close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Alinea.id/Akbar.
icon caption
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Alinea.id/Akbar.
Politik
Sabtu, 25 Oktober 2025 20:47

Mendagri dan Menkeu minta daerah tak simpan dana di tabungan

Menurut Mendagri Tito Karnavian, perbedaan data disebabkan oleh perbedaan waktu pencatatan.
swipe

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengklarifikasi polemik perbedaan data dana simpanan pemerintah daerah (pemda) di perbankan, yang sebelumnya disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. 

Merujuk Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SPID) yang terhubung langsung ke seluruh pemda, Tito menjelaskan, dana yang mengendap tercatat sebesar Rp 215 triliun. Sementara data Bank Indonesia (BI) yang dikutip Menkeu Purbaya adalah Rp233 triliun per Agustus 2025. Dus, terdapat selisih Rp18 triliun.

Menurut Tito, perbedaan data disebabkan oleh perbedaan waktu pencatatan. Data yang digunakan Menkeu Purbaya bersumber dari BI per 31 Agustus 2025, sedangkan data Kemendagri sudah diperbarui hingga Oktober 2025.

“Ada perbedaan waktu, satu di bulan Agustus. Data di kita bulan Oktober. Nah, antara Agustus sampai Oktober itu ada enam minggu, uang kita itu tidak statis,” kata Tito saat kunjungan kerja di Manado, Kamis (23/10).

"Ke mana Rp18 triliun itu? Ya, dibelanjakan,” lanjutnya, sekaligus menampik kekhawatiran publik soal anggaran yang tidak terserap.

Dosen Ilmu Hukum Pemerintah Daerah dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo, menilai selisih Rp18 triliun tersebut hanya persoalan teknis yang berakar pada perbedaan metodologi waktu pelaporan, serta cakupan klasifikasi rekening, dan bukan semata perbedaan subtansi fiskal ataupun indikasi penyimpanan dana.

Hestu menjelaskan data dana simpanan pemda yang dirujuk Menkeu Purbaya bersumber dari BI yang berdasarkan laporan perbankan menunjukkan posisi simpanan pemda pada waktu tertentu, dan biasanya akhir bulan. Sementara, data simpanan pemda yang dirujuk Mendagri Tito Karnavian bersumber dari SIPD merupakan data administratif internal pemda yang dihimpun berdasarkan input dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) masing-masing, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah. 

"SIPD ini dirancang untuk mencatat kondisi kas daerah yang operasional, sehingga datanya dapat berubah setiap hari seiring pelaksanaan anggaran di lapangan," kata Hestu saat dihubungi Jumat (24/10). 

Hestu menilai iktikad Mendagri Tito Karnavian yang berulang kali menjelaskan mengenai kemungkinan terjadi perbedaan data dari segi waktu dalam mencermati dana simpanan pemda yang mengendap di perbankan, merupakan bentuk upaya rekonsilasi data BI dan pemda, agar pemda tidak menjadi bulan-bulanan kesalahan dari persoalan data dari pusat.  

Hestu mencermati, perbedaan angka sekitar Rp18triliun yang saat ini menjadi sorotan dapat dijelaskan melalui tiga faktor utama. Pertama, perbedaan waktu pelaporan (cut-off date), di mana BI mencatat posisi akhir bulan semisal 31 Agustus. Sementara SIPD dapat menunjukkan posisi kas yang lebih mutakhir semisal per pertengahan Oktober. 

Kedua, terjadi perbedaan definisi akun, di mana data perbankan bisa saja mencakup rekening yang masih atas nama pemda. Namun sebenarnya merupakan rekening titipan, rekening badan layanan umum daerah (BLUD), atau rekening pihak ketiga yang tidak dikategorikan sebagai kas daerah operasional dalam sistem SIPD.

Ketiga, potensi kesalahan input atau keterlambatan pelaporan dari daerah, yang masih terjadi di sejumlah daerah karena keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dan integrasi sistem.

Ketiga hal ini sepenuhnya dapat diverifikasi melalui proses rekonsiliasi administratif tanpa harus diasumsikan sebagai pelanggaran atau penyimpangan.

Hestu menilai, Menkeu dan Mendagri pada dasarnya ingin dana simpanan pemda tidak terlampau banyak mengendap di perbankan dan bisa dibelanjakan. Namun, berkaca dari masalah selisih Rp18 triliun dana simpanan pemda, perlu langkah regulasi yang merekonsiliasi data BI dan SIPD serta bukti rekening yang dipegang oleh masing- masing BKAD.

Rekonsiliasi semacam ini memiliki dasar hukum yang kuat dan sejalan dengan prinsip transparansi serta akuntabilitas keuangan negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hasil rekonsiliasi harus diumumkan bersama oleh ketiga institusi yaitu BI, Kemenkeu, dan Kemendagri, agar publik memperoleh data yang telah tervalidasi dan terhindar dari kesalahpahaman.

Menurut Hestu, lembaga sekaliber BI dan Kemenkeu serta Kemendagri harus menyudahi kegaduhan selisih Rp18 triliun, dengan rekonsiliasi data yang bisa disepakati bersama hasilnya setiap saat. Sebab, perselisihan data simpanan pemda ini hanya akan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas data pemerintah pusat dan pengelolaan keuangan daerah. Sementara, persoalan terletak pada metode verifikasi dan metode publikasi antar instansi.   

"Perlu ditekankan pula bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah, tidak boleh ada prasangka atau tuduhan prematur terhadap kepala daerah hanya karena muncul selisih angka dalam publikasi antarinstansi. Prinsip kehati-hatian administrasi keuangan publik sebagaimana ditekankan dalam PP 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengharuskan setiap perbedaan data dijelaskan terlebih dahulu secara metodologis dan dibuktikan secara dokumenter sebelum diambil kesimpulan hukum atau politik," kata Hestu. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
sat
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan