Mengapa Prabowo jadi musuh bersama Anies-Ganjar pada debat capres?
Calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan, terlihat intensif menyerang pesaingnya yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam debat kandidat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Selasa (12/12). "Peluru" pertama dilontarkan saat pemaparan visi misi.
Kesempatan itu, secara tersirat, digunakannya untuk menyinggung majunya Gibran (36) selaku milenial. Apalagi, kesempatan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini terbuka melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang sarat kontroversi bahkan berujung pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua MK lantaran melanggar etik berat.
"Hari ini ada satu orang milenial bisa menjadi calon wakil presiden, tetapi ada ribuan milenial-generasi Z, yang peduli pada anak-anak bangsa, yang peduli pada mereka yang termarjinalkan. Ketika mereka mengungkapkan pendapat, ketika mereka mengkritik pemerintah, justru mereka sering dihadapi dengan kekerasan, dihadapi dengan denturan dan bahkan gas air mata. Apakah kondisi ini akan dibiarkan? Tidak! Kita harus lakukan perubahan," tutur Anies.
Masih dalam sesi yang sama, serangan kembali dilancarkan Anies. Ia kali ini menyinggung tentang relawan Prabowo pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang tewas dalam tragedi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Harun Al Rasyid (15), yang belum mendapatkan keadilan hingga kini.
Pada Pemilu 2024, orang tua Harun menjadi simpatisan Anies. Ia bahkan hadir dan duduk di baris depan para pendukung kala debat kandidat.
"Hadir bersama saya di sini ayahnya Harun Al Rasyid, pendukung Pak Prabowo di Pilpres 2019, yang menuntut keadilan pada saat itu, protes hasil pemilu. Apa yang terjadi? Dia tewas sampai dengan hari ini tidak ada kejelasan. Apakah ini akan dibiarkan? Tidak! Ini harus diubah," tegasnya.
Serangan kembali dihempaskan Anies dalam segmen berikutnya, tanya-jawab antarkandidat. Ia menanyakan tanggapan Prabowo soal putusan MK yang melegalkan Gibran menjadi cawapresnya bermasalah secara etika.
"Apa perasaan Bapak ketika mendengar bahwa ada pelanggaran etika di situ?" tanya eks Gubernur Jakaarta ini. Adanya pelanggaran etika ini dinyatakan Majelis Kehormatan MK (MKMK) melalui Putusan Nomor 02/MKMK/L/11/2023.
Pun demikian dengan kesempatan mengomentari jawaban Prabowo atas pertanyaan tentang Putusan MK 90 bermasalah. Momentum tersebut dimaksimalkan Anies untuk "merontokkan" Ketua Umum Partai Gerindra itu dengan menyinggung fenomena orang dalam (ordal). Diketahui, Anwar Usman merupakan paman Gibran lantaran menikahi adik kandung Jokowi, Idayati, pada Mei 2022.
"Fenomena ordal ini menyebalkan! Di seluruh Indonesia, kita menghadapi fenomena ordal. Mau ikut kesebelasan, ada ordalnya. Mau masuk jadi guru, ordal. Mau daftar sekolah, ada ordal. Mau dapat tiket untuk konser, ada ordal. Ada ordal di mana-mana, yang membuat meritokratik tidak berjalan, yang membuat etika luntur," bebernya.
"Ketika fenomena ordal itu bukan hanya di masyarakat, tapi di proses yang paling puncak terjadi ordal, maka ... negeri ini rusak!" sambungnya tegas.
Kesempatan menjawab pertanyaan Prabowo juga dimaksimalkan Anies untuk melancarkan serangan. Ini tecermin dari responsnya kala Prabowo mendeskreditkan jawaban Anies tentang polusi udara.
"Inilah bedanya yang berbicara pakai data, yang berbicara pakai fiksi. [Kebijakan penanganan polusi di Jakarta pada pemerintahan saya] ini pakai data," tegasnya.
"Kalau perlu saya kirimkan gambar satelitnya kepada Bapak supaya Bapak bisa menyaksikan," sambungnya. "Inilah mengapa kita mengambil langkah itu pakai ilmu, pengetahuan, pakai data, dan menggunakan saintis untuk terlibat."
Ketika diberikan kesempatan untuk menyampaikan pesan penutupnya, Anies memanfaatkannya untuk menyerang Prabowo-Gibran. Serangan secara implisit menyinggung tentang Putusan MK 90.
"Saya ingin sampaikan bahwa etika dijunjung tinggi. Ketika terjadi pelanggaran etika, jangan bersembunyi di balik keputusan hukum. Justru kita harus mengatakan, bahwa tugas dari pimpinan tertinggi memberi contoh. Bila ada pelanggaran etika, maka itu adalah mendasar. Bila tidak, maka ke bawah, ke seluruh rakyat, semua akan kompromi," jelasnya.
"Praktik orang dalam, yang tadi saya sampaikan, akan merusak sendi-sendi kehidupan bernegara kita. Karena itulah, penting sekali kita menjunjung tinggi etika dan itu dilakukan oleh siapa? Dari mulai calon presiden sudah diuji kompromi atau tidak pada etika," sambung Anies.
Ganjar juga demikian. Sekalipun tidak seagresif Anies, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengajukan pertanyaan menohok Prabowo. Mengajukan pertanyaan terkait pelanggaran HAM berat, termasuk penculikan aktivis '98, dan komitmen menindaklanjuti rekomendasi DPR pada 2009, salah satunya membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Diketahui, sebelum era reformasi, Prabowo memiliki posisi strategis di militer dengan menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Ia pun mengakui menculik belasan aktivis dan mahasiswa kala itu.
"Kalau Bapak ada di situ (menjadi presiden, red), apakah akan membuat pengadilan HAM dan membereskan rekomendasi DPR? Pertanyaan kedua, di luar sana menunggu, banyak ibu-ibu. Apakah Bapak bisa membantu menemukan di mana kuburnya yang hilang agar mereka bisa berziarah?" tanya Ganjar.
Ganjar pun kembali mencibir lantaran jawaban yang Prabowo berikan dinilai tidak tegas. Pangkalnya, justru meminta bekas Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu agar bertanya kepada cawapresnya, Mahfud MD, karena menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
"Sayang, pada dua jawaban ini sama sekali tidak punya ketegasan itu," ucapnya. "Pertanyaan saya sebenarnya satu, apakah kalau Bapak jadi presiden, akan membuat pengadilan HAM? Pertanyaan nomor kedua, apakah Bapak bisa menemukan, menunjukkan, membantu pada keluarga [korban penculikan] agar kemudian mereka bisa bersiarah? Dua ini sama-sama tidak dijawab."
Sementara itu, Anies dan Ganjar tidak saling menyerang satu sama lain. Ketika ada kesempatan bertanya, Anies justru menanyakan sikap Ganjar tentang peristiwa hukum, yakni tragedi Kanjuruhan dan KM 50, yang tidak ada kaitannya, seperti konflik Wadas dan kasus Kendeng.
Konflik Wadas di Kecamatan Bener, Purworejo, Jateng, mengemuka lantaran warga desa setempat harus terlibat bentrok dengan aparat TNI dan Polri ketika sedang mempertahankan ruang hidupnya dari proyek strategis nasional (PSN). Desa Wadas ditetapkan pemerintah sebagai lokasi pengambilan material untuk pembangunan Bendungan Bener.
Perlawanan serupa dilakukan warga Kendeng, Rembang, Jateng. Mereka berupaya mempertahankan tempat tinggalnya dengan menolak pembangunan pabrik Semen Indonesia karena mengancam kehidupan mereka.
Motif mengeroyok Prabowo
Pengamat komunikasi politik Catur Nugroho berpandangan, gencarnya Anies menyerang Prabowo-Gibran dalam debat pertama sebagai bentuk ia dan cawapresnya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), atau pasangan Amin berani melawan kekuatan besar. Dukungan partai politik (parpol) kepada Prabowo-Gibran adalah yang paling besar bahkan ditopang Jokowi.
"Maka, Anies ingin menunjukkan dirinya sebagai antitesa dari Jokowi, yang digambarkan sebagai penguasa yang tidak adil dan telah mencederai demokrasi," jelasnya kepada Alinea.id, Rabu (13/12).
"Selain itu, pendukung Prabowo-Gibran, yang menurut beberapa hasil survei, menempati posisi teratas adalah ceruk konstituen yang besar untuk bisa digerus oleh Anies, terutama pemilih di wilayah Jakarta dan Jabar (Jawa Barat)," sambungnya.
Alasan lainnya, lanjut Catur, Anies cukup optimistis dalam melaju ke putaran kedua pilpres. Putaran kedua berpeluang terjadi jika tidak ada kandidat yang meraih suara 50%+1 pada 14 Februari 2024, sebagaimana dimandatkan Pasal 61 UUD 1945.
"Sepertinya memang Anies sangat percaya diri untuk bisa melaju ke putaran kedua. Sehingga, tidak terlalu menyerang Ganjar karena [pemilihnya] dijadikan target untuk nanti bergabung ketika terjadi pilpres putaran kedua [dan] yang lolos Prabowo dan Anies," urai dosen Universitas Telkom ini.
Catur melanjutkan, motif Ganjar turut "menghantam" Prabowo pada debat perdana tidak lepas dari hijrahnya dukungan Jokowi. Ganjar dan Jokowi merupakan kolega di PDIP. Apalagi, Prabowo-Gibran berpotensi menggerus suaranya di "kandang banteng".
"Dari awal, penetapan Ganjar sebagai capres dari PDIP berharap mendapatkan dukungan Jokowi, tapi ternyata justru Jokowi mendukung Prabowo dengan menempatkan Gibran mendampingi Prabowo. Hal ini tentu saja membuat Ganjar lebih memilih untuk menyerang Prabowo karena melihat lawannya ini mencoba untuk 'menyerang' lumbung suara Ganjar di Jateng dan Jatim (Jawa Timur)," katanya.
Lebih jauh, ia menilai, Anies mendapatkan insentif dari serangan tersebut karena mewakili keresahan publik, terutama terkait ketidakadilan dan pemaksaan hukum untuk kelompok tertentu. Kendati demikian, Anies dan Ganjar diprediksi takkan kembali "menghajar" Prabowo dalam debat-debat berikutnya.
"Jika paslon 1 dan 3 masih menyerang paslon 2 secara vulgar, justru akan menjadi bumerang bagi Anies dan Ganjar. Simpati masyarakat bisa berkurang jika dalam debat berikutnya masih terjadi saling serang dan bukan adu gagasan," ujar Catur mengingatkan.
"Masyarakat cenderung kurang suka dengan debat yg menjurus menyerang secara verbal terhadap paslon lain. Hal ini justru akan menimbulkan antipati bagi paslon yang terlalu sering menyerang paslon lainnya dan bukan beradu gagasan," tandas Direktur Data Politik Indonesia itu.