

Saat jasa buzzer semakin normal di jagat maya

Jual-beli jasa buzzer atau para pendengung tak lagi sembunyi-sembunyi. Di beragam platform media sosial, para pelaku bisnis itu kini terang-terangan mempromosikan "dagangan" mereka. Sebagian bahkan punya situs resmi untuk "beli putus" jasa buzzer. Ada pula yang menjual jasa di marketplace seperti Shopee atau Tokopedia.
Jenis layanan yang ditiwarkan pun sangat bervariasi. Tak hanya komentar dan likes, sejumlah situs buzzer melayani paket trending topic di media sosial, menambah followers, hingga take down video Youtube. Ada pula yang menawarkan paket mengelola media sosial dan desain fan page.
Dengan menggunakan keyword jasa buzzer di mesin pencarian Google, Alinea.id menemukan ada puluhan situs yang menawarkan jasa buzzer. Sejumlah jenama di peringkat atas pencarian Google, semisal rajakomen.com, casakreatif.com, buzzerindonesia.com.
Dalam serial laporan investigasinya, Kompas.id menemukan para buzzer punya kasta. Ada buzzer individual yang jasanya dihargai puluhan ribu, ada pula buzzer terorganisasi yang harga per proyeknya mencapai miliaran rupiah. Tak hanya terkait politik, mereka juga "mendengungkan" beragam jenis produk dan mempromosikan brand perusahaan.
Kian maraknya bisnis buzzer di jagat maya ditanggapi pakar keamanan siber Alfons Tanujaya. Menurut Alfons, pemerintah perlu turun tangan meregulasi jenis bisnis baru itu. Pasalnya, ada potensi jasa buzzer digunakan untuk memanipulasi opini publik.
"Pada prinsipnya, bisnis buzzer ini sifatnya manipulatif. Jadi, ini memalsukan sebagai satu identitas di dalam media sosial. Lalu, mencapai tujuan tertentu dengan identitas palsu tersebut. Tujuannya macam-macam," kata Alfons kepada Alinea.id, Sabtu (7/6).
Alfons mencontohkan jasa buzzer politik yang kerap digunakan menyerang tokoh-tokoh tertentu atau membela kepentingan klien politik. Akun-akun buzzer untuk jagat politik lazimnya merupakan akun palsu yang sengaja diciptakan untuk memviralkan suatu pesan atau narasi.
"Ingin mempengaruhi masyarakat seakan-akan bahwa banyak akun yang menyuarakan sesuatu. Padahal, itu hanya sebagian orang dengan modal banyak perangkat dan akun atau ada juga yang memalsukan review," jelas dia.
Lewat Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), menurut Alfons, pemerintah perlu berupaya mencegah agar bisnis buzzer tidak semakin "brutal". Pasalnya, isu yang dinarasikan para buzzer potensial dipercaya warganet meskipun kebenaranya masih dipertanyakan.
"Jadi ini tidak sehat. Kalau memberikan review palsu, nanti kepercayaan masyarakat terhadap review itu jatuh. Lalu, bagaimana kalau buzzer menyerang orang dengan niat menjatuhkan martabat atau karier. Jelas ini juga tidak bener kan. Bahkan, dalam politik, ini bisa menyebabkan kekacauan. Makanya, harus diidentifikasi dan diatur," ujar dia.
Sebagai langkah antisipasi, menurut Alfons, Kementerian Komdigi perlu membatasi atau memverifikasi akun-akun media sosial. Tujuannya untuk mencegah banyak akun palsu beranak-pinak. Saat ini, satu orang masih bisa membuat ratusan akun.
"Buat satu orang hanya satu akun. Kemudian pemerintah bisa mencari metodenya. Dengan metode ini, bisa dilaksanakan media sosial harus melalui verifikasi human di mana ada satu institusi yang mengurusi. Secara otomatis, bisnis buzzer ini bisa tereleminasi," kata Alfons.
Jual beli jasa buzzer mulai mengemuka sejak 2009. Pada Pilkada DKI 2012, jasa buzzer politik mulai digunakan para kandidat untuk menyerang lawan politiknya. Buzzer yang awalnya berkonotasi positif pun tergelincir menjadi entitas yang "dibenci" publik.
Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Kezia Khatwani mengatakan jasa buzzer untuk memanipulasi narasi mulai masif digunakan dalam konteks politik nasional sejak Pilpres 2014. Ketika itu, media sosial menjadi alat kampanye utama bagi para kandidat untuk mempromosikan visi dan misi mereka.
"Dalam konteks ini, UU ITE sebenarnya sudah mengatur bahwa platform digital punya tanggung jawab untuk memastikan sistem mereka aman. Salah satu bentuk tanggung jawab itu adalah memastikan bahwa informasi yang beredar punya integritas. Ini bisa dilakukan baik dengan bantuan teknologi, maupun lewat intervensi manusia," kata Kezia kepada Alinea.id.
Kezia sepakat pemerintah perlu meregulasi bisnis buzzer. Akun-akun anonim yang diciptakan oleh para pebisnis buzzer, misalnya, mesti dibatasi sesuai standar pembatasan yang ada pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
"Supaya tidak melanggar hak asasi manusia. Penggunaan hukum pidana sebaiknya jadi pilihan terakhir. Jangan sampai malah disalahgunakan untuk membungkam pendapat," kata Kezia.
Aparat penegak hukum, lanjut Kezia, bisa turun tangan jika narasi-narasi yang diciptakan para buzzer bermuatan ujaran kebencian atau menghina suku, etnis atau agama dengan tujuan mendiskriminasi kelompok tertentu.
"Kalau kontennya menyerang kehormatan atau martabat seseorang, bisa ditempuh lewat jalur hukum keperdataan.Tapi, ya, tantangannya, akun-akun buzzer ini seringkali anonim atau palsu. Jadi, ini susah dilacak dan diproses secara hukum," kata Kezia.


Tag Terkait
Berita Terkait
China manfaatkan IShowSpeed untuk pamer teknologi futuristiknya ke konsumen AS
Geliat influencer masakan Tiongkok menyasar netizen AS
"Galaknya" buzzer di medsos ancam demokrasi
AI influencer: Naiknya toleransi peradaban dan tren dalam dunia pemasaran

