sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Usulan presidential threshold 0% dinilai pepesan kosong

Mengapa tawaran di luar PT 0-100% tidak dikemukakan secara masif, terstruktur, dan sistematis ke ruang publik.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 30 Des 2021 15:04 WIB
Usulan presidential threshold 0% dinilai pepesan kosong

Publik sebaiknya tidak terbius dengan wacana presidential threshold (PT) 0%. Menurut pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing, usulan PT 0% tidak lepas dari kepentingan dan kekuatan politik dari partai dan politisi yang mengusulkan.

Emrus menyebut, usulan itu acapkali datang dari partai yang perolehan kursi di DPR pusat pada Pemilu Legislatif 2019 berada di papan menengah, lebih lagi dari papan  bawah. Kemudian, partai yang tidak masuk parlemen pada Pemilu Legislatif 2019 dan partai yang baru berdiri lebih cenderung menginginkan PT 0% agar partainya dapat mengusung  pasangan calon Pilpres 2024.

"Jadi, sangat kental dengan politik pragmatis," kata Emrus kepada Alinea.id, Kamis (30/12).  

Menurut dia, alasan PT 0%  akan membuat rakyat memiliki banyak pilihan adalah sebuah pepesan kosong. "Saya pastikan tidak demikian," ujar dia.

Sekalipun akan menimbulkan berbagai persoalan bidang politik ke depan karena demokrasi belum dewasa, termasuk kemungkinan terjadi deparpolisasi, Emrus mempertanyakan mengapa pengusul tidak menawarkan PT di luar rentang jumlah 0 hingga 100%. Misalnya, pertama, dibuka kanal jalur independen, seperti pada Pilkada. Atau kedua, setiap WNI secara individu berhak menjadi paslon Pilpres 2024.

"Salah satu dari dua alternatif ini tidak mengumandang di ruang publik oleh mereka, karena jauh dari kepentingan kekuasaan partai mereka sendiri, seperti kata orang bijak, panggang masih jauh dari api. Jika PT 0%, sosok yang mereka usung di Pilpres, misalnya, menawarkan tokoh  pendobrak, dapat mendongkrak suara bagi partainya," beber Emrus.

Padahal, lanjut Emrus, jika salah satu dari dua hal tersebut ditawarkan, maka sangat bisa diterima akal sehat. Mengedepankan kedaulatan rakyat, tentu, harus disertai argumentasi solutif berbagai permasalahan yang ada.

"Jadi, tidak boleh sekadar mewacanakan model penetapan paslon pilpres tanpa menawarkan pemecahan masalah yang meyertainya," ungkapnya.

Sponsored

Anehnya lagi, tambah Emrus, tawaran di luar PT 0-100% tidak dikemukakan secara masif, terstruktur, dan sistematis ke ruang publik, karena pengusul tampaknya tetap menginginkan penentuan paslon Pilpres 2024 agar partai tetap pegang kendali.

"Ini persoalan permainan kekuasaan melalui kemasan/konstruksi pesan komunikasi politik. Jadi, partai dan tokoh sentral, pengendali, faksi dominan serta pemilik logistik partai tidak mau melepaskan begitu saja dominasi tersebut.

Emrus mengatakan, terlepas dari kepentingan politik yang diuraikan di atas, sistem pemilihan presiden tanpa PT atau 0%, belum bisa digunakan saat ini hingga sampai awal terjadinya sistem demokrasi substansial di Indonesia. Kemudian, PT 0% itu hanya bisa dilakukan di negara yang sudah matang demokrasinya dan jumlah partainya maksimal tiga.

Jika PT 0% diberlakukan pada Pilpres 2024, itu akan membuka pintu yang lebar bagi tokoh ataupun partai politik untuk mengajukan sosok tertentu, yang menurut subyektivitas mereka terbaik. Padahal, menurutnya belum tentu. Selain itu, masalah serius bisa muncul jika terjadi penghapusan PT  atau 0% pada Pilpres 2024. Paslon pilpres bisa saja sepuluh, bahkan bisa lebih.

"Sekalipun Pilpres 2024 kemungkinan tetap terjadi dua putaran, karena dua paslon urutan teratas perlolehan suara pada putaran pertama maju ke putaran kedua, namun jangan salah, sangat berpeluang mobilisasi suara dari partai dan atau paslon yang kalah pada putaran pertama ke salah satu dari dua paslon pada putaran kedua, sehingga terbuka lebar pemanang kedua pada putaran pertama menjadi pemenang pada putaran kedua. Jika ini yang terjadi dapat merusak tatanan demokrasi substansial itu, karena kedaulatan rakyat tergadaikan oleh elit dan atau partai," pungkas dia.

Berita Lainnya
×
tekid