sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Invasi, stagflasi, resesi dan risiko beban utang kian tinggi

Perang membuat inflasi meluas di semua negara, hal ini turut mengerek beban bunga obligasi Indonesia.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Jumat, 10 Jun 2022 12:52 WIB
Invasi, stagflasi, resesi dan risiko beban utang kian tinggi

Belum usai pemulihan dari pandemi, perekonomian dunia kembali mendapat tekanan dari invasi Rusia ke Ukraina. Pertumbuhan ekonomi dunia yang sebelumnya diprediksi bakal membaik pun terpaksa direvisi lagi. 

Bank Dunia (World Bank), dalam laporan teranyarnya Global Economic Prospects edisi Juni 2022 memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 sebesar 2,9%. Angka itu lebih rendah dari proyeksi Januari lalu yang mencapai 4,1%.

Hal serupa juga terjadi pada proyeksi pertumbuhan ekonomi berbagai negara di dunia. Amerika Serikat (AS) misalnya, yang pertumbuhan ekonominya pada 2022 diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,7% diproyeksi Januari lalu, hanya menjadi 2,5% pada perkiraan Juni. 

Revisi proyeksi ini juga tidak bisa dihindari Tiongkok. Menurut Bank Dunia, negara dengan perekonomian terbesar di dunia setelah Amerika Serikat ini hanya akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3%, turun dari proyeksi Januari yang sebesar 5,1%.

Adapun Rusia, yang menginvasi Ukraina diperkirakan bakal mengalami kontraksi cukup dalam tahun ini, yakni mencapai -8,9%. Padahal, pada perkiraan Januari lalu Bank Dunia memperkirakan ekonomi negara penghasil pupuk itu dapat tumbuh di level 2,4%. 

Anjloknya pertumbuhan ekonomi Rusia tersebut, praktis membuat pertumbuhan ekonomi untuk Zona Eropa ikut mengalami pelemahan. Berdasarkan proyeksi Juni, pertumbuhan ekonomi Eropa hanya akan tumbuh 2,5% dari yang sebelumnya diprediksi dapat mencapai 4,2%. Sementara itu, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelumnya 5,2% menjadi 5,1%.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Presiden Bank Dunia David Malpass dalam laporan itu mengatakan, kondisi perlambatan ekonomi ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga 2023 dan 2024 nanti. Bagaimana tidak, invasi Rusia ke Ukraina yang belum juga berakhir, telah mengganggu aktivitas ekonomi dunia. Mulai dari investasi, perdagangan, gangguan rantai pasok yang menyebabkan kenaikan harga pangan dan energi, hingga melemahnya kembali permintaan masyarakat global.

Sponsored

“Perang di Ukraina, lockdown-nya Cina, gangguan rantai pasok, dan risiko stagflasi telah memukul pertumbuhan ekonomi dunia. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari,” ujar dia, Selasa (7/6).

Kondisi ini pun membuat inflasi juga tak bisa dihindari. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) bahkan memperkirakan, pada akhir 2022 inflasi global mencapai 9%, dengan pertumbuhan ekonomi di level 3%.
 
“Jika peperangan tereskalasi atau menjadi semakin berlarut-larut, prospeknya akan memburuk, terutama untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan Eropa,” ujar Kepala Ekonom dan Deputi Sekretaris Jenderal OECD Laurence Boone dalam laporannya, Rabu (8/6).

Gelombang inflasi tinggi

Mengutip Trading Economics, ada beberapa negara yang telah mengalami inflasi tinggi saat ini. Venezuela misalnya, dengan tingkat inflasi mencapai 222% pada April lalu. Angka itu turun dari inflasi di bulan sebelumnya yang mencapai 284%. 

Untuk dua negara ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok masing-masing memiliki tingkat inflasi sebesar 8,3% dan 2,1% pada periode April 2022. Tingkat inflasi Tiongkok mengalami kenaikan dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,5%. Sedangkan inflasi AS turun tipis dari sebelumnya yang ada di level 8,5%.

Selain China, beberapa negara lainnya yang mengalami peningkatan inflasi antara lain Indonesia yang pada Mei 2022 mencapai 3,55% (sebelumnya 3,47%), Jepang 2,5% pada April 2022 (sebelumnya 1,2%), Australia 5,1% pada Maret (sebelumnya 3,5%), Inggris yang mencapai 9% pada April lalu (sebelumnya 7%).

Laju inflasi global
Negara Laju Inflasi (year on year/yoy)
Tiongkok 2,1%
Arab Saudi 2,3%
Jepang 2,5%
Swiss 2,9%
Taiwan 3,4%
Indonesia 3,5%
Filipina 4,9%
Australia 5,1%
Prancis 5,2%
Korea Selatan 5,4%
Singapura 5,4%
Finlandia 5,7%
Afrika Selatan 5,9%
Swedia 6,4%
Kanada 6,8%
Italia 6,9%
Selandia Baru 6,9%
Irlandia 7%
Thailand 7,1%
Meksiko 7,7%
India 7,8%
Jerman 7,9%
Portugal 8%
Amerika Serikat 8,3%
Spanyol 8,7%
Inggris 9%
Euro Zone 9,1%
Belanda 9,6%
Brazil 12,1%
Polandia 12,4%
Rusia 17,8%
Argentina 58%
Turki 73,5%
Venezuela 222%
   

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan, penyebab tingginya inflasi di beberapa negara disebabkan oleh hambatan dari sisi produksi atau pasokan, sehingga tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi terjadinya stagflasi, pemerintah dari berbagai negara di dunia tengah merencanakan pengetatan kebijakan moneter.

Hal ini pun bahkan juga masih akan menjadi bahasan bagi jajaran pemerintah dunia yang tergabung dalam forum G20. Tema ini akan terus berlangsung hingga 2023.

“Karena dinamika antara demand dan suplai, dan instrumen mana yang dianggap paling pas, paling tepat, untuk bisa menyelesaikan kemungkinan terjadi stagflasi tanpa menimbulkan risiko ekonomi,” tuturnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (8/6) kemarin.

Stagflasi sendiri adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi stagnan disertai dengan inflasi yang terus mengalami kenaikan. Kondisi ini bisa menjadi sangat berbahaya bagi perekonomian dunia, utamanya bagi negara-negara berpendapatan menengah dan emerging market.

Untuk menjaga agar inflasi tidak semakin tinggi, negara-negara di dunia pun memperketat kebijakan moneternya, tak terkecuali bank sentral AS, The Fed yang menaikkan suku bunga acuan. Langkah serupa juga dilakukan Bank Sentral Australia Reserve Bank of Australia/RBA), Bank of Korea, Bank Sentral Inggris (The Bank of England/BoE), Bank Sentral Brazil (Banco Central do Brasil), Bank Sentral India, Argentina, Meksiko, Arab Saudi, hingga Malaysia.
 
“Hal ini berpotensi membuat likuiditas global semakin ketat,” kata Ani, dalam Rapat Paripurna ke-24 di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (31/5).

The Fed sendiri telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps), menjadi 1% pada Mei lalu. Kenaikan suku bunga acuan ini lantas menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir.

Gubernur BI Perry Warjiyo pun memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga total menjadi 250 bps. Dus, hingga akhir tahun ini suku bunga acuan The Fed diperkirakan akan ada di kisaran 2,75%.

Kantor pusat Bank Indonesia di Jl M.H Thamrin, Jakarta Pusat. Foto Reuters.

“Pada tahun 2023, kami memperkirakan masih akan ada kenaikan 2 kali Fed fund rate (suku bunga acuan The Fed-red). Sehingga pada akhir 2023, Fed fund rate akan mencapai 3,25%,” katanya.

Peningkatan beban utang

Percepatan normalisasi kebijakan The Fed ini, jelas membuat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) bergerak lebih tinggi. Benar saja, usai The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga acuannya, pada perdagangan Kamis (5/5) sore, yield US Treasury tenor 10 tahun mengalami kenaikan sebesar 12 bps, menjadi 3,04%. 

Hal serupa terjadi pula pada obligasi dengan tenor 30 tahun yang mengalami kenaikan sebesar 12 bps, menjadi 3,126%. Jika The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya, Perry memperkirakan, hingga akhir tahun ini imbal hasil US Treasury dapat mencapai 3,45% - 3,5%. 

“Ini perkiraan yang harus kita lakukan assessment dari waktu ke waktu, bagaimana ketegangan politik ini berlanjut, dampaknya terhadap kenaikan harga-harga dunia, terhadap inflasi dunia dan bagaimana respons dari percepatan normalisasi kebijakan baik di Fed maupun dari berbagai negara,” imbuhnya.

Sebab, kenaikan imbal hasil US Treasury pada akhirnya akan berpengaruh pula pada kenaikan yield surat berharga negara (SBN) pemerintah di dalam negeri. Selang beberapa hari setelah kenaikan US Treasury, yield SBN dari tenor 1 tahun hingga 10 tahun terpantau ikut mengalami penguatan.

Yield SBN tenor 1 tahun misalnya, yang pada perdagangan Senin (9/5) atau pada hari dibukanya kembali perdagangan setelah libur Hari Raya Idulfitri, ditutup menguat hingga 26 basis points (bps) ke level 4,647%. Untuk SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara, menguat 17,2 bps menjadi 7,17%. Sedangkan imbal hasil SBN tenor 30 tahun mengalami kenaikan paling kecil, yakni hanya sebesar 0,4 bps, sehingga menjadi 7,065%.

Sebagai informasi, yield pada SBN berlawanan arah dengan harga. Sehingga, ketika imbal hasil mengalami kenaikan, pada saat itu juga harga obligasi pemerintah tersebut justru mengalami pelemahan. Hal ini berlaku pula sebaliknya.

Sementara itu, berdasarkan data World Government Bond, hingga Kamis (9/6), imbal hasil SBN dengan tenor 10 tahun tercatat telah mengalami kenaikan sebesar 86,3 bps dalam kurun waktu enam bulan terakhir, ke level 7,261%. Namun, jika dibandingkan bulan sebelumnya, yield SBN acuan pemerintah ini mengalami penurunan sebesar 0,1 bps.

Yield Surat Utang Pemerintah Indonesia

Jatuh Tempo

Yield

Harga Zero Coupon

Terakhir (%)

Perubahan 1 Bln (bp)

Perubahan 6 Bln (bp)

Terakhir

Perubahan 1 Bln (%)

Perubahan 6 Bln (%)

1 Bulan

2,465

+46,0

-62,7

 

 

 

3 Bulan

2,514

+40,8

-60,1

 

 

 

6 Bulan

3,819

+160,8

+60,6

 

 

 

1 Tahun

3,872

-57,8

-0,2

96,27

+0,55

0,00

3 Tahun

5,575

-28,5

+108,3

84,98

+0,81

-3,05

5 Tahun

6,255

-30,4

+108,6

73,83

+1,43

-5,02

10 Tahun

7,261

-0,1

+86,3

49,61

0,00

-7,77

15 Tahun

7,389

+20,2

+101,4

34,32

-2,80

-13,27

20 Tahun

7,433

+0,1

+21,5

23,84

0,00

-3,91

25 Tahun

7,628

+13,8

+32,7

15,92

-3,16

-7,33

30 Tahun

7,413

-5,3

+15,8

11,70

+1,47

-4,33

Catatan: Data terakhir adalah data pada 9 Juni 2022, pukul 2:15 GMT+0

Kenaikan tertinggi selama enam bulan terakhir terjadi pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun, dengan lonjakan yield masing-masing sebesar 108,3 bps dan 108,6 bps, menjadi 5,575% dan 6,255%. Namun demikian, jika dibandingkan bulan sebelumnya baik SBN tenor 3 tahun maupun 5 tahun tercatat mengalami penurunan imbal hasil sebesar -28,5 bps dan -30,4 bps.

Di sisi lain, ketika mayoritas yield surat utang pemerintah kompak mengalami penguatan, dalam enam bulan terakhir SBN tenor 1 tahun tercatat mengalami pelemahan. Baik dalam enam bulan terakhir maupun dibanding dengan bulan sebelumnya.

Chief Economist Bank Permata Josua Pardede mengatakan, sentimen hawkish yang muncul sebagai respons pasar atas kebijakan moneter The Fed memang telah memunculkan volatilitas di pasar obligasi tahun ini. Meski begitu, menurutnya, kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah lebih disebabkan oleh dukungan kinerja keuangan pelaku usaha pada 2022.

“Yang mana ini bisa membatasi dampak dari sentimen hawkish The Fed,” katanya, pada Alinea.id, Rabu (8/6).

Sementara itu, dari seri-seri SBN yang ada, nampak bahwa seri SBN dengan tenor pendek lebih volatil ketimbang SBN dengan tenor menengah atau panjang. “Ini terlihat dari kenaikan yield dari tenor 5 tahun sampai 15 tahun yang kenaikannya lebih tinggi dibandingkan seri lainnya,” imbuh Josua.

Meski pasar obligasi masih akan terus dibayangi oleh ketidakpastian global, obligasi pemerintah, utamanya untuk seri 10 tahun dengan denominasi dolar masih akan tetap menarik. Mengingat inflasi Indonesia yang terbilang cukup rendah, dibandingkan negara-negara lainnya. 

Selain itu, meskipun pasar memprediksikan akan ada kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI 7-Day Reserve Repo Rate/BI7DRR). Kenaikan tersebut diperkirakan akan terbatas dengan adanya revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Kalau saya lihat, obligasi tenor 10 tahun saat ini masih memberikan spread menarik. Sehingga, sampai beberapa waktu ke depan investor masih akan fokus pada seri ini,” ujar Director and Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia Ezra Nazula, kepada Alinea.id, Jumat (10/6).

Di sisi lain, imbal hasil tinggi yang menarik bagi investor, justru dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah berupa peningkatan beban utang dari sisi pemerintah. Sebab, semakin banyak investor utamanya investor asing yang masuk, beban untuk pembayaran pokok serta bunga dari surat utang pemerintah ini juga akan semakin besar.

Pada April kemarin saja, total utang Indonesia telah mencapai Rp7.040 triliun secara tahunan (year on year/yoy), naik 7,85% dari periode April 2021 yang sebesar Rp6.527 triliun. Dari jumlah tersebut, utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yang mencapai 88,47% dari total utang atau senilai Rp6.228 triliun. Dengan rincian Rp4.993 triliun untuk penerbitan obligasi berdenominasi rupiah dan sebesar Rp1.235 triliun untuk penerbitan SBN berdenominasi dolar AS.

“Jangan sampai di 2023 nanti utang numpuk hanya untuk bayar pokok dan bunga utangnya saja,” tegas Direktur Eksekutif Institute for Development of Economist and Finance (Indef) Ahmad Tauhid, kepada Alinea.id, Kamis (9/6).

Ilustrasi Pixabay.com.

Apalagi, menurut perkiraannya, investor yang akan masuk ke pasar obligasi pemerintah adalah investor yang akan berinvestasi untuk jangka pendek. Dalam hal ini, investor tersebut akan lebih banyak menyasar obligasi dengan tenor pendek. Meskipun SBN bertenor 10 tahun juga menjadi incaran.

“Karena itu, pemerintah harus mempersiapkan risiko kalau-kalau terjadi capital outflow (aliran dana keluar-red) di pasar SBN karena memang jangka waktunya pendek. Akan dibayar pakai apa nantinya,” katanya.

Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga 25 Mei 2022, investor asing masih membukukan jual neto atau capital outflow sebesar Rp102,15 triliun di pasar SBN. Sementara pada pekan sebelumnya, yakni periode 17-19 Mei 2022, investor asing keluar dari pasar SBN mencapai Rp4,44 triliun. Sedangkan pada periode 9-12 Mei 2022 capital outflow di pasar obligasi pemerintah ini tercatat senilai Rp12,32 triliun.

Perlu diketahui, saat investor asing keluar dari pasar SBN, di saat itu juga lah harga surat berharga pemerintah mengalami penurunan. Sehingga untuk menarik minat investor, imbal hasil dinaikkan.

Di saat yang sama, Tauhid juga merasa jika pemerintah perlu mempertimbangkan risiko ini, dalam menyusun kebijakan dalam merespons ekonomi global. Sebab, bagaimanapun pemerintah diharuskan untuk menggunakan dana APBN dengan cermat, agar tidak membuat inflasi semakin melonjak dan tetap mempertahankan stabilitas ekonomi nasional.

Sementara itu, untuk menjaga agar perekonomian Indonesia tetap stabil dan juga defisit APBN tidak melonjak tajam, Menteri Keuangan Sri Mulyani bertekad untuk sangat berhati-hati dalam menggunakan APBN. Dia sadar, bahwa dengan gejolak ekonomi politik dunia, biaya pinjaman atau cost of fund pemerintah akan semakin mahal, seiring dengan naiknya imbal hasil SBN dan penguatan dolar AS sebagai imbas kenaikan suku bunga The Fed.

“Dengan adanya kenaikan suku bunga, US Treasury juga akan semakin kuat, dolar index juga akan semakin kuat. Artinya, kalau kita mengissue surat utang dalam bentuk dolar, kita akan mengalami dua tren, yaitu kenaikan suku bunga dan kenaikan dolar,” kata dia, dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI, Rabu (8/6).

Di saat yang sama, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga akan mengelola pembiayaan dengan semakin baik dan prudent, sehingga ke depannya biaya utang tidak akan semakin membebani negara. 

“Di dalam negeri kita juga harus mendalami terutama untuk SBN kita, sehingga jadi makin stabil dan tentu manajemen kas di kemenkeu harus makin diperbaiki,” tegasnya.

 

Berita Lainnya
×
tekid