sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Waspadai "cawe-cawe" penjabat di Pilkada Serentak 2024

Ada sejumlah penjabat yang berniat maju di Pilkada Serentak 2024.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 02 Mei 2024 19:24 WIB
Waspadai

Sepak terjang penjabat gubenur, bupati, dan wali kota perlu diawasi ketat jelang Pilkada Serentak 2024. Berbasis pengalaman Pilkada 2020 dan Pilpres 2024, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kahfi Adlan Hafiz menyebut kasus-kasus ketidaknetralan para penjabat kepala daerah potensial kembali marak pada gelaran pilkada serentak. 

Potensi itu besar lantaran ada sejumlah kandidat "titipan" Istana Negara yang bakal bertarung di pilkada. Di Pilgub Sumatera Utara (Sumut), misalnya, menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bobby Nasution digadang-gadang bakal maju. Bobby sebelumnya menjabat sebagai Wali Kota Medan. 

Di DKI Jakarta, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah menyiapkan nama Kaesang Pangarep dan Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie untuk maju di pilgub. Kaesang ialah putra bungsu Jokowi yang saat ini menjabat sebagai Ketum PSI. 

Kahfi berbendapat ada beragam cara yang bisa dilakukan penjabat untuk memihak, semisal dengan menyalahgunakan bantuan sosial untuk masyarakat setempat dan memobilisasi aparatur sipil negara (ASN) di pemda untuk mendukung salah satu kandidat. 

"Walaupun dalil (ketidaknetralan penjabat kepala daerah) ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi pada 2020 dan 2024 kita juga melihat bagaimana bansos itu disalahgunakan secara masif," ucap Kahfi kepada Alinea.id, Kamis (3/5).

Gelaran Pilkada Serentak 2024 akan berlangsung di 37 provinsi dan 508 kabupaten pada kota pada November mendatang. Ketika itu, Presiden Jokowi sudah tak lagi menjabat. Namun, penjabat kepala daerah masih bertugas hingga kepala daerah baru terpilih dalam pilkada. 

Kahfi mengingatkan penjabat kepala daerah juga harus mundur dari jabatannya jika berencana maju di Pilkada Serentak 2024. Sebagai pemegang kendali anggaran, para penjabat potensial menyalahgunakan kewenangannya sebelum mencalonkan diri di pilkada. 

"Apalagi, Pj gubernur level provinsi itu dia kan memang dipilih langsung, tanpa ada mekanisme yang transparan dan akuntabel oleh Kementerian Dalam Negeri. Jadi, sangat mungkin ada kandidat yang terkoneksi dengan politik nasional atau penjabat kepala daerah ini sudah membangun koneksi dengan kandidat-kandidat lokal," ucap Kahfi.  

Sponsored

Saat ini, sejumlah penjabat diisukan bakal mencoba peruntungan di pilkada serentak. Di Sumatera Selatan, pelaksana jabatan (Pj) Wali Kota Palembang Ratu Dewa, Pj Bupati Musi Banyuasin (Muba) Apriyadi dan Pj Bupati Ogan Komering Ulu (OKU) Teddy Meilwansyah dikabarkan akan maju. Di DIY Yogyakarta, penjabat Wali Kota Yogyakarta Singgih Raharjo sudah mendaftarkan namanya Golkar sebagai calon wali kota. 

Sesuai bunyi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, menurut Kahfi, penjabat yang berencana maju di pilkada harus mundur dari jabatannya. "Nah, semestinya sebelum pengunduran diri itu harus diatur berapa bulan semisal dari pilkada," imbuh Kahfi. 

Untuk mencegah kembali maraknya kasus penyalahgunaan wewenang oleh penjabat selama pemilu, Kahfi berpendapat Kemendagri perlu membuat aturan terperinci untuk melarang mobilisasi ASN, penyalahgunaan sumber daya negara, atau mobilisasi kepala desa oleh penjabat. Bansos juga mesti dilarang disalurkan jelang pilkada. 

"Kemendagri harus mulai me-review bagaimana kejadian- kejadian yang di Pemilu 2024 kemarin. Ini bisa jadi bahan evaluasi untuk jadi catatan dan akhirnya bisa mengeluarkan Permendagri yang baru, semisal untuk mengatur bansos. Kalau bentuknya itu BLT, itu juga harus diatur kapan dia bisa didistribusikan. Jangan sampai citra dari bansos itu melekat ke kandidat," ucap Kahfi. 

Dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama berpandangan kasus-kasus ketidaknetralan penjabat kepala daerah di pentas pilkada bisa diminimalisasi mengganti penjabat kepala daerah dari kalangan birokrat setempat dan bukan "orang dekat" pemerintah pusat.

"Pegawai aktif sudah tentu mengetahui kondisi wilayah sehingga dengan cepat melaksanakan apa yang sudah menjadi program-program yang sudah ditetapkan sebelumnya. Apabila dipilih dari orang pusat dan yang melantik adalah Mendagri atau Presiden, maka potensi KKN sangat besar," ucap Suwardi kepada Alinea.id. 

Birokrat lokal tentu saja masih mungkin tidak netral sepanjang perhelatan pilkada serentak. Namun, pengawasan terhadap penjabat dari kalangan birokrat lokal bakal lebih mudah dilakukan oleh DPRD tingkat provinsi atau kabupaten kota.

"PJ yang dipilih jangan berusia dekat pensiun karena potensi menjalankan program (berdasar) kepentingan individu atau titipan juga terbuka untuk kepentingannya maju setelah habis masa jabatan PJ dan masuk masa pensiunnya," ucap Suwardi. 

 

Berita Lainnya
×
tekid