sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengingat Nurcholish Madjid, memahami sekularisasi

Cak Nur memandang umat Islam berada dalam kejumudan dan memiliki halangan berupa ketiadaan kebebasan berpikir.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Selasa, 04 Sep 2018 09:50 WIB
Mengingat Nurcholish Madjid, memahami sekularisasi

Tiga belas tahun silam, Senin (29/8) Nurcholis Madjid mangkat. Kematiannya dengan segera menjadi duka bagi keluarga dan para pengagum gaya pikir modernisme dan sekularisme yang ia kenalkan. Sebaliknya, bagi kelompok yang kontra pun, ia akan dikenang sebagai sosok vokal, yang tak gentar membuka mimbar.

Alumni sekolah doktoral filsafat Universitas Chicago, Amerika Serikat ini pernah adu urat dengan Amien Rais dan Muhammad Roem. Kala itu, ia kukuh menihilkan konsep negara Islam. Sebab, baginya pendidikan Islam tak mengajarkan secara mutlak pembentukan negara Islam itu sendiri.

Sama seperti Gus Dur, pria yang biasa disapa Cak Nur meneguhkan identitasnya sebagai salah satu pembaharu Islam di Indonesia. Ia dicintai tapi juga memiliki banyak pembenci. Sejak menjadi ketua PBHMI hingga akhir hayatnya, Cak Nur memang tak henti-hentinya meniupkan semangat pembaharuan Islam yang kerap kali berujung pada kontroversi.

Hidup Cak Nur mencerminkan pergulatan panjang pemikiran seorang muslim dari santri Gontor menjadi seorang pembaharu Islam. Di Gontor itulah pemikiran Cak Nur perlahan mulai terbentuk.

Pada 1970, Cak Nur menerbitkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang memicu perdebatan antara umat Islam. Dalam makalahnya, Cak Nur memandang umat Islam berada dalam kejumudan dan memiliki halangan berupa ketiadaan kebebasan berpikir.

“Adalah sulit sekali untuk dimengerti bahwa justru umat Islam sekarang lebih banyak bersifat tertutup dalam sikap mentalnya. Padahal kitab suci mereka menegaskan bahwa mereka harus mendengarkan ide-ide dan mengikutinya mana yang paling baik,” tulisnya.

Cak Nur juga mengecewakan para pendukung Partai Masyumi yang menggadang-gadangnya sebagai “Natsir muda”, usai menggaungkan jargon “Islam Yes, Partai Islam No.” Kritik Cak Nur pada partai Islam tersebut menemukan momentumnya pada pemilu 1971. Hasil pemilu menunjukkan, jika suara partai Islam mengalami kekalahan telak.

Pandangan Cak Nur atas partai Islam tak bisa dilepaskan dari paham sekularisasi yang diyakininya. Cak Nur memandang agama sebagai sesuatu yang suci (sacred) dan negara sebagai sesuatu yang profan atau tidak suci. Menurutnya, kedua hal ini tidak bisa dicampuradukkan.

Sponsored

“Yang demikian itu sebenarnya merupakan cerminan dari sikap bertauhid yang teguh. Menempatkan yang profan sejajar dengan yang sacred, potensial mengganggu kesungguhan kita dalam bertauhid,” jelas Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Bahtiar Effendy.

Cak Nur menolak konsep negara Islam seperti yang pernah diperjuangkan Masyumi. Menurut Cak Nur, hal tersebut telah menimbulkan pemahaman agama yang bersifat ideologis-politis. Pada tingkat tertentu telah menjadikan negara atau partai Islam sangat identik dengan Islam itu sendiri, sehingga jadi bertolak belakang dengan prinsip tauhid.

Saat itu, terbersit kesan yang agak kuat, Masyumi terlalu bersemangat dalam menempatkan partai sebagai alat perjuangan Islam. “Hal demikian memunculkan anggapan, para pemimpin Masyumi seolah-olah memosisikan partai sejajar atau segaris dengan agama. Menurut Cak Nur, komitmen orang Islam harus diarahkan pada Islam, bukan lembaga atau partai Islam,” kata Bahtiar di Universitas Paramadina Jakarta.

Jargon ‘Islam Yes, Partai Islam No’ yang dirumuskan Cak Nur pada awal 1970 pun merujuk pada situasi politik saat itu. Namun, Bahtiar tak menampik situasi yang sama sedang terjadi di Indonesia saat ini. Apalagi, di tahun politik, semua isu berbau sentimen keislaman bisa dengan mudah dikapitalisasi. Pun, pengarusutamaan pahlawan baru yang harus dipilih dari kalangan Muslim atau berangkat dari partai Islam, menjadi hal lumrah dewasa ini.

Contoh konkritnya tampak dari manuver Jokowi di menit terakhir jelang deklarasi capres-cawapres bulan lalu. Ia memutuskan untuk meminang orang nomor satu Nadlatul Ulama Maruf Amin sebagai cawapres. Sejumlah politisi seperti Ferdinand Hutahean, Erwin Izharuddin, dan Habbiburokhman menilai, penunjukan Maruf yang namanya telah menguap dari diskursus koalisi, berganti dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD ini sebagai imbas ketakutan belaka.

Celakanya, sebelas dua belas dengan Jokowi, Prabowo pun juga memilih untuk merapat pada golongan Islam. Sudah bukan rahasia umum, Partai Keadilan Sejahtera mesra dengan mantan suami Titiek Soeharto itu. Ia yang didukung Partai Amanat Nasional (PAN) juga kian mantap menjajaki hubungan baik dengan para pemuka agama, termasuk pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq. Tujuannya antara lain, demi menciptakan imaji sebagai negarawan islami di depan publik.

Ikhwal kesan islami ini, petinggi PAN Amien Rais pernah koar-koar, semua partai di luar partai berlandaskan ajaran islam layak disebut partai setan. Dengan demikian orang yang bergelut di partai nasionalis, marhaenis, dan landasan ideologi lain, meski mereka Islam, jadi tak sejalan lagi.

Posisi Cak Nur dari sejak pertama berkonfrontasi dengan Amien Rais hingga tutup usia, masih sama. Menurutnya, partai Islam mesti dipandang entitas yang tidak suci dan tidak pantas menjadi orientasi kita.

"Kalau Anda membela mati-matian Islam, itu benar, karena Anda memiliki komitmen. Di situlah kita harus mengorientasikan pikiran kita, pada Islam, bukan pada institusi yang memiliki merek Islam,” imbuh Bahtiar.

Politisasi Islam

Situasi politik yang sebanding dengan tahun 1970 tersebut merujuk pada permainan politik identitas yang dilakukan partai-partai Islam saat itu. Berdasarkan survei yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), politisasi identitas pada pemilu 2019 berpotensi menggambat jalannya pemilu. Politisasi SARA menempati angka sebesar 23,6% disusul kemudian konflik horisontal antarpendukung paslon, gangguan keamanan, kekurangsiapan dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu.

Nurcholis Madjid bersama Gus Dur./ Kompasiana

Selain itu, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan angka penurunan jumlah publik yang mendukung Pancasila. Sebaliknya, ada peningkatan jumlah masyarakat yang menginginkan Indonesia berdasarkan NKRI bersyariah.

Survei tersebut melibatkan 1.200 responden yang dipilih secara acak tersebar di seluruh Indonesia selama periode 28 Juni hingga 5 Juli 2018. Hasilnya, 75,3% responden masih mendukung Pancasila. Namun, sebanyak 13,2% responden ingin Indonesia menjadi negara berasaskan Islam.

Hasil survei tersebut berbeda dengan hasil survei yang dilakukan pada 2010. Hasil survei 2010 menghasilkan fakta, sebanyak 81,7% responden masih pro-Pancasila. Sementara sebanyak 7,3% responden ingin Indonesia berdasarkan NKRI bersyariah.

Bagi Bahtiar, gagasan sekularisasi Cak Nur berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. “Kalau Partai politik, tempatkan pada tempatnya. Jangan parpol, meski namanya partai Islam, ditempatkan dalam posisi agama,” kata Bahtiar.

Semangat sekularisasi

Walaupun membawa semangat sekularisasi, Cak Nur tak pernah benar-benar sekuler seperti doktrin laïcité di Prancis yang benar-benar menihilkan keberadaan agama di ruang publik, dan tegas memisahkan antara agama dan negara. Bentuk laïcité yang menentang otoritas gereja ini mencirikan sekularisme Eropa yang berbeda dengan situasi di tempat lain seperti Amerika.

“Di Prancis tidak ada standar moral, agama dan politik benar-benar dipisahkan. Untuk Amerika, pemisahan gereja dengan negara bersifat sangat kondusif terhadap kepercayaan agama dan partisipasi kehidupan beragama,” jelas Pipip A. Rifai Hasan, akademisi Universitas Paramadina, Jakarta.

Rifai melanjutkan, para pemikir muslim menganggap sekularisme bertentangan dengan Islam. “Ajaran-ajaran Islam mengandung nilai-nilai yang dipromosikan oleh sekularisme seperti kebebasan, keadilan, dan kesetaraan,” kata Rifai.

Berbicara sekularisme, Bahtiar menilai Cak Nur menghargai eksperimen sekularisme Mustafa Kemal Attaturk di Turki. “Kiranya lebih tepat memahami sekularisasi yang dimaksud Cak Nur sebagai keharusan, kebolehan, atau kebisaan membedakan antara yang suci dan yang tidak suci. Secara substansif tidaklah mungkin memisahan keduanya, apalagi dalam konteks agama sebagai sumber nilai atau etika,” jelasnya.

Pendeknya, sambung Bahtiar, tidak ada alasan memosisikan Cak Nur sebagai penganjur sekularisme. “Jika ada yang memandang Cak Nur mendorong agama agar dipisahkan dari negara, saya pikir orang tersebut tak mengerti atau tak memahami Cak Nur,” lanjut Bahtiar.

Sebagai orang yang paham sosiologi masyarakat Indonesia dengan sentimen keagamaan yang kuat, sambung Bahtiar, tak mungkin Cak Nur berpikiran bahwa agama dan negara harus dipisahkan. Karena hal tersebut, pada 1977 Cak Nur terpanggil untuk berkampanye bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). “Cak Nur bersedia berkampanye bersama PPP bukan untuk membela Islam, tapi demokrasi,” imbuh Bahtiar.

Sekularisme, lanjut Bahtiar, tidak berarti banyak bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia. “Para elit beranggapan mendatangkan sekularisme lebih merupakan beban daripada mendatangkan kegunaan, termasuk bagi diri mereka,” tutur Bahtiar.

Berita Lainnya
×
tekid