sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sengkarut mengelola limbah medis Covid

Pandemi Covid membuat jumlah limbah medis bejibun. Tak semua fasilitas kesehatan dan daerah memiliki pengolahan limbah memadai.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Kamis, 17 Des 2020 06:26 WIB
Sengkarut mengelola limbah medis Covid

Sepuluh bulan pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Penambahan jumlah kasus infeksi virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, masih tinggi. Belum ada tanda-tanda kasus infeksi virus menurun.

Data Satgas Penanganan Covid-19 per 16 Desember 2020 pukul 12.00 WIB tercatat kasus konfirmasi Covid-19 sebanyak 6.725 orang. Lebih tinggi dari sehari sebelumnya, sebesar 6.120 kasus. Selain membebani tenaga medis, jumlah kasus yang terus bertambah memperberat penanganan limbah medis.

Profil Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 tentang pengelolaan limbah medis di Asia Tenggara mencatat, timbunan limbah medis di Indonesia mencapai 0,68 kilogram per pasien per hari. Saat Covid-19, jumlah limbah medis seperti masker, sarung tangan, tisu, jarum suntik, dan botol infus makin bejibun.

Dari 536 fasilitas pelayanan kesehatan yang mengirimkan data limbah Covid-19 ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes), rata-rata timbunan limbah Covid-19 mencapai 1,7 kilogram per pasien per hari. Berarti terdapat peningkatan limbah medis sebesar 1,02 kilogram per pasien per hari saat Covid-19.

Tidak semua fasilitas layanan kesehatan memiliki pengolahan limbah medis. Sebagai gantinya, mereka  bisa menyerahkan pengolahan limbah kepada pihak ketiga. Namun, langkah ini pun bukan tanpa masalah. Selain jumlahnya terbatas, perusahaan pengolah limbah itu menumpuk di Jawa.

Keterbatasan ini diakui Sekretaris Ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Azhar Jaya. Saat ini ada enam perusahaan pengolah limbah berizin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lima berada di Jawa, dan satu sisanya ada di Kalimantan. Ongkos mengolah limbah pun tidak murah.

Ini membuat fasilitas layanan kesehatan di luar Jawa yang tidak memiliki unit pengolah limbah menghadapi kesulitan. “Maka perlu upaya dan keterlibatan besar (pihak lain) untuk menangani limbah medis, terutama di luar Pulau Jawa. Kami mendorong kerja sama stakeholder pemerintah-pemerintah daerah untuk aktif mendukung,” tutur Jaya dalam seminar daring, Senin (30/11) lalu.

Di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pedoman limbah medis infeksius, seperti aneka limbah medis Covid-19. Pengelolaan limbah medis infeksius ini sama dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Sponsored

Di Pasal 59 ayat 1 disebutkan, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkan. Sedangkan dalam Pasal 59 ayat 3 disebutkan, dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan imbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.

Prasarana terbatas

Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 KLHK, Achmad Gunawan Widjaksono, mengakui perlu dukungan dan kerja sama berbagai pihak dalam penanganan limbah medis, termasuk limbah medis Covid-19. Masih banyak daerah yang sarana dan prasarana pengolahan limbah terbatas.

Agar pengolahan limbah baik, kata Widjaksono, pada Februari 2020, KLHK menerbitkan surat edaran pengelolaan limbah medis Covid-19 pada fasilitas layanan kesehatan atau pun rumah tangga. Pihaknya juga mendorong keterlibatan pemda untuk berperan sebagai pihak ketiga dalam pengelolaan limbah.

"Lewat Surat Edaran Dirjen Penanganan Limbah Beracun, kami juga sudah menyosialisasikan di tingkat regional pada seluruh provinsi,” ucap Widjaksono dalam seminar daring, Senin (30/11).

Aturan yang dimaksud adalah Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.02/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Covid-19. Di beleid itu disebut, pemerintah daerah bisa menyediakan sarana seperti dropbox untuk pengelolaan limbah medis dari rumah tangga. Sementara untuk limbah dari fasilitas pelayanan kesehatan, disarankan dimusnahkan dengan insinerator atau kiln semen.

Ke depan, kata Widjaksono, pihaknya membangun 32 fasilitas insinerator berkapasitas besar di 32 provinsi hingga tahun 2024. Hingga akhir 2020, kata dia, insinerator dibangun di lima provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Selatan. Semua menggunakan dana APBN. Di insinerator inilah limbah medis dibakar.

Secara khusus, Kemenkes juga mengeluarkan aturan terkait limbah medis infeksius dari rumah tangga dan fasilitas pelayanan kesehatan melalui Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/MENKES/537/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Limbah dari Kegiatan Isolasi atau Karantina Mandiri di Masyarakat dalam Penanganan Covid-19.

Mengandalkan pihak ketiga

Satu dari sedikit fasilitas pelayanan kesehatan yang relatif tak memiliki masalah dalam mengelola limbah medis adalah Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta Utara. Direktur RSPI Mohammad Syahril menjelaskan, mengelola limbah medis mencakup sejumlah tahapan. Mencakup pemilahan limbah, pewadahan, pengangkutan, penyimpanan sementara, pencatatan, dan pengolahan.

Pengolahan limbah medis diperlakukan seperti penanganan limbah B3. Khusus untuk limbah medis pasien Covid-19, ada metode tambahan. "Dilengkapi disinfeksi pada kemasan limbah medis Covid-19 supaya virus SARS-CoV-2 dapat rusak atau hancur," ucap Syahril kepada Alinea.id, Selasa (24/11).

Penyemprotan disinfektan dilakukan ketika limbah medis infeksius disimpan di tempat penampungan sementara (TPS) khusus limbah B3. Setelah limbah medis dicatat, lalu disalurkan ke perusahaan pengolah limbah rekanan RSPI.

"Cara kami sudah memenuhi standar pengolahan dari Kemenkes. Termasuk soal kewaspadaan dari penularan penyakit, kami pastikan aman," ujar Syahril.

Sementara di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet, Jakarta Pusat, pemusnahan limbah medis menggunakan fasilitas insinerator mobil hibah dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). "Ada empat sampai delapan mobil insinerator yang disiapkan setiap hari di dalam kawasan RSD Wisma Atlet untuk mempercepat pemusnahan limbah medis," kata Koordinator Operasional RSDC Wisma Atlet, Kolonel Stefanus Dony, kepada Alinea.id, Rabu (25/11).

Insinerator itu terutama untuk mengolah limbah medis berukuran kecil, seperti masker, tisu, jarum suntik, sisa makanan pasien, serta peralatan yang ada di ruang isolasi dan perawatan. Dalam sehari, RSDC Wisma Atlet menghasilkan 100-an kantong limbah medis. Hanya 20-30 kantong yang diolah dengan metode insinerasi.

Selain itu, kata Dony, limbah medis infeksius dikelola lewat kerja sama pihak ketiga. Sebelum disalurkan ke perusahaan pengolah limbah, tumpukan kantong limbah medis disimpan di ruang khusus di tower tujuh, cukup jauh dari ruang isolasi pasien Covid-19.

Insenerasi vs Autoklaf

PT Jasa Medivest adalah salah satu perusahaan pengolah limbah B3. Berlokasi di Cikampek, Karawang, Jawa Barat, perusahaan ini mengklaim telah menjalin kerja sama dengan sejumlah rumah sakit untuk pengolahan limbah medis. Di antaranya rumah sakit rujukan Covid-19 di Jawa Barat, seperti Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, juga Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Jakarta.

PT Jasa Medivest, jelas Mohan Felani, menggunakan metode pembakaran bertemperatur tinggi. “Sejak 2009 layanan dikembangkan dengan satu insinerator. Nanti ditambah dua mesin, dengan beban maksimal limbah yang diolah 24 ton per hari,” kata Humas PT Jasa Medivest itu kepada Alinea.id, Jumat (4/12).

Dalam mengolah medis limbah medis Covid-19, klaim Felani, pihaknya mengikuti anjuran Kemenkes dan KLHK. Karena itu, dalam penanganan limbah medis Covid-19, perusahaan menerapkan prosedur tambahan teknis berupa penggunaan APD khusus hazmat bagi petugas operasional pengangkutan dan pengolahan limbah. Penyemprotan disinfektan juga dilakukan di lokasi secara berkala.

Masalahnya, pengolahan limbah medis menggunakan metode insenerasi ini dinilai masih meninggalkan residu bagi lingkungan. Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), menjelaskan metode insinerasi menghasilkan uap beracun yang tersebar di udara.

"Terutama bila rumah sakit berada di dekat permukiman warga. Lokasi insenerator harus jauh (dari permukiman)," kata dia saat dihubungi, Selasa (24/11).

Ia menyarankan mengatasi limbah medis infeksius menggunakan metode autoklaf. Menurut dia, metode itu bisa menghilangkan sifat infeksius dari limbah medis. "Cara autoklaf sudah umum dilaksanakan di rumah sakit untuk kebutuhan pengecekan alat laboratorium," ujarnya.

Jenis limbah medis yang bisa ditangani dengan metode autoklaf, kata dia, di antaranya botol infus, masker, dan perlengkapan APD. Cara penguapan, kata dia, juga lebih efisien dilakukan rumah sakit dibandingkan harus menyalurkan ke pihak ketiga, yang membuat beban biaya makin membengkak.

"Lebih mahal ongkosnya bagi rumah sakit. Padahal, dana rumah sakit juga terbatas," katanya.

Akan tetapi, lanjut Dwi, metode autoklaf masih cukup sulit diterapkan sebagian rumah sakit karena kendala teknis. Dwi juga mengusulkan limbah medis disinari dengan ultraviolet yang tinggi atau disemprot disinfektan sebelum disalurkan ke tempat pembuangan akhir.

Terakhir, Dwi menyarankan pemerintah lebih cepat mengucurkan bantuan tambahan untuk pengelolaan limbah medis. "Rumah sakit sudah sibuk ngurusin pasien Covid-19 daripada limbahnya," kata dia.

 

Berita Lainnya
×
tekid