan untuk menyodorkan data kasus corona di daerahnya, pemerintah daerah juga wajib menyertakan kesiapan penyediaan kebutuhan dasar warga, sarana dan prasarana kesehatan, serta dana dan aspek keamanan. Hal tersebut harus dipenuhi saat PSBB diberlakukan.

Namun, persyaratan itu mengisyaratkan upaya pemerintah pusat dalam mereduksi fungsi dan tanggungjawab mereka dalam penanganan Covid-19. Pasalnya, pemerintah daerah dibebani porsi yang lebih besar dalam menangani pandemi ini.

"Logikanya seperti masih menggunakan pusat-daerah di dalam penyelesaian covid. Padahal harusnya enggak begitu," kata Imawan.

Seharusnya, pemerintah pusat berperan lebih besar menangani kasus Covid-19 di daerah karena pandemi ini telah ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam. Karena itu, Imawan meminta pemerintah pusat tidak hanya berperan untuk memikirkan konsep kebijakan, tetapi juga mekanisme detail dalam penanganannya. Sinergi pemerintah pusat dan daerah, niscaya akan membuat penanganan wabah akan lebih efektif dan efisien.

Sponsored

Tak adanya detail penanganan pandemi saat PSBB dalam permenkes yang terbit pada 4 April lalu, diyakini berpotensi membuat pemerintah daerah kebingungan. Mereka tak mendapat arahan jelas dalam menangani coronavirus sesuai keinginan pemerintah pusat. 

"Selama ini pemerintah pusat begitu bebal dan yakin dengan cara mereka, padahal bisa jadi cara terbaik untuk menangani covid ada di daerah. Sementara jika daerah bergerak, pusat akan menuding daerah tidak koordinasi. Sementara jika ikut pemerintah pusat, penanganannya lamban," ujar Imawan.

Hal yang sama diungkapkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, pemerintah seharusnya tak hanya mencantumkan ketentuan birokratif dalam regulasi tersebut, tapi juga pedoman pelaksanaan PSBB.

Yusril menyoroti ketiadaan sanksi yang diatur permenkes itu, guna menegakkan disiplin masyarakat dalam pelaksanaan PSBB. Permenkes hanya mengamanatkan agar pemerintah daerah berkoordinasi dengan aparat keamanan, untuk memastikan efektivitas pelaksanaan PSBB. Namun, lagi-lagi tak ada penjelasan detail ihwal koordinasi yang dimaksud dalam Pasal 14 permenkes tersebut.

Yusril memafhumi hal ini. Menurutnya, koordinasi dengan instansi lain tak bisa diatur dalam peraturan menteri yang terbatas menangani hal-hal yang berada di bawah kewenangan kementerian tersebut. 

"Seharusnya, lebih detail diatur dalam PP yang bisa mengatur lintas sektoral," kata Yusri.

Ketiadaan sanksi membuat penanganan pandemi dengan menerapkan upaya pencegahan macam physical distancing, yang diharapkan Presiden Jokowi dapat dilakukan lebih tegas melalui PSBB, sulit tercapai. Masyarakat tetap berkerumun, physical distancing tak diikuti, penularan terus terjadi, hingga ribuan korban masih akan terus berjatuhan jika kondisi ini terus terjadi. 

Hingga Senin (6/4), terdapat 2.491 orang yang terinfeksi corona virus di Indonesia. Dari jumlah itu, terdapat 209 orang di antaranya meninggal dunia.

Namun Yusril mengaku tak bisa mempersoalkan hal tersebut dengan menuding pada Permenkes Nomor 9 Tahun 2020, lantaran sanksi hanya dapat diatur dalam undang-undang. Namun, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga tak mengatur pelanggar dalam PSBB. UU Kesehatan dan UU Wabah Penyakit juga demikian. 

Bagi Yusril, persoalan ini dapat diatasi pemerintah dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu. 

"Akan tetapi, pemerintah tidak mau menerbitkan perppu. Akhirnya peraturan apa pun yang dibuat dengan mengacu pada tiga UU di atas, semuanya serbatanggung," ujar Yusril.

Berita Lainnya
×
tekid