sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Solidaritas publik di tengah pandemi Covid-19

Netizen merespons positif adanya donasi antarsesama yang dilakukan. Upaya pemerintah justru sentimennya negatif.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Senin, 06 Apr 2020 07:31 WIB
Solidaritas publik di tengah pandemi Covid-19

Coronavirus anyar (Coronavirus Disease 2019/Covid-19) telah menyebar ke 181 negara pada Minggu (5/4)–berdasarkan data Johns Hopkins University–sejak kali pertama dikonfirmasi pada akhir Desember 2019. Indonesia menjadi salah satu negara yang turut terjangkit virus SARS-CoV-2. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengonfirmasi kasus pertama pada 2 Maret 2020–klaim sempat diperdebatkan lantaran pemerintah pernah mengelak meninggalnya pegawai PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Jabar), 3 Maret, disebabkan Covid-19.

Tanggal 12 Maret, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menetapkan penyakit ini sebagai pandemi global karena tingkat penularannya tergolong cepat–seperti flu babi yang disebabkan virus H1N1 pada 2009-2010 dan menjangkiti 74 negara. Menurut riset Centers for Disease Control and Prevention, penyebaran Covid-19 kebanyakan terjadi antarmanusia melalui cairan yang keluar saat batuk atau bersin (droplet).

Hingga 5 Maret, pukul 15.40 WIB, pemerintah pusat mencatat 2.273 kasus positif di Indonesia. Naik 181 kasus dibandingkan kemarin (Sabtu, 4/4). Dus, peningkatan kasus terkonfirmasi setiap hari per 24 Maret masih di atas 100 kasus. Tertinggi sebelumnya 82 kasus (19 Maret).

Sayangnya, pemeritah pusat menganggap remeh terhadap Covid-19 sedari awal. Tecermin dari berbagai kelakar nirguna. Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, misalnya, pernah mengklaim, pneumonia Wuhan–nama awal penyakit ini–tak lebih berbahaya daripada flu biasa (influenza). Padahal, WHO menyebutkan, tingkat kematian Covid-19 sebesar 3,9% dari total kasus terinfeksi. Sedangkan influenza 1%.

Gerak negara juga lambat dan lamban. Dalam penerapan regulasi, contohnya. Sejak Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan diteken nyaris 20 bulan lalu, Jokowi baru menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan (PP PSBB) Covid-19 pada 31 Maret. Sementara, aturan turunannya–Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19–baru terbit 3 April.

Negara juga baru menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat pada akhir bulan kemarin. Ditandai dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Padahal, Direktur Jenderal WHO, Thedros Adhanom, sudah memintanya ke Jokowi melalui surat tertanggal 10 Maret.

Mencibir pemerintah

Gayung bersambut, kata berjawab. Langkah pemerintah membuka rekening donasi untuk penanganan Covid-19 dikritik. Seakan-akan bentuk kekesalan publik atas kebijakan yang diambil. Ini tampak dari pantauan Alinea.id di media sosial (medsos), khususnya Twitter, dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) rentang 1 Maret-4 April.

Sponsored

Persentase sentiment negatif terhadap sikap pemerintah membuka rekening donasi mencapai 5.092 (33%) dari 15.473 kicauan. Isi twit cenderung sarkas dan sindiran. Sebanyak 8.078 kicau (52%) lainnya bernada positif. Ini terkait aksi solidaritas yang dilakukan publik, baik masyarakat umum maupun selebritas (artis, musisi, dan atlet). Sisanya, 2.303 kicau (15%) netral.

Secara keseluruhan, terdapat 16.820 artikel pada portal berita daring (online) dan 15.433 twit di Twitter terkait kohesi sosial oleh masyarakat umum dan selebritas. Ini merujuk data yang berhasil ditangkap dengan beberapa kata kunci (keyword) sesuai sasaran. Olahragawan, misalnya, menggunakan sepak bola, timnas, pesepak bola, atlit, dan atlet.

Sasaran berikutnya artis dan musisi (artis, seleb, selebrita, pemain film, aktor, aktris, influencer, selebriti, artist, musisi, dan penyanyi), konser amal (konser, festival, dan streaming), inisiatif donasi uang tunai (donasi, sumbangan, sumbang, uang, dana), donasi alat pelindung diri/APD (donasi, sumbang, menyumbang, sumbangan, APD, dan alkes), donasi sembako (donasi, sumbang, menyumbang, sumbangan, sembako, dan paket beras), serta pembuatan masker (pembuatan alkes dan pembuatan masker).

Ekspose isu donasi alat kesehatan (alkes) berupa alat pelindung diri atau APD di media massa daring–berdasarkan data tercuplik–mencapai 3.695 artikel. Disusul bantuan uang 3.151 artikel, selebritas 1.864 artikel, atlet 1.184 artikel, pembuatan masker 1.091 artikel, sumbangan sembako 816 artikel, dan konser amal 602 artikel.

Sebaran isu kohesi sosial terkait pandemi Covid-19 di portal berita daring. Alinea.id

Krisis alkes, seperti masker ataupun APD, mencuat seiring tingginya kebutuhan tenaga medis, tetapi ketersediaan di pasaran menipis dan harganya membubung. Masalah ini menjadi salah satu faktor banyaknya tim medis gugur. Berdasarkan catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) hingga Minggu (5/4) sore, jumlah dokter penangan pasien Covid-19 yang meninggal mencapai 18 orang. Karenanya, beberapa rumah sakit (RS) atau fasilitas kesehatan (faskes) bahkan sempat membuka donasi alkes untuk perawat dan dokter penangan pasien Covid-19.

Tipisnya stok masker imbas ekspor ke China, Singapura, dan Hong Kong pada Januari-Februari–saat itu belum dilarang atau dibatasi pemerintah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor produk berkode HS 63079040 ini naik 504.534%. Pangkalnya, total penjualan masker Indonesia ke mancanegara pada 2019 sebesar US$14.996 dan menjadi US$75,67 juta pada dua bulan pertama 2020.

Adanya donasi yang dilakukan masyarakat luas memuat harapan (anticipation) netizen mendominasi di Twitter. Ditandai adanya 2.294 cuitan berisi dorongan menyebar kebaikan dan mengajak warganet untuk saling berbagi, khususnya kepada masyarakat terdampak Covid-19. Pasalnya, wabah “memukul” perekonomian nasional, terutama kelas bawah.

Bahagia (joy), emosi netizen lainnya dalam merespons bakti sosial itu. Sebab, sebanyak 1.237 kicau berisikan rasa syukur dan terima kasih atas sumbangan yang diberikan untuk penanganan dan pencegahan Covid-19 serta kepada masyarakat terdampak.

Gencarnya sikap altruistik juga membangun kepercayaan (trust). Ditandainya dengan 767 twit berisi dukungan dan menyebarkan informasi-informasi mengenai penggalangan dana untuk para korban terdampak Covid-19.

Respons emosi warganet di Twitter terkait berbagai kegiatan sosial di tengah pandemik Covid-19. Alinea.id

Dari aspek demografi, netizen yang tertangkap dalam data ini mayoritas laki-laki dengan 3.618 cuitan (61,8%). Sedangkan perempuan 2.234 cuitan (38,2%). Dari segi umur, 2.219 akun (42%) berusia 18-25 tahun. Disusul usia 26-35 tahun sebanyak 1.842 akun (35%), di atas 35 tahun sebesar 986 akun (19%), dan di bawah 18 tahun ada 238 akun (4%).

Demografi netizen di Twitter yang terlibat dalam isu kegiatan sosial di tengah pandemi Covid-19. Alinea.id

Ketakpercayaan

Sementara itu, sosiolog Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Erna Ermawati Chotim, berpandangan, ketakpercayaan publik terhadap negara dalam menangani Covid-19 tergolong besar. Penyebabnya, pemerintah tidak mampu memberikan arahan yang jelas dan terukur demi keselamatan rakyat.

“Masyarakat kita memang situasinya itu jadi disorder semuanya. Tatanan kelembagaan negara dan masyarakat. Coba siapa yang didengar oleh masyarakat kita, siapa?” katanya kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Apabila kondisi tetap seperti sekarang, menurut peraih gelar doktor ilmu sosiologi Universitas Indonesia (UI) ini, dampak buruk pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional akan berkepanjangan. Akhirnya, “cost-nya (yang ditanggung negara dan masyarakat), ya, jauh lebih tinggi dan mahal.”

Tak sekadar itu. Dirinya berpendapat, masyarakat akan berupaya menyelamatkan dirinya masing-masing dengan cara yang bisa dilakukan tanpa memperhatikan sekitarnya. Fenomena ini sudah terjadi. Dicontohkannya dengan adanya penolakan terhadap tenaga medis saat hendak pulang. Juga ada warga yang menolak pemakaman jenazah pasien diduga (suspect) ataupun terinfeksi Covid-19 di lingkungannya.

“Situasi itu mencerminkan tatanan dari negara tidak stabil, sehingga negara tidak mampu men-direct sebuah kebijakan yang menggaet perilaku atau sikap di level bawahnya. Secara sosiologis, ini cermin sebuah situasi di mana negara kita, negara yang lemah,” tutur Erna.

Berita Lainnya
×
tekid