Ceruk pasar fintech syariah yang mini di negeri mayoritas muslim

Fintech syariah memiliki kinerja apik namun masih memainkan porsi pasar yang minim dibandingkan fintech konvensional.

Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.

Masyarakat mungkin sudah tidak asing dengan istilah fintech (financial technology) alias tekfin (teknologi finansial). Apalagi, dalam dua tahun pandemi, pembiayaan digital yang lebih sering disebut pinjol (pinjaman online) ini semakin populer. Baik karena banyaknya isu terkait pinjol ilegal maupun karena kepraktisannya sehingga masyarakat berbondong-bondong meminjam uang dari platform pembiayaan.

Sayangnya, pinjol yang kini dikenal masyarakat lebih banyak merupakan fintech konvensional. Sebut saja seperti Investree, Amartha, Kredit Pintar, Mekar, dan masih banyak lainnya. Padahal, selain itu ada pula fintech syariah yang sudah berkembang pesat, seperti ALAMI, Dana Syariah, Ethis, Qizwa.id, Duha Syariah, PAPITUPI Syariah, dan Amanna.id.

Fintech syariah sendiri merupakan sebuah platform pinjaman online yang mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman via online dan beroperasi atau berjalan berdasarkan aturan hukum syariat islam. Fintech syariah telah diatur oleh Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.

Mengutip data OJK per April 2022, dari 102 perusahaan peer to peer (P2P) lending yang berizin, hanya ada 7 penyelenggara fintech syariah saja. Sedangkan 94 lainnya merupakan pinjol konvensional dan satu pinjol yang memiliki dua sistem pembiayaan - konvensional dan syariah.

Tidak hanya dari jumlah penyelenggara, kinerja fintech syariah juga masih tertinggal jauh dari fintech konvensional. Meskipun keduanya sama-sama mulai berkembang pesat pada 2015 hingga 2016.