Bahaya laten warisan utang pemerintah

Penarikan utang yang melonjak signifikan akan berpengaruh sampai ke pemerintahan berikutnya.

Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.

Keputusan menambah utang, ibarat memakan buah simalakama. Di masa pandemi ini, utang diklaim bisa menyokong perekonomian nasional yang sedang babak belur. Namun di sisi lain, utang tanpa pengelolaan yang baik justru bisa memicu bahaya laten.

Di Indonesia, pandemi Covid-19 itu sendiri telah berimbas pada lonjakan utang yang signifikan. Sampai akhir Januari 2021, utang pemerintah telah menembus angka Rp6.233,14 triliun. Total utang itu meningkat drastis hingga ribuan triliun jika dibandingkan per Januari 2020 lalu yang sebesar Rp4.817,55 triliun. Adapun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 40,28%.

Kenaikan jumlah utang ini tak lepas dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kian melebar. Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyinggung bahwa dalam APBN 2021, defisit APBN ditargetkan Rp1.006 triliun atau 5,7% terhadap PDB.

Otak-atik strategi ekonomi pun ditempuh pemerintah. Salah satunya, melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020, pemerintah menaikkan batas aman defisit dari 3% menjadi 6,34%. Kebijakan ini ditempuh demi menyelamattkan ekonomi yang tertekan selama pandemi.

Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini menilai, keputusan tersebut sebagai suatu hal yang sembrono. Sebab, peningkatan batas defisit bisa menyebabkan dampak ekonomi berkelanjutan di masa depan. Bahkan, saat sudah berganti pemerintahan.