sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perlindungan buruh migran masih jadi titik lemah diplomasi 

Komitmen pemerintah RI dalam melindungi buruh migran dianggap masih lemah.

Rakhmad Hidayatulloh Permana
Rakhmad Hidayatulloh Permana Sabtu, 30 Mar 2019 14:04 WIB
Perlindungan buruh migran masih jadi titik lemah diplomasi 

Upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam membebaskan Siti Aisyah dari jerat hukuman mati di Malaysia patut diapresiasi. Namun demikian, menurut pengamat hubungan internasional (HI) Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, perlindungan terhadap buruh migran masih menjadi titik lemah diplomasi RI. 

Ia mencontohkan kasus eksekusi mati Tuti Tursilawati di Arab Saudi pada Oktober 2018 lalu. Tuti dihukum mati karena diduga membunuh majikannya. Eksekusi dilakukan tanpa notifikasi ketika kasusnya masih diperjuangkan di meja hijau.

"Permasalahannya adalah ketiadaan aturan, khususnya kesepakatan mandatory consuler notification, dengan pemerintah Arab Saudi. Artinya, ini lubang yang harus segera ditutup sebagai bentuk perlindungan terhadap TKI kita di luar negeri," kata Agung kepada Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu.  

Tuti adalah buruh migran Indonesia (BMI) kelima yang dieksekusi sejak 2011. Menurut catatan Migrant Care, masih ada 19 buruh migran Indonesia lainnya yang menanti hukuman mati di Arab Saudi. Ratusan BMI lainnya mendekam di penjara Arab Saudi karena beragam kasus. 

Menurut Agung, kasus eksekusi mati BMI selalu berulang dari tahun ke tahun. Artinya, upaya pemerintah dalam memperkuat perlindungan buruh migran belum maksimal. "Termasuk di era Jokowi," imbuh dia. 

Namun demikian, secara umum Agung mengakui ada banyak capaian di bidang diplomasi pada era Jokowi, semisal keberhasilan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, partisipasi aktif sebagai pasukan penjaga perdamaian dan usaha-usaha dalam menciptakan perdamaian dunia. 

"Dalam isu Rohingya dan Afghanistan, dan perkembangan positif terhadap perkembangan isu Palestina, serta aspek ekonomi dimana ada usaha-usaha pemerintah dalam memasuki pasar non-tradisional," kata dia. 

Ia berharap dalam debat keempat Pilpres 2019 yang mempertemukan Jokowi dan Prabowo, penguatan diplomasi bakal menjadi salah satu agenda yang dibahas. Apalagi, hubungan internasional masuk menjadi salah satu tema debat. 

Sponsored

"Paling tidak, tiap kandidat capres harus paham tentang beberapa alat diplomasi (tools of diplomacy) agar bisa punya peran di tengah pergaulan internasional. Tools of diplomacy ini beragam baik yang diidentikkan dengan aspek hard (militer, ekonomi, politik) maupun soft diplomacy dalam kerangka hubungan bilateral maupun multilateral," ujarnya. 

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai perlindungan buruh migran yang dilakukan pemerintah RI masih setengah hati. Menurut dia, masih banyak diplomat Indonesia di luar negeri yang memandang perlindungan terhadap buruh migran sebagai beban. "Bukan amanat atau tanggung jawab diplomat," ujarnya. 

Ia berharap, Prabowo dan Jokowi serius menawarkan solusi konkret perlindungan buruh migran dalam debat keempat nanti. Pasalnya, saat ini masih banyak buruh migran yang terancam hukuman mati. "Kami ingin mendorong supaya ada solusi konkret dan terukur yang ditawarkan, baik dari capres 01 maupun 02," ujarnya. 

Posisi tawar lemah 

Peneliti American Study Center Suzie Sudarman mengatakan upaya-upaya diplomasi Indonesia dengan Arab Saudi kerap mentah 'posisi tawar' Arab Saudi lebih tinggi. Indonesia, kata Suzie, tidak bisa seratus persen keras kepada Arab Saudi karena punya kepentingan mengamankan kuota ibadah haji. 

"Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim Indonesia tersandera oleh kenyataan bahwa tanah suci ada di Saudi Arabia. Dan sebagai negara yang masih berdiplomasi demi Palestina di tataran internasional ada kendala spesifik jika itu menyangkut diplomasi antar negara berpenduduk mayoritas Muslim," kata dia. 

Menurut Suzie, posisi tawar Indonesia bisa ditingkatkan jika pemerintah mau serius membenahi postur alat utama sistem pertahanan (alutsista) atau yang sekarang lazim disebut alat peralatan pertahanan keamanan (alpahankam). Pasalnya, negara-negara Arab cenderung lebih menghormati terhadap negara-negara yang kuat dari sisi militer.  

"Selama Indonesia belum jadi negara yang otonom secara ketahanan dan pertahanan nasional sulit berhadapan dengan negara-negara berbangsa Arab yang secara nyata respek terhadap kekuasaan. Kita terkendala soal pembelian alutsista lebih sering dapat barang bekas karena RI ditakuti tetangga-tetangganya," ujar dia.

Namun demikian, menurut Suzie, selain terkait perlindungan buruh migran, pemerintah RI sudah cukup maksimal dalam menjaga kepentingan-kepentingan nasional tanpa disetir oleh kepentingan asing. Hal itu setidaknya terlihat dari sejumlah upaya riil dan diplomatis dalam membantu negara-negara yang sedang berkonflik. 

"Seperti Palestina dan Venezuela dengan bersikap tidak membela kepentingan negara besar. Kemudian, mencatatkan Laut Natuna Utara ke PBB, membantu tetangga ASEAN serumpun apabila dibutuhkan, seperti Malaysia dan melobi Vatican soal Uni Eropa yang menolak hasil sawit Indonesia," tuturnya. 

 

Berita Lainnya
×
tekid