Dosen ilmu hukum pemerintah daerah dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo menyoroti arahan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang memerintahkan inspektorat daerah lebih berani mengawasi keuangan daerah dan mengawal program kerakyatan sejak tahap perencanaan, sebagai terobosan yang visioner untuk mencegah kebocoran anggaran di daerah.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian menyampaikan hal tersebut seusai Rapat Koordinasi (Rakor) Pembinaan dan Pengawasan Tahun 2025 di Jakarta, Kamis (9/10). Rapat yang diikuti 552 inspektur tingkat provinsi, kabupaten, kota, serta para wakil gubernur tersebut berlangsung tertutup.
Hestu menilai gagasan Tito yang ingin inspektorat daerah lebih berperan aktif dalam mencegah kebocoran anggaran merupakan bentuk penguatan sistem pengawasan internal yang secara prinsip sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 373 sampai Pasal 382.
"Regulasi itu menegaskan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jadi, langkah Mendagri sepenuhnya sah dan memiliki dasar hukum yang kuat," kata Hestu saat dihubungi, Kamis (16/20).
Namun ada tantangan di balik gagasan itu, sebab secara struktural inspektorat daerah berada di bawah kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Relasi subordinatif ini menyebabkan inspektorat daerah seringkali kesulitan menjalankan fungsi pengawasan yang objektif dan independen, terutama bila temuan mereka bersinggungan dengan kepentingan politik kepala daerah. Oleh karena jangan heran jika masih ditemukan sejumlah pemda yang alokasi anggarannya sangat janggal.
Sebagaimana kasus anggaran Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang dikritik publik karena pos belanja yang janggal seperti belanja makan minum rapat sebesar Rp60 miliar, suvenir Rp20 miliar, alat tulis kantor Rp38 miliar, dan perjalanan dinas Rp117 miliar, sementara anggaran infrastruktur jalan dan bantuan sosial warga miskin dinilai jauh lebih kecil.
"Di sinilah letak dilema yang paling fundamental—secara hukum inspektorat diharapkan independen, tetapi secara birokratis mereka masih berada di bawah kendali politik lokal lewat Kepala daerah yang jelas merupakan eksponen politik," kata Hestu.
Hestu berpandangan ketika Tito menyatakan memberikan dukungan atau backing agar inspektorat berani mengawasi keuangan daerah, hal itu dapat dimaknai sebagai upaya memperkuat independensi fungsional inspektorat daerah, namun tidak mengubah kedudukan strukturalnya.
"Dengan kata lain, pemerintah pusat ingin menegaskan fungsi pengawasan daerah adalah perpanjangan dari tanggung jawab nasional dalam menjaga integritas keuangan negara sebagaimana amanat Pasal 23 UUD 1945," kata Hestu.
Tito tampaknya menyadari kebocoran anggaran pemda selama ini karena pengawasan internal dari inspektorat daerah tidak berjalan semestinya. Sehingga, instruksi Tito yang ingin inspektorat berani mengawasi anggaran sedari perencanaan patut dimaknai sebagai sinyal politik yang kuat, untuk memperkuat posisi inspektorat daerah dalam konteks tata kelola keuangan publik.
"Arahan Mendagri agar inspektorat juga mengawal program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau pembangunan 3 Juta Rumah sejak awal pelaksanaan merupakan penerapan konkret prinsip pengawasan before the fact," kata Hestu.
Akan tetapi, Hestu menjelaskan langkah itu perlu disertai reformasi kelembagaan dan perlindungan hukum bagi inspektorat. Sebab, tanpa jaminan hukum dan perlindungan profesional, mereka bisa berada dalam tekanan politik lokal.
Oleh karena itu, Hestu menawarkan opsi rasional secara hukum dengan membangun hubungan fungsional vertikal antara inspektorat daerah dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Inspektorat Jenderal Kemendagri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 ayat (3) UU 23/2014, sehingga memiliki legitimasi vertikal sekaligus pertanggungjawaban horizontal kepada kepala daerah.
"Niat Mendagri untuk memperkuat peran Inspektorat adalah langkah yang visioner dan konstitusional. Tetapi efektivitasnya akan sangat tergantung pada keberanian pemerintah pusat untuk memperkuat independensi, profesionalitas, dan perlindungan hukum bagi auditor internal daerah agar mereka berani menegakkan prinsip akuntabilitas tanpa takut intervensi politik," kata Hestu.