Tentara jadi petugas pelacak kontak Covid-19: Pengabdian yang diragukan
“Saya menjadi tentara untuk mengabdikan diri kepada masyarakat,” kata Hengky Nugroho saat memutuskan menjadi anggota TNI pada 2002 lalu kepada Alinea.id, Sabtu (27/2).
Pengabdian pun diwujudkan Hengky ketika menerima menjadi salah seorang petugas pelacak kontak (contact tracker) Covid-19. Perintah itu datang dari komandannya di Komando Rayon Militer (Koramil) 01 Pancoran Mas, yang menginduk ke Komando Distrik Militer (Kodim) 0508 Kota Depok, Jawa Barat, beberapa hari sebelum pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro dimulai.
Serdadu berpangkat sersan satu itu dipilih bersama enam sejawatnya di Koramil 01 Pancoran Mas. Ia pun merangkap tugas menjadi pengawas protokol kesehatan Covid-19 di pusat keramaian, seperti pasar dan stasiun kereta api.
Hengky adalah satu dari 20.000-an serdadu Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI yang ditugaskan menjadi petugas pelacak kontak Covid-19 di Pulau Jawa dan Bali. Ia mengemban tugas itu sejak 20 Februari 2021. Sebelum terjun ke lapangan, ia mengaku mendapat pelatihan selama dua hari.
Tugas moral dan pengabdian
Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (9/2), Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, Indonesia butuh 80.000 tenaga pelacak kontak. Sementara saat ini, kata Menkes, Indonesia baru punya 5.000 lebih pelacak kontak. Maka, Babinsa dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dari unsur Polri dilibatkan dalam tracing Covid-19.
Menurut Hengky, tugas dasar seorang tracker adalah memastikan siapa saja orang yang berkontak dengan pasien Covid-19, dalam 14 hari terakhir. Kemudian, mengarahkan mereka untuk menjalani tes swab polymerase chain reaction (PCR).
“Untuk isolasi mandiri dalam satu rumah kalau satu yang kena dan yang lain enggak, ya dia sendiri yang di kamar. Jangan pernah bareng (dengan anggota keluarga lain),” kata Hengky.
Sebelum turun ke lapangan, Hengky mengatakan, berkoordinasi dengan puskesmas setempat. Pihak puskesmas mengirim informasi lewat pesan singkat ke telepon genggamnya untuk melakukan pelacakan kontak. Ia menangani wilayah Kelurahan Depok Jaya.
Berdasarkan data dari Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Kota Depok, dalam situs web ccc-19.depok.go.id, hingga Senin (1/3) terdapat 435 kasus terkonfirmasi positif, dengan kasus aktif sebanyak 91. Sementara jumlah kontak erat sebanyak 368 kasus.
Ketika awal bertugas, ia berkisah, mendatangi satu rumah yang diketahui salah seorang anggota keluarganya terinfeksi Covid-19. Berbekal alat pelindung diri, ia terjun ke lapangan.
Lalu, ia mengimbau seluruh anggota keluarga melakukan tes swab. Kemudian menanyakan dengan siapa saja mereka berkontak erat. Ketika melakukan tugas ini, Hengky mengaku sempat mengalami kesulitan.
“Ada sebagian yang ngaku. Tapi yang menjadi masalah, banyak yang tidak mau jujur,” ujar tentara yang mengawali kariernya di Batalyon Armed 10/2/1 Kostrad Ciluar, Bogor, Jawa Barat itu.
“Ada yang malu kalau ketahuan dan takut dikucilkan tetangganya.”
Dengan situasi ini, ia harus pintar-pintar berkomunikasi agar warga mau terbuka. Sebab, kejujuran warga menjadi penentu keberhasilan tugasnya sebagai tracker. Tugas yang berdampingan langsung dengan rakyat ini, membuat Hengky merasa punya bebas moral.
“Mau enggak mau, kalau wilayah saya naik (kasus positifnya), saya merasa gagal,” tuturnya.
Rasa khawatir tertular Covid-19 juga menghinggapi Hengky saat bertugas. Ia pun was-was keluarganya tertular ketika dirinya pulang ke rumah.
“Setiap pulang, saya masuk lewat pintu samping rumah. Buka baju dan langsung ke kamar mandi,” ucap Hengky.
Hengky percaya, tugasnya itu bakal berdampak pada upaya penanganan pandemi Covid-19 yang sudah setahun berjalan. Optimismenya itu lahir dari niat awal menjadi anggota TNI.
“Saya itu sebagai pelayan masyarakat untuk membantu dan menghentikan permasalahan,” ujarnya.
Kemampuan diragukan
Akan tetapi, tak semua merespons positif peran Babinsa, seperti Hengky, dalam melakukan tugas pelacakan kontak kasus Covid-19. Penanggung jawab Puskesmas Baktijaya, Kota Depok, Jawa Barat Dewi Ardhiani menuturkan, saat ini pelibatan aparat belum dibutuhkan. Alasannya terkait kemampuan dan waktu kerja mereka.
“Masalahanya, kalau ada pasien yang mengalami pemburukan itu gimana? Tenaga kesehatan saja panik,” katanya saat dihubungi, Sabtu (27/2).
“Aparat itu kan orang luar yang enggak bisa stay di puskesmas. Jadi, kita koordinasi enggak bisa maksimal.”
Dewi berkilah, ketika kasus positif sedang tinggi di wilayahnya pada November hingga Desember 2020, pihaknya masih bisa mengatasi sendiri dengan tim tracker yang ada. Ia bilang, timnya sudah terbiasa menangani empat kasus aktif Covid-19. Pelacakan kontak erat untuk setiap kasus sekitar dua hingga 10 orang.
Jumlah tersebut masih terbilang rendah karena berdasarkan standar World Health Organization (WHO), setiap satu tes positif Covid-19, harus dilakukan 30 tes kontak telusur.
Timnya sendiri berjumlah sembilan orang. Mereka terdiri dari pegawai puskesmas dan tenaga kesehatan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurut Dewi, pelibatan aparat hanya untuk mengawasi warga yang ogah mematuhi protokol kesehatan. Bisa pula dimanfaatkan memperingati jika ada keluarga korban meninggal karena Covid-19 yang menolak pemulasaran dan yang menolak melakukan tes swab.
“Ada juga warga yang positif dan dia mau mengadakan hajatan, lalu saya bawa mereka (aparat) karena punya power dan akhirnya batal,” kata dia.
Pelibatan Babinsa dalam upaya tracing di Kota Depok pun, menurut dia, belum terlihat mencolok. Meski di saat bersamaan, ia mengakui, masih kekurangan tenaga tracker.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mengatakan, tugas seorang pelacak kontak sebaiknya dilakukan oleh seorang profesional di bidang kesehatan.
Sebab, kata dia, beban tugas tracing bukan sekadar melacak kontak erat, tetapi juga melakukan pemantauan kesehatan kepada warga yang berkontak erat hingga masa karantina berakhir. Dalam kasus ini, ia menilai, aparat belum siap.
“Men-tracing itu kan harus memiliki pendidikan dasar bidang kesehatan. Dari mana mereka tahu timbul pemburukan? Dari mana mereka tahu timbul gejala? Kalau mereka tidak memiliki dasar ilmunya,” kata Masdalina saat dihubungi, Sabtu (27/2).
Ia tak bisa menjamin, indikator keberhasilan penelusuran kontak dapat tercapai, jika aparat tetap dipaksakan turun gunung lakukan tugas ini, tanpa bekal pengetahuan yang cukup.
Merujuk buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Juli 2020, ada dua indikator keberhasilan kerja pelacak kontak.
Pertama, lebih dari 80% kasus baru, bisa diidentifikasi kontak eratnya dan mulai dilakukan karantina dalam waktu kurang dari 72 jam setelah kasus baru dikonfirmasi. Kedua, lebih 80% kontak dari kasus baru dipantau selama 14 hari, sejak kontak terakhir.
Selain itu, Masdalina menilai, tugas pelacak kontak yang dapat menjamin indikator keberhasilan tracing, belum bisa diemban aparat lantaran mereka tak bisa bekerja penuh waktu. Menurutnya, fokus Babinsa sudah tersedot sebagai penegak disiplin protokol kesehatan.
“Karena pekerjaannya berat, 7 hari 24 jam. Begitu ada kasus baru, mereka harus langsung turun tracing, berikut pemantauannya,” kata dia.