sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Teroris Oman: Pelaku bom Surabaya sakit jiwa

Terdakwa kasus terorisme Oman alias Aman Abdurrahman menilai, bom Surabaya adalah perbuatan orang sakit jiwa, yang tak paham Islam.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Jumat, 25 Mei 2018 22:43 WIB
Teroris Oman: Pelaku bom Surabaya sakit jiwa

Terdakwa kasus terorisme, Oman Rochman alias Abu Sulaiman bin Ade Sudarma alias Aman Abdurahman berpendapat, para pelaku bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, adalah orang-orang sakit jiwa yang tidak memahami ajaran Islam.

"Dua kejadian di Surabaya itu saya katakan, orang-orang yang melakukan atau menamakannya jihad adalah orang-orang yang sakit jiwanya dan frustasi dengan kehidupan. Islam berlepas dari tindakan semacam itu," kata terdakwa Oman, dalam sidang pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5), dilansir Antara.

Pihaknya pun mengutuk adanya aksi teror tersebut terlebih dengan adanya keterlibatan anak di bawah umur dalam aksi teror tersebut.

"Kejadian ibu yang menuntun anaknya terus meledakkan diri di parkiran gereja adalah tindakan yang tidak mungkin muncul, dari orang yang memahami ajaran Islam dan tuntutan jihad. Bahkan tidak mungkin muncul dari orang yang sehat akalnya. Begitu juga dengan seorang ayah yang membonceng anak kecilnya dan meledakkan diri di depan kantor polisi, si anak terpental dan Alhamdulillah masih hidup. Itu tindakan keji dengan dalih jihad," katanya.

Meskipun ia mengakui menggolongkan aparat dan pemerintah sebagai kafir, tetapi Oman mengklaim tidak pernah menyerukan ajakan kepada para pengikutnya, untuk menyerang aparat keamanan dan orang-orang Nasrani.

Hal itu, menurut dia, karena Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan kaumnya untuk mengganggu umat agama lain, baik dari jiwa maupun hartanya, selama umat tersebut tidak mengganggu atau memerangi kaum muslim.

"Jadi, hanya orang yang bodohlah yang berbuat semacam itu, yang tidak paham ajaran Islam dengan benar. Saya sampaikan ini agar dipahami oleh semua orang, dan supaya Islam khilafah tidak dikaitkan dengan hal-hal serupa, yang bisa saja terjadi kemudian hari, tapi semoga tidak terjadi," tuturnya.

Dalam sidang pledoi terdakwa Oman alias Aman Abdurrahman di PN Jaksel, Jumat, tim penasihat hukum membantah keterlibatan Oman dalam sejumlah aksi bom bunuh diri yang terjadi di Tanah Air.

Tim penasihat hukum mengatakan, terdakwa Oman hanya memberikan anjuran kepada para pengikutnya untuk hijrah ke Suriah dan berjihad di Suriah, bukan di Indonesia.

Sementara buku Seri Materi Tauhid yang ditulis Oman hanya menjelaskan mengenai tauhid dan makna thagut, bukan pengajaran tentang jihad.

Dalam sidang pledoi, tim penasihat hukum meminta tiga hal kepada majelis hakim, yakni agar membebaskan terdakwa dari semua dakwaan dan tuntutan, membebankan semua biaya materil kepada negara, dan memberikan hukuman seringan-ringannya kepada terdakwa.

Oman ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus bom Thamrin, kasus bom Gereja Oikumene di Samarinda, kasus bom kampung melayu, serta kasus penyerangan di Bima, NTB, dan Medan. Ia dituduh berperan sebagai dalang di balik teror tersebut.

Gangguan kepribadian antisosial

Di sisi lain, Direktur Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma, Nusa Tenggara Barat, dr. Elly Rosila mengungkapkan, pelaku terorisme memiliki gangguan kepribadian antisosial.

"Saya tidak bisa berpendapat benar atau tidak. Namun kalau saya diminta pendapat seperti itu, biasanya orang seperti ini adalah tipe orang yang memiliki gangguan kepribadian antisosial," kata dr Elly Rosila SpKJ di Mataram, Jumat, menyikapi maraknya pelaku teror bom bunuh diri yang terjadi di sejumlah tempat di Indonesia.

Dokter spesialis psikiater di NTB itu, menyebutkan ciri orang memiliki gangguan kepribadian antisosial, yakni biasanya orang yang melawan aturan.

"Kalau ada aturan sedikit langsung di anggar. Kalau mereka taat mungkin tidak melakukan seperti itu (bom bunuh diri. Red)," ucapnya.

Menurutnya, ada sejumlah penyebab pelaku teror melakukan bom bunuh diri, bisa karena orang tersebut mengalami gangguan jiwa, depresi, dan memang mudah terpengaruh, sehingga gampang disusupi oleh pemahaman yang keliru.

"Kalau bagi mereka bunuh diri itu tidak bunuh diri, melainkan sebuah keyakinan," ucapnya.

Untuk mengatasi dan mencegah gangguan kejiwaan seperti itu, paling utama basis pendekatannya, adalah melalui keluarga dan lingkungan sekitar. Pasalnya, keluarga paling dekat bisa mengetahui gerak-gerik dan masalah yang terjadi pada anggota keluarganya.

"Jadi keluarga dan lingkungan, termasuk adalah pendidikan yang paling kuat mengatasi hal seperti itu," tandas Elly Rosila.

Sponsored
Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid