sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bahaya laten warisan utang pemerintah

Penarikan utang yang melonjak signifikan akan berpengaruh sampai ke pemerintahan berikutnya.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Jumat, 12 Mar 2021 15:23 WIB
Bahaya laten warisan utang pemerintah

Keputusan menambah utang, ibarat memakan buah simalakama. Di masa pandemi ini, utang diklaim bisa menyokong perekonomian nasional yang sedang babak belur. Namun di sisi lain, utang tanpa pengelolaan yang baik justru bisa memicu bahaya laten.

Di Indonesia, pandemi Covid-19 itu sendiri telah berimbas pada lonjakan utang yang signifikan. Sampai akhir Januari 2021, utang pemerintah telah menembus angka Rp6.233,14 triliun. Total utang itu meningkat drastis hingga ribuan triliun jika dibandingkan per Januari 2020 lalu yang sebesar Rp4.817,55 triliun. Adapun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 40,28%.

Kenaikan jumlah utang ini tak lepas dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kian melebar. Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyinggung bahwa dalam APBN 2021, defisit APBN ditargetkan Rp1.006 triliun atau 5,7% terhadap PDB.

Otak-atik strategi ekonomi pun ditempuh pemerintah. Salah satunya, melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020, pemerintah menaikkan batas aman defisit dari 3% menjadi 6,34%. Kebijakan ini ditempuh demi menyelamattkan ekonomi yang tertekan selama pandemi.

Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini menilai, keputusan tersebut sebagai suatu hal yang sembrono. Sebab, peningkatan batas defisit bisa menyebabkan dampak ekonomi berkelanjutan di masa depan. Bahkan, saat sudah berganti pemerintahan. 

"Warisan utang Jokowi ini akan menjadi beban presiden yang akan datang," ujar Didik kepada Alinea.id, Kamis (11/3).     

Dia mengkritik langkah pemerintah yang menerapkan perilaku memaksimalkan bujet (budget maximizer). Mau tak mau, upaya pemeriksaan dan penyeimbangan (check and balance) yang ketat juga perlu dilakukan. 

Terlebih, kata dia, situasi politik ekonomi negara saat ini tengah kalut. Akibatnya, pengelolaan utang yang sembrono akan memperburuk kondisi. Bukan saja tidak efektif terhadap pembiayaan kebutuhan namun juga bisa memperpanjang celah kecurangan seperti korupsi.  

Sponsored

Ilustrasi. Pixabay.com.

"Karena sudah otoriter, oposisi diberangus, partai dikooptasi. Maka, keputusan politik ekonomi, anggaran dan utang sudah semau gue. Apakah sudah efektif? lihat sendiri kasus korupsi masih banyak," ujarnya. 

Dia memaparkan sepanjang sejarah sejak zaman kepemimpinan Orde Baru, Soeharto, hingga zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), utang pemerintah menyentuh di kisaran Rp2.700-an triliun. Hanya dalam 5 tahun berselang setelahnya, utang pemerintah sudah naik lebih dua kali lipat. 

"Itu belum utang BUMN, belum utang swasta yang juga akan berpengaruh terhadap kekuatan ekonomi nasional," kata dia. 

Menyoal utang pemerintah, Peneliti INDEF Bhima Yudhistira berpendapat salah satu problem mendasar utang bukan persoalan rasio utang terhadap PDB, tapi kemampuan bayar utang yang semakin menurun. 

Menurutnya, sebanyak 19% penerimaan pajak sudah habis untuk pembayaran bunga utang. Sementara, Debt to Service Ratio (DSR) sebagai indikator kemampuan bayar utang luar negeri (ULN) terus meningkat diatas 25%. Ini artinya, antara pemasukan valuta asing dan penarikan utang luar negeri makin tidak imbang.

"Implikasinya bisa gerus nilai tukar rupiah dan cadangan devisa dalam jangka panjang, karena tiap bayar bunga utang dan pokoknya kita selalu cari dolar baru," ujar Bhima kepada Alinea.id, Kamis (11/3).  
 
Peneliti INDEF ini juga berkomentar bahwa penggunaan utang yang dilakukan pemerintah, tidak semua untuk belanja produktif. Bahkan, urutan teratas belanja negara adalah belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang. 

"Ini sudah tidak sehat dan berkelanjutan. Jadi tidak benar utang naik semata karena pandemi, tapi karena pengelolaan belanja yang kurang produktif," kata dia.

Mendorong pengendalian utang 

Meminjam istilah Ekonom Senior INDEF, Didik, perkara utang seolah seperti nasi sudah menjadi bubur. Sudah terlanjur dilakukan. Maka dari itu, dia menekankan agar pemerintah bisa sigap melakukan berbagai upaya. Termasuk, menggenjot ekspor. BPS mencatat nilai ekspor Indonesia per Januari 2021 mencapai US$15,30 miliar atau turun 7,48% dibanding ekspor Desember 2020. 

Selain itu, menurut Didik Indonesia juga perlu memperbanyak devisa negara. Bank Indonesia (BI) melaporkan, cadangan devisa Indonesia pada Februari 2021 mencapai US$138,8 miliar. Jumlah itu naik tipis US$800 juta, dari posisi bulan sebelumnya sebesar US$138 miliar.

“Dan meningkatkan rasio pajak agar cicilan pokok utang ringan hingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga memiliki kemampuan membayar utang,” kata Didik.  

Ilustrasi. Pixabay.com.

Tidak kalah penting, pemerintah menurutnya juga mesti serius dalam penanganan Covid-19. Dia menekankan, tidak akan ada geliat ekonomi jika Covid-19 tidak terkendali. Semua bakal sia-sia jika gagal mengatasi Covid-19. 

"Jangan seperti sekarang, kalah dengan negara tetangga Malaysia, Vietnam, Thailand, Australia, Taiwan," katanya. 

Sementara, peneliti muda INDEF Bhima menambahkan, pemerintah sudah semestinya juga mengendalikan utang dari sisi efektivitas belanja terlebih dahulu. Utamanya, fokus pada aspek belanja kesehatan, perlindungan sosial dan dukungan UMKM. 

Di sisi lain, efisiensi belanja pegawai juga perlu diterapkan. "Efisienkan birokrasi. Kan sudah jaman teknologi enggak perlu lagi banyak rekrut ASN," ujar Bhima. 

Langkah selanjutnya, dia juga menggarisbawahi soal perlunya upaya pemerintah dalam melakukan negosiasi utang. Sebagaimana banyak negara lain yang juga meminta keringanan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang agar semakin memiliki ruang fiskal untuk bergerak.

"Jangan malu apalagi status Indonesia turun menjadi lower middle income country," imbuhnya. 
 
Dalih di balik utang

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengatakan utang pemerintah saat ini masih terbilang wajar. "Dalam kondisi seperti sekarang adalah wajar jika suatu pemerintahan melakukan segala cara untuk menyelamatkan perekonomian maupun masyarakatnya. Termasuk berutang," ujar Yustinus kepada Alinea.id, Kamis (11/3).  

Rasio utang terhadap PDB, menurutnya, saat ini sedang terus dikendalikan di bawah batas maksimal sebesar 60% sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sementara, rasio utang terhadap PDB saat ini di level 40%, masih di bawah ketentuan dan mengindikasikan bahwa utang pemerintah berada dalam batas aman. 

Berkenaan dengan itu, Yustinus pun mengklaim utang pemerintah yang didominasi utang domestik ini justru menunjukkan upaya pendalaman pasar dan kemandirian pembiayaan. Dilihat dari komposisinya,  hingga akhir Februari 2020, sebesar 86,3% utang pemerintah adalah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). 

Merujuk proyeksi IMF terhadap utang publik beberapa negara, lanjutnya, di saat pandemi pun tingkat utang (38,5%) dan tambahan utang (8%) Indonesia sepanjang 2020 tetap terjaga dan merupakan salah satu yang paling rendah. Diketahui, rasio utang terhadap PDB Malaysia sebesar 67,6%. Sedangkan, Filipina sebesar 48,9% dan Singapura sebesar 131,2%.

Menurutnya, tambahan defisit negara lain akibat pandemi masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Indonesia. Dia menyebut, Indonesia memiliki tambahan defisit yang relatif lebih moderat yaitu 6,1% terhadap PDB dan pertumbuhan ekonomi sebesar minus 2,07% (yoy) yang menunjukkan perbaikan. 

"Jika dibandingkan dengan beberapa negara, (toleransi) defisit Malaysia 6,5% terhadap PDB, Filipina 8,1% terhadap PDB dan Singapura 10,8% terhadap PDB," imbuhnya. 

Yustinus menilai Lembaga Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF) pun akan cukup berdampak. Dia menilai, SWF ini bisa menjadi salah satu upaya pemerintah untuk memperluas sumber pembiayaan proyek infrastruktur. Sehingga, proyek-proyek infrastruktur bisa mendapatkan sumber pendanaan jangka panjang. 

Tentu hal ini, kata dia, akan berpengaruh pada arus kas yang terjaga, berkurangnya beban utang, dan mengurangi beban akan suku bunga yang tinggi. 

Menjamin efektivitas utang

Menyoal pengelolaan utang, Yustinus mengaku pemerintah menerapkan ATM (Average Time to Maturity) sebagai indikator yang menghitung rata-rata estimasi jangka waktu pelunasan kewajiban pembiayaan. Sebagai catatan bahwa pada tahun 2019 ATM berada pada rentang waktu 8,5 tahun. Sementara pada November 2020, ATM berada di rentang waktu 8,6 tahun. 

"Menandakan pemerintah memiliki keleluasaan yang cukup terkait ketersediaan dana pelunasan kewajiban sehingga tidak menimbulkan tekanan pada anggaran pemerintah dalam jangka pendek," kata mantan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) tersebut. 

Pemerintah kata dia, juga mengaku terus mengutamakan penerbitan utang dalam mata uang rupiah untuk mengurangi volatilitas nilai tukar. Sejak 2016, tren Indikator Exchange rate risk yang terdiri dari rasio FX debt/GDP dan rasio FX debt/total outstanding menunjukkan nilai yang stabil dan cenderung turun. 

Ini menunjukkan porsi utang pemerintah dalam mata uang rupiah lebih dominan atau sejalan dengan komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan partisipasi investor domestik. Baik institusi keuangan maupun ritel untuk ikut serta membiayai pembangunan.

Pemerintah juga sedang melakukan diversifikasi portofolio utang secara optimal untuk meningkatkan efisiensi utang (biaya dan risiko minimal), baik dari sisi instrumen, tenor, suku bunga, dan mata uang.

Pengembangan instrumen kreatif dan inovatif dalam pengelolaan utang terus digalakkan. Termasuk, dalam upaya hal memutar sumber pembiayaan di tengah masyarakat. 

"Pemerintah tak hanya menerbitkan surat utang, tapi membuka jalan dan menjadi benchmark bagi industri keuangan lain serta memfasilitasi investasi masyarakat yang aman, mudah dan menguntungkan," pungkasnya.   


 

Berita Lainnya
×
tekid