Rangkaian kunjungan kerja Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ke sejumlah wilayah terdampak banjir dan longsor di Sumatera menjadi bagian dari upaya percepatan rehabilitasi dan pemulihan pascabencana. Kunjungan tersebut dilakukan untuk memastikan penanganan bencana berjalan terkoordinasi serta sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Sejumlah langkah penanganan terus dilakukan secara bertahap, mulai dari pembersihan lumpur, distribusi bantuan logistik, hingga pembangunan hunian sementara dan hunian tetap. Seluruh proses dilaksanakan melalui sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta dukungan lembaga filantropi.
Kunjungan kerja Mendagri Tito Karnavian dilakukan ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Kota Sibolga, dan Kabupaten Tapanuli Utara, serta berlanjut ke Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur sejak Sabtu (20/12) hingga Senin (22/12). Kunjungan tersebut difokuskan pada pemetaan persoalan yang dihadapi pemerintah daerah dalam percepatan pemulihan pascabencana.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian juga meninjau langsung sejumlah lokasi terdampak banjir bandang dan longsor di Aceh sejak 29 November 2025, antara lain di Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tamiang, dan Aceh Utara. Dalam kunjungan tersebut, Mendagri memberikan perhatian terhadap kerusakan infrastruktur publik serta percepatan perbaikan jaringan listrik dan layanan dasar. Upaya pembersihan lumpur pascabanjir turut ditekankan guna mempercepat pengurangan jumlah warga yang masih berada di lokasi pengungsian.
Analis politik dari Universitas Nasional, Irfan Fauzi, menilai pembangunan hunian sementara dan hunian tetap, serta koordinasi lintas kementerian dan lembaga, menunjukkan adanya kerja nyata pemerintah dalam proses pemulihan.
Ia juga melihat Mendagri Tito Karnavian menjalankan peran koordinatif yang signifikan dalam menjembatani pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penanganan bencana di Sumatera. Peran tersebut dinilai efektif dalam mendorong sinkronisasi kebijakan dengan kementerian teknis, termasuk dalam penggalangan dukungan anggaran lintas daerah bagi wilayah terdampak, khususnya di Aceh.
Selain itu, Irfan mengapresiasi pendekatan Mendagri yang mendalami persoalan pemerintah daerah melalui komunikasi dua arah atau “belanja masalah”, karena dinilai memperkuat proses koordinasi dan pembinaan antara pusat dan daerah.
Penguatan sistem dan komunikasi kebencanaan
Meski demikian, Irfan mengingatkan penanganan bencana perlu terus diarahkan pada penguatan sistem dan tata kelola yang bersifat struktural serta berkelanjutan.
“Secara struktural, peran Menteri Dalam Negeri dalam koordinasi penanganan bencana sejalan dengan kewenangan administratif terhadap pemerintah daerah. Namun, ke depan perlu diperkuat agar kepemimpinan komunikasi kebencanaan tampil sebagai sistem kelembagaan yang solid,” ujarnya, saat dihubungi Rabu (24/12/2025).
Irfan menambahkan, apabila upaya pembenahan manajemen penanganan bencana di Sumatera dapat dilakukan secara sistemik, maka pola komunikasi kebencanaan di tingkat pemerintah pusat juga berpotensi semakin membaik.
“Dalam situasi krisis, masyarakat membutuhkan kejelasan mengenai kepemimpinan, rencana penanganan, serta tahapan pemulihan. Narasi yang terkelola dengan baik akan membantu pemerintah tampil lebih terukur dan sistemik,” katanya.
Ia juga menilai pendekatan koordinatif yang dilakukan pemerintah perlu terus diperluas agar mampu menjangkau kebutuhan masyarakat terdampak secara lebih langsung.
“Korban bencana tidak hanya pemerintah daerah, tetapi juga warga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, serta mengalami keterbatasan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan administrasi kependudukan,” ujarnya.
Selain memperkuat koordinasi pusat–daerah, Mendagri Tito Karnavian juga mendorong dukungan antarpemerintah daerah yang masih memiliki kapasitas fiskal untuk membantu wilayah terdampak bencana. Menurut Irfan, langkah ini perlu diiringi dengan penguatan sistem pendanaan kebencanaan yang lebih pasti dan berkeadilan agar dapat berkelanjutan.
Seiring dengan membaiknya penanganan banjir bandang dan longsor di Sumatera, Irfan menilai penting bagi pemerintah untuk terus memperbaiki pola komunikasi kebencanaan di tingkat pusat, sehingga respons publik terhadap kebijakan penanganan bencana dapat terkelola dengan baik.
“Dalam komunikasi krisis, kritik merupakan bagian dari mekanisme koreksi. Pengelolaan komunikasi yang terbuka dan proporsional akan membantu menjaga kepercayaan publik,” katanya.
Ia berharap percepatan penanganan bencana di Sumatera tidak hanya dilakukan dari sisi teknis, tetapi juga diiringi dengan penguatan komunikasi publik yang mencakup transparansi data, empati dalam penyampaian pesan, keterbukaan terhadap masukan, serta keadilan dalam persepsi publik.
“Penanganan bencana merupakan bagian dari komitmen kemanusiaan negara. Kepemimpinan yang kuat tercermin dari kemampuan mengorkestrasi solidaritas dan menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas utama,” ujar Irfan.